Senin, 04 Juni 2012

Gerakan Mesianisme dan Pengabaran Injil di Jawa

Gereja Kristen Jawi Wetan di Wlingi.
Pengabaran Injil misi Katholik di Maluku dilakukan pertama kali oleh Portugis. Sesuai menurut perjanjian kesepahaman di Tordesillas, Spanyol pada tahun 1493 untuk menghindari persaingan wilayah pengabaran Injil, maka Hindia Timur [Timur Jauh, Asia, dan Afrika] menjadi wilayah pengabaran Injil Portugis, sedangkan Hindia Barat [Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan Karibia] adalah wilayah pengabaran Injil Spanyol. Dengan pembagian wilayah seperti ini, maka Maluku menjadi bagian Portugis, sedangkan Filipina adalah bagian Spanyol. Perjanjian ini difasilitasi oleh Paus Alexander VI untuk mengakhiri persaingan tajam misi pengabaran Injil kedua negara tersebut.

Pada tahun 1605, Belanda mengusir Portugis dari Maluku. Kemudian pada tahun 1621, Jan Pieterzoon Coen mengeksekusi orang Maluku Katholik hasil pengabaran Injil Portugis di Maluku. Mereka yang masih hidup selagi bisa melarikan diri pergi ke hutan, tetapi yang tertangkap dipaksa menjadi Protestan [Kristen]. Tidak mengherankan mengapa Coen mengeksekusi mereka, karena Belanda yang Protestan pernah dijajah oleh Spanyol yang Katholik. Perang 80 tahun berkobar antara Belanda dan Spanyol. Ketika perang ini sedang berkobar [1568-1648], Raja Spanyol, Philips II merangkap sebagai Raja Portugis sejak tahun 1580. Boleh dikatakan bahwa pertempuran di laut antara Kompeni dengan Portugis dari Malaka sampai ke Ambon adalah perluasan perang 80 tahun di Eropa, perang antara Katholik dan Protestan. Belanda merasa lega setelah mereka berhasil menghancurkan pangkalan transit rempah-rempah Portugis di Malaka pada tahun 1641.


Pada tahun 1695 Belanda mengizinkan pembangunan Gereja Portugis, Sion letaknya di seberang stasiun kereta api Jakarta Kota; jemaatnya adalah bekas budak-budak Portugis yang diambil dari wilayah bekas jajahan Portugis. Mereka diizinkan tinggal di Batavia sebagai orang mardijkers [orang-orang bebas] dengan syarat mereka harus menjadi Protestan [Kristen]. Kemudian tahun 1748 selesai dibangun Gereja Portugis, Tugu letaknya di dekat Tanjung Priuk; komposisi jemaatnya juga sama dengan Gereja Sion. Pelayanan di kedua gereja ini menggunakan bahasa Portugis selama dua abad. Selama dua abad ini pula Belanda melarang misi Katholik di wilayah kekuasaannya. Banyak perbendaharaan kata dari bahasa Portugis terserap ke dalam bahasa Indonesia seperti, avental, bantal; bandera, bendera; janela, jendela; dona, nona; trigo, terigu; queijo, keju; zapato, sepatu; roda, roda; capitao, kapten; merdequa, merdeka. Dan jangan lupa, musik kroncong juga warisan kebudayaan orang-orang mardijkers ini. ini berbahasa Portugis, pelayanan di kedua gereja ini pun menggunakan bahasa Porto Namun, pada generasi berikutnya semakin banyak orang keturunan bekas budak-budak ini yang kawin-mengawin dengan penduduk Batavia lainnya sehingga penggunaan bahasa Portugis juga semakin berkurang.

Dua abad kemudian umat Katholik di Hindia Belanda dapat bernapas lega melakukan pengabaran Injil lebih leluasa sejak Daendels yang membawa cita-cita Revolusi Prancis memerintah di sini. Cita-cita Revolusi Prancis adalah Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan, tetapi hanya sebatas untuk kepentingan orang Belanda saja, yakni pengakuan keberadaan Katholik di Hindia Belanda, sebaliknya kehidupan orang Jawa semakin sulit dengan proyek pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer sampai ke Panarukan. Pembangunan jalan raya ini selesai dibangun pada masa pemerintahan Daendels [1808 – 18011]. Jalan raya sepanjang 1000 kilometer ini dibangun dengan linangan air mata dan darah oleh belasan ribu orang Jawa yang telah tewas sebagai rodi, dan tidak sedikit opsir dan prajurit Belanda yang mengawasi pembangunan jalan ini juga ikut tewas seperti tikus. Jalan raya ini sampai sekarang masih ada dan digunakan sebagai sarana transportasi utama di pulau Jawa dan di beberapa tempat dibuat dua jalur dan diberi separator.   

Kehidupan orang Jawa pada abad XIX adalah masa paling sulit karena pemerintah kolonial pada puncaknya mengeksploitasi sumber ekonomi dan sosial pada seluruh strata. Walaupun kelompok priyayi dan bangsawan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah kolonial, sesungguhnya mereka juga mengalami degradasi sosial, karena supe­r­ioritas mereka telah berkurang setelah Mataram dipecah menjadi dua kerajaan pada tahun 1755 melalui Perjanjian Giyanti. Petani membayar cukai gerbang kepada pemerintah kesultanan ter­hadap semua hasil bumi petani yang akan dibawa ke pasar melalui jalan-jalan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Pemerintah me­nyerahkan hak pemungutannya kepada orang Tionghoa sebagai kolektor, sehingga rakyat harus membayar cukai yang nilainya telah dinaikkan oleh kolektor. Keadaan ini sangat memberatkan rakyat dan me­nimbulkan kebencian terhadap orang Tionghoa. Pajak lainnya yang harus dibayar rakyat adalah pajak orang dan pajak tanah.

Orang Jawa tidak pernah menerima janji Tuhan secara eksplisit seperti orang Yahudi, tetapi jauh di lubuk hati, mereka mengharapkan penggenapan ramalan yang telah berumur 700 tahun. Pada masa itu orang Jawa sangat mempercayai satu ramalan yang pernah tersiar pada abad XII masa pemerintahan Jayabaya di Kediri. Ramalan ini biasa disebut oleh orang Jawa sebagai ramalan Jayabaya. Bunyi ramalan itu adalah di masa yang akan datang di pulau Jawa akan diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana, tetapi sebelum itu digenapi, di pulau Jawa akan terjadi huru-hara dan kesengsaraan yang sangat luar biasa. Dipandang dari sisi ilmu pengetahuan, ramalan ini belum terbukti kebenarannya karena artefak ramalan ini belum ditemukan oleh archeologist sampai saat ini. Jadi, ramalan ini lebih tepat disebut sebagai mitos, yakni mitos Ratu Adil. Walaupun artefak ramalan belum ditemukan oleh arkheologist, mitos Ratu Adil menjadi sumber inspirasi keberadaan mesias yang sangat diharapkan oleh masyarakat Jawa yang tertindas sepanjang masa. Berbagai pema­haman mesias terlintas dalam pikiran bangsa Yahudi maupun pada orang Jawa. Maksudnya ada yang memahami mesias politik, yang memberikan kesejahteraan hidup kepada rakyat, dan ada yang mema­hami mesias secara eskatologis yang lebih berorientasi spiritual atau kehidupan kekal. Dalam pemahaman orang Jawa, mesias yang di­harapkan adalah mesias politik. Mesias atau Juru Selamat politik seperti yang diharapkan oleh orang Jawa adalah mesias yang dapat mengusir penjajahan oleh kolonial Belanda dari pulau Jawa.   

Orang Jawa menganggap pertanda kedatangan sang mesias cukup jelas sebagai tanda kegenapan ramalan yang diharapkan oleh mereka itu menjadi kenyataan. Kehidupan rakyat yang semakin sulit dan dekadensi moral, karena pejabat-pejabat pemerintah kolonial tidak lagi mengindahkan tata krama di kraton. Tanda paling nyata adalah seorang ningrat dan santri memilih tinggal di desa Tegal Rejo bergaul dengan rakyat jelata. Ia adalah  Ngabdulkhamid Erucakra Kabirul Mukminin Sayidina Panatagama Jawa Kalifat Rasulullah, lebih dikenal sebagai Pangeran Dipanegara (1785-1855), anak Sultan Hamengkubuwono III. Pada waktu itu Pangeran Dipane­gara oleh sebagian besar masyarakat dianggap sebagai perwujudan Ratu Adil yang sangat diharapkan. Pangeran Dipanegara sering bersemadi di goa Selarong di Bukit Menoreh untuk menunggu wang­sit.
 
Perang Jawa [1825 - 1830]
Pada bulan Agustus 1825 pecahlah perang besar yang dikenal sebagai Perang Jawa. Pemicu utamanya adalah klimaks yang selama ini menjadi himpitan rakyat, yakni masalah ekonomi juga, karena halaman rumah Pangeran Di­panegara ini dipatok untuk dipakai sebagai jalan pos pemungutan cu­kai gerbang. Melihat kenyataan bahwa peningkatan pendapatan kesultanan melalui pemungutan cukai gerbang sangat menguntungkan, maka banyak jalan-jalan dibangun dengan pos-pos pemungutan cukai. 

Rakyat dan tidak sedikit juga para ningrat yang menaruh harapan pembebasan dari cengkeraman penjajahan bergabung dengan Dipane­gara. Kebetulan juga kalau gelarnya adalah Erucakra, artinya Ratu yang Adil. Perang ini, meskipun dipicu oleh masalah ekonomi juga dilandasi oleh semangat sabilillah (perang di jalan Allah), semangat bertempur membela agama dan impian membentuk negara Islam. Mereka merindukan datangnya Ratu Adil, setelah hampir selama tujuh puluh tahun menderita.

Dengan usaha yang sulit dan melalui tipu muslihat menangkap Dipanegara, perang ini berakhir pada bulan Maret 1830. Perang Jawa adalah perang terbesar di Jawa dan terakhir, setelah itu tidak pernah ada lagi perlawanan dengan skala seperti ini. Perang ini menelan korban lebih kurang 18000 ribu tentara tewas dan hilang di pihak Hindia Belanda dan menghabiskan keuang­an pemerintah kolonial sehingga mengalami defisit. Sebaliknya diperkirakan 200000 orang milisi di pihak Dipanegara tewas. Di pihak kesultanan, selain mengalami kerusakan infrastruktur yang sangat parah, seperti rumah-rumah yang hancur dan ribuan hektar sawah terbengkelai juga harus mengalami kekurangan penduduknya sampai 25 persen dari sebelum perang. Sebagian besar penduduk ini bermigrasi ke Jawa Timur, yakni ke tempat yang relatif lebih aman dan lebih makmur. Untuk meng­atasi keadaan keuangan, maka pemerintah kolonial memberlakukan politik Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) pada tahun 1830. Selanjutnya dalam masalah keamanan dan ketertiban, pemerintah kolonial melarang pemungutan cukai gerbang dan melakukan pengawasan ketat tanpa batas atas wilayah jajahan di pulau Jawa. 

Pengaruh Sesudah Perang Jawa Terhadap Pengabaran Injil di Jawa
Berakhirnya Perang Jawa menandakan bahwa seluruh Jawa takluk dibawah kendali pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, tidak ada lagi tokoh Islam di Jawa yang dapat menumbuhkan imajinasi bahwa orang Jawa Islam mempunyai seorang pemimpin yang memiliki tradisi khalifah dan impian negara Islam. Semula orang Jawa bertempur dengan disertai semangat tinggi keagamaan, tetapi kini mereka melihat realitas bahwa mereka ditaklukkan oleh keunggulan militer pemerintah kolonial. Pada waktu itu ada kecenderungan pada banyak orang Jawa yang percaya, bahwa keunggulan militer penguasa menunjukkan juga keunggulan agama yang dianut oleh penguasa ini, yaitu Kristen. 

Keyakinan ini menumbuhkan bayang-bayang di dalam pikiran sebagian dari mereka bahwa ketaatan tertuju bukan lagi kepada kewibawaan Islam, melainkan kepada apa yang disebut kewibawaan Kristen, yakni agama yang dipandang lebih rohani. Kewibawaan Islam terus merosot sampai titik yang terendah pada masa Indonesia dibawah pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1966). Pada masa pemerintahannya, sahabatnya semasa muda, Kartosoewiryo harus merelakan impiannya membangun Negara Islam Indonesia terkubur. Kartosoewirjo dihukum mati pada tahun 1962.

Jauh sebelum Perang Jawa meletus, pengabaran Injil pernah ada di pulau jawa sebelum abad XIX, tetapi sejak semula pemerintah kolonial memang tidak pernah menaruh perhatian terhadap usaha para misionaris. Karena seperti pada pendahulunya, yaitu VOC, kepentingan politik dan ekonomi lebih didahulukan dibandingkan kepentingan misi pengabaran Injil. Pemerintah kolonial lebih tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap pengabaran Injil setelah Perang Jawa selesai. Ingatan mereka belum lepas terhadap semangat keagamaan yang dapat mengobarkan jihad begitu hebat. Jadi, setiap usaha pengabaran Injil ditanggapi oleh pemerintah kolonial dapat memicu sentimen keagamaan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Pemerintah membatasi ruang gerak pengabaran Injil, kalau tidak memberedel penerbitan traktat [brosur], pemerintah melakukan campur tangan apakah ada orang Jawa yang akan dibaptis. Jika ada orang Jawa yang akan dibaptis, maka pemerintah melalui gereja melakukan penyidikan untuk mencari tahu apa motivasi orang Jawa yang akan dibaptis. Jika motivasinya tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah, pembaptisan boleh dilaksanakan. Kepentingan pemerintah adalah : 1] Jika motivasinya karena berkeinginan bebas dari wajib Tanam Paksa, orang Jawa tidak diizinkan untuk dibaptis. 2] Tetap menjaga keamanan dan ketertiban karena perpindahan agama berpotensi menimbulkan kesulitan dengan orang Islam. Pada tanggal 23 April 1883 pemerintah pusat (Batavia) mengeluarkan peraturan bahwa pengabaran Injil terhadap suku Jawa berada dibawah kendali pemerintah. 

Beberapa data berikut ini memberikan gambaran betapa sulitnya dan perjuangan sangat berat pengabaran Injil di Pulau Jawa, antara lain : 1] Pada tanggal 26 Maret 1882, gereja di Karangjoso tidak boleh dipakai untuk kebaktian Minggu. Salah seorang anggota jemaatnya, Johanes dibawa polisi ke Kutoarjo dan dilepaskan setelah membayar denda sebesar enam gulden. 2] Pada tanggal 29 Maret 1882, dibawah penjagaan ketat polisi, gereja di Karangjoso dilarang mengadakan kebaktian Minggu. 3] Pada tanggal 29 Maret 1882, gereja desa Kedungtawon, Kutowinangun dibawah penjagaan polisi dilarang mengadakan kebaktian Minggu. 4] Pada tanggal 21 Februari 1883 gereja ini dibakar [oleh orang Islam]. 5] Pada tanggal 26 Februari 1883, gereja Rian di desa Tlogobang, wilayah Banjarnegara dilarang mengadakan kebaktian Minggu. Polisi merampas Alkitab milik dua orang anggota jemaat, Dan dan Almayi untuk memukuli kedua orang ini. Pengadilan menghukum mereka  ke penjara selama empat belas hari.

Walaupun pemerintah kolonial melakukan sensor ketat terhadap pengabaran Injil, celah-celah selalu ada untuk mewartakan Yesus Orang Nazaret kepada orang Jawa. Misalnya : Coolen dan Tosari di Jawa Timur; Tunggul Wulung dan Sadrach di Jawa Tengah. Mereka adalah pelopor pengabar Injil bagi orang Jawa. Tindakan represif pemerintah sama sekali tidak menyurutkan semangat mereka mengabarkan  Injil di bumi Jawa.-

  • Adams, Cindy, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, terjemahan oleh Abdul Bar Salim, Jakarta : Gunung Agung, 1966.
  • Alatas, S.H., Mitos Pribumi Malas, Jakarta : terjemahan oleh Akhmad   
  • Rofi’ie,  LP3ES, 1988, hlm 86-88.   
  • Berkhof, Sejarah Gereja, saduran oleh Enklaar, Jakarta : BPK, Gunung Mulia, cetakan ke 7, hlm 231.
  • Carey, Peter, Asal-Usul Perang Jawa : Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh, ed. Rahmat Widada, Yogyakarta : LKIS, 2004, hlm. 192.
  • Djamhari, Saleh As’ad, Strategi Menjinakkan Diponegoro, Ja­kar­ta : Yayasan Komunitas Bambu, 2004, hlm 38 dan 42.    
  • Guillot, Jean Claude, Kiai Sadrach : Riwayat Kekristenan di Jawa, terjemahan oleh Asvi Warman Adam, Ja­ka­rta : Grafiti Pers, 1985, hlm 12, 13, 147, dan 222.
  • Kartodirdjo, Sartono, Ratu Adil, Jakarta : Sinar Harapan, 1984.
  • Noorsena, Bambang, Menyongsong Sang Ratu Adil : Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen, Yogyakarta : Yayasan Andi, 2003, hlm 310.
  • Partonadi, Soetarman Soediman, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya : Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX, terjemahan oleh Widi Herijati Rahadi, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001, hlm 27 dan 29.
  • Toer, Pramoedya Ananta, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Jakarta : Lentera Dipantara, 2005, hlm. 50.
  • van Akkeren, Philip, Dewi Sri dan Kristus : Sebuah Kajian ten­tang Gereja Pribumi di Jawa Timur, terjemahan oleh B.A. Abednego, Jakarta : BPK Gunung Mulia, cetakan ke 2, 1995, hlm 56 dan 97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar