Senin, 31 Desember 2018

Tuhan Menjaga Harga Diri Orang Kristen

Untuk mendapatkan sepiring dua piring nasi, orang harus berkeringat. Bekerja keras dari matahari terbit sampai matahari terbenam. Tapi orang hidup bukan hanya untuk memenuhi makan sepiring nasi plus lauk sederhana seperti tahu dan tempe, banyak kebutuhan hidup yang harus dipenuhi oleh keluarga maupun orang yang masih single. Misal : sewa rumah bulanan atau tahunan, uang sekolah, uang kuliah, bahkan gereja pun butuh uang untuk biaya sewa gedung per tahun. Engkau menginginkan hiburan, seperti nonton film, berbincang dengan teman-teman di coffee shop, makan di restoran dengan teman-teman, maka engkau harus bekerja lebih keras lagi. Bergabung dalam suatu komunitas membutuhkan biaya sosial tidak murah. 


Di Jakarta atau juga di kota-kota besar lain, engkau dapat menyaksikan orang fasik menikmati lezatnya makanan di restoran ternama. Satu keluarga terdiri istri, suami, dan tiga orang anak makan di restoran seperti ini, maka seorang ayah haru mengeluarkan uang dari dompetnya paling sedikit 2 juta rupiah, sementara di tempat lain ada seorang teman yang membutuhkan uang untuk biaya pengobatan ibunya yang dirawat di hospital. Ada ribuan orang muda Kristen menunggu kiriman uang dari orang tua untuk membayar biaya kuliah semester berikut. Sementara orang fasik seperti tanpa batas menggelontor uang untuk dihabiskan di tempat yang tidak sepantasnya. Seperti apa yang disebut tidak sepantasnya itu? Hobby balap mobil, arisan mewah di tempat mewah ada yang sampai ke luar negeri, clubbing, main perempuan, berjudi di kasino, dan seterusnya. Bagimu yang sedang membutuhkan biaya kuliah memang tidak sepantasnya, tetapi bagi mereka sepantasnya dilakukan untuk memuaskan hawa nafsu menghabiskan uang karena lifestyle yang konsumptif. Hawa nafsu materi membuat mereka bersedia berbuat apa saja demi uang. Para koruptor asalnya adalah abdi rakyat yang tidak merasa cukup dengan gaji mereka, karena gaya hidup yang melampaui kemampuan gaji mereka. Mereka berprestasi lolos dari jerat hukum karena lawyer yang mereka sewa sangat andal. Itulah kejahatan luar biasa yang membuat negara kehilangan martabat. Namun, jangan marah karena orang melakukan kejahatan dan jangan iri hati karena harta kekayaan yang mereka peroleh dari kecurangan. Tunggu saja waktu berlakunya hukum atas mereka ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan mereka sebagai tersangka, maka saat itulah mereka segera lisut dan layu seperti tumbuhan hijau kekurangan air dan diterjang oleh teriknya matahari. Percayalah kepada Tuhan dan lakukanlah yang baik, berlakulah setia, dan tetap rajin datang ke rumah Tuhan. Seringlah mengucap syukurlah dalam segala hal di hadapan Tuhan dalam doamu, maka Dia akan memberikan apa yang diinginkan oleh hatimu. Ia akan bertindak oleh kesungguhan hatimu.

Will be contonued ....

Kamis, 27 Desember 2018

Tidak Ada Nama Keluarga Han di Lasem

Orang Tionghoa telah ada di Indonesia sejak abad ke 15. Mereka datang ke Indonesia secara bergelombang berimigrasi dari provinsi-provinsi di bagian selatan Tiongkok. Penghidupan mereka di sini sebagian besar melakukan kegiatan bisniz. Agama Islam tiba di Indonesia datang dari Arab melalui Jalur Sutra oleh orang Tionghoa Islam mashab Hanafi. Peninggalan Islam di Indonesia melalui Tiongkok ditandai dengan adanya bedug dan baju koko.

Pada awal abad ke 17 adalah tonggak awal berkuasanya Belanda di negeri ini sebagai kekuatan perserikatan dagang Hindia Timur dan dipersenjatai (Veereniging Oost-Indisch Compagnie atau VOC). Orang Belanda membangun pelabuhan utama dan benteng di kota Batavia (sekarang Jakarta). Jumlah imigran Tionghoa datang semakin banyak, sebab Batavia, kota perdagangan ramai yang menjanjikan kemapanan ekonomi dan kehormatan. Mereka kebanyakan turun di pelabuhan Batavia dan Semarang. Masyarakat Tionghoa yang semakin besar jumlahnya dipimpin oleh seorang opsir sipil Tionghoa berpangkat kapten. Kalau kelompok masyarakatnya kecil, cukup dipimpin oleh seorang letnan. Untuk menjadi opsir masyarakat Tionghoa syaratnya, dia harus seorang yang sangat terpandang dan terhormat. Di Tiongkok sendiri di tanah leluhur mereka, orang dipandang terhormat adalah orang yang mahir dalam sastera, sebaliknya di tanah perantauan di Indonesia orang yang dipandang terhormat dan mulia adalah orang yang secara ekonomi telah mapan dan kaya sekali.

Orang Tionghoa meletakkan nama keluarga di depan namanya. Misalnya, Han Siong Liem, Thio Tung Hien, Tan Sing Koo, Tjoa Kwie Soe, dan seterusnya. Mengapa tidak ada nama keluarga Han di Lasem? Lasem adalah satu kota kecil di Jawa Tengah. Kota ini terletak dekat perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, 10 kilometer di sebelah timur Rembang, dan di sebelah utara Blora. Orang Tionghoa banyak memberi kontribusi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan masyarakat keturunan Tionghoa di sepanjang pantai utara pulau Jawa, terutama dari Batavia sampai Semarang, khususnya di Lasem.

Han Siong adalah Han pertama yang datang ke Jawa. Ia dilahirkan di provinsi Fujian, Tiongkok bagian selatan. Pada akhir abad ke 17 dia merantau ke Jawa dan tiba di Lasem setelah sebelumnya berlabuh di Semarang. Sebagai seorang Tionghoa totok atau singkek pada umumnya, dia harus bekerja keras mengumpulkan harta. Namun, dia adalah seorang perantau yang tidak beruntung. Ini diketahui sehubungan dengan jenazahnya. Bagi orang Tionghoa, ketika kepala keluarga meninggal, kuburan yang besar menunjukkan prestisius keluarga, tetapi dia tetap miskin sampai mati. Angpao sumbangan kematian oleh anak-anaknya dipakai modal main judi dengan harapan uang dapat digandakan untuk mencukupkan biaya pemakaman. Pada akhirnya uang angpao itu ludas di meja judi. Karena tidak memiliki uang yang cukup bagi penguburan yang prestisius, anak-anaknya memutuskan menguburkan jenazah ayah mereka di suatu lapangan dengan cara tidak diketahui oleh semua tetangga pada malam hari. Jenazah dibungkus di dalam karung goni dan dibawa ke lapangan yang dimaksudkan. Di tengah perjalanan malam yang gelap hujan lebat sekali. Mereka kemudian mencari tempat perlindungan di satu gubuk dan meninggalkan jenazah ayah mereka di tengah jalan. Malam itu juga ketika mereka tidur mendapat satu penglihatan dalam mimpi. Mereka melihat ayah mereka marah atas apa yang telah mereka lakukan. Ayah mereka berkata, bahwa tidak seorang pun keturunan Han boleh datang ke Lasem. Jika peringatan ini dilanggar, malapetaka pasti akan terjadi atas seluruh keturunan Han yang melanggar kutukan ini. 

Tomorrow early morning anak-anak Han Siong keluar dari gubuk dan melihat di tempat jenazah ayah mereka diletakkan telah berdiri satu makam besar. Sejak itu tak ada seorang pun dari keturunan Han yang berani menetap apalagi membuka usaha dagang di Lasem. Keturunan keluarga Han banyak berpindah ke Jawa Timur, khususnya di Surabaya dan Probolonggo. Mereka berjaya sebagai raja-raja pabrik gula dan tuan tanah-tuan tanah yang kaya raya. Keluarga-keluarga Han banyak yang menjadi pemuka masyarakat Tionghoa (opsir) di banyak kota, bahkan ada yang diberi kedudukan setara dengan bupati karena kharismanya yang luar biasa, sehingga ketika orang ini mati kuburannya dikramatkan. Di kalangan masyarakat Tionghoa di pulau Jawa ada tiga keluarga yang disegani, yakni Han, Tjoa, dan The, tetapi keluarga Han dari Jawa Timur yang paling disegani. Walaupun kejayaan mereka sebagai pabrikan-pabrikan gula telah pudar lebih satu abad yang lalu, mereka tetap sebagai keluarga Han yang masih disegani di Surabaya sampai sekarang.

Jika seumpama ada orang dari keluarga Thio berasal dari Lasem  diajak  berbisniz di kota ini dengan keluarga Han dari Surabaya, bagi keluarga Thio lebih baik menolak baik-baik dari pada kemudian hari terkena malapetaka. Keluarga Han juga tidak menginginkan berbisniz dan besanan dengan keluarga mana saja dari Lasem. Anyhow kota Lasem steril dari keluarga Han. Menurut cerita, kata orang dari mulut ke mulut, beberapa orang tua dari keluarga Han yang tidak mempercayai mitos ini nekat pergi ke Lazem. Namun, orang-orang Han yang nekat ini tertimpa malapetaka ...