Jumat, 30 November 2018

Never Stop Loving This Country

Jangan berhenti mencintai negeri ini, walaupun keadilan belum menyentuh bagi seluruh kehidupan bangsa ini. Sila kelima dasar negeri ini berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi kenyataannya masih slogan saja. Masih sebatas ucapan di mulut saja, rohnya belum memiliki kekuatan untuk menggerakkan jiwa bangsa ini. Sosial itu artinya masyarakat semesta suatu negara. Misalnya, masyarakat Amerika tidak sebatas hanya masyarakat di California atau di Montana, tetapi mencakup pengertian masyarakat seluruh negara bagian Amerika. Kita dapat mengatakan, masyarakat Amerika menghargai kepentingan publik sebab mereka dididik sejak kecil untuk memahami hak dan kewajiban warga negara. Kita tentu pernah mendengar ungkapan begini, engkau manusia tidak sosial, karena engkau dianggap tidak mau memberi sesuatu yang diharapkan oleh temanmu. Engkau dianggap orang tidak sosial, artinya adalah engkau tidak perduli terhadap lingkunganmu di mana engkau tenggelam dalam satu masyarakat. Di Indonesia engkau menetap di suatu tempat pastilah dikenai kewajiban iuran sampah dan keamanan. Kewajiban ini biasa disebut perjanjian sosial dalam bidang keamanan, ketertiban, dan lingkungan hidup dalam lingkup kecil yakni rukun tetangga. Tuntutan keadilan sosial meliputi berbagai kebutuhan manusia Indonesia secara universal, seperti pendidikan, lapangan pekerjaan, bisniz, pengabdian kepada negara, dan kesempatan beribadat. Apakah tuntutan ini sudah dipenuhi oleh seluruh masyarakat Indonesia? Belum merata! Di dalam hati yang terdalam kelompok mayoritas Indonesia ada rasa keengganan yang sangat koheren untuk menerima kelompok lain sebagai saudara tanah air. Seperti ada rasa ketakutan, bahwa kelompok minoritas dapat menjelma menjadi kekuatan besar dan menjadi ancaman terhadap kelompok mayoritas. Orang Indonesia belum terbiasa hidup dalam suasana hukum dan menghargai atas hak-hak orang lain, padahal negeri ini sudah 73 tahun menjadi negara merdeka dan berdaulat.

Apakah kita seorang Cina atau Indonesia di negeri ini? Ini pertanyaan polos seorang anak laki Tionghoa kepada ayahnya. Lama terdiam ayahnya mendengar pertanyaan anak lakinya ini. Ayahnya kemudian menjawab tenang tanpa emosi, katanya, jangan pernah berhenti mencintai negeri ini. Kau percaya atau tidak ini percakapan pribadi antara ayah dan anak Tionghoa di Indonesia. Siapakah yang disebut orang Tionghoa? Orang Tionghoa ada di mana-mana diseluruh dunia, di mana ada matahari bersinar, maka di situ ada orang Tionghoa menjemur ikan asin. Aku berbicara orang Tionghoa menurut konteks Indonesia. Orang Tionghoa adalah keturunan beberapa suku bangsa etnis Cina yang pernah didatangkan oleh Belanda yang masih tergabung dalam serikat dagang  Belanda (VOC) pada abad 17, sebaliknya ada juga yang datang atas kemauan sendiri. Agama Islam dari mashab Hanafi masuk ke Indonesia dari Cina melalui Jalur Sutera. Orang Tionghoa sudah ada di Indonesia dari sejak abad 15. Peninggalan Islam masuk ke Indonesia melalui Cina ditandai dengan adanya bedug dan baju koko. Ada 3 katagori yang disebut Tionghoa menurut konteks di Indonesia, yakni pertama yang disebut totok atau singkek. Orang Tionghoa seperti ini tergolong pendatang baru, generasi pertama, dan masih miskin. Adat nenek moyang dari Tiongkok masih mewarnai kehidupan mereka. Kedua, Tionghoa. Katagori kedua adalah mereka yang sudah menetap di pulau Jawa selama lebih dua generasi dan hidup mereka sudah mapan secara materi. Ketiga, Tionghoa peranakan. Katagori ketiga bukan saja mereka telah menetap lebih dua generasi melainkan telah menikah dengan penduduk lokal dan mapan secara materi.

Orang Indonesia tidak pernah mempercayai sepenuh hati terhadap eksistensi orang Tionghoa, walaupun banyak di antara mereka sudah menyumbangkan prestasi terhadap negeri ini. Orang Tionghoa juga pernah merasakan kegetiran ditindas oleh tentara kompeni. Pada 1740 sampai 1743 terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap orang Tionghoa mulai dari Batavia (sekarang Jakarta) meluas sampai Semarang. Bersama orang Jawa dan Madura mereka berperang melawan kekejaman tentara kompeni. Disebut tentara kompeni karena pada waktu yang dihadapi adalah orang Belanda dalam serikat dagang Hindia Timur yang disebut Veereniging Oost-Indisch Compagnie (VOC). Pada awal abad ke 19 penjajahan resmi dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda (Nederland Indisch) dibawah kepemimpinan seorang gubernur jenderal. Gubernur Jenderal yang sangat terkenal dan kejam pada abad itu adalah Herman Willem Daendels. Pada masa itu banyak orang Tionghoa menjadi tuan tanah di pulau Jawa. Pemungutan pajak keluarga yang dilakukan oleh pemerintah kolonial melalui orang Tionghoa menjadi satu sebab dari dua penyebab utama pecahnya Perang Jawa (1825 - 1830). Pajak keluarga ini begitu memberatkan beban kehidupan rakyat. Orang Jawa berubah menjadi benci terhadap orang Tionghoa.

Namun, apakah kebencian terselubung orang Melayu (baca : Jawa) terhadap orang Tionghoa berlanjut sampai ke anak-cucu orang Tionghoa ini sampai sekarang. Terselubung? Terselubung oleh apa? Terselubung oleh jargon-jargon persatuan Indonesia! Bangsa ini bersemangat meneriakkan jargon-jargon persatuan Indonesia, tetapi begitu melihat saudara setanah airnya orang Tionghoa, maka dengan mudahnya mereka berkata, ah itu lain masalahnya. Enam ratus tahun orang Tionghoa dan Tionghoa peranakan dan keturunan mereka berada di Indonesia, rasanya tidak adil kalau kita masih tidak memiliki hati untuk menghargai eksisitensi mereka.

Engkau berada di Amerika atau di Inggris selama sepuluh tahun, maka engkau tidak sulit memohon naturalisasi. Tidak sedikit orang Amerika hasil naturalisasi prestasi mereka dihargai di negeri ini. Habibie orang Indonesia asal Pare-pare adalah presiden Indonesia ke 3 telah lama menetap di Jerman, sekolah dan bekerja di sana selama kira-kira 20 tahun dengan status tetap sebagai warga negara Indonesia. Bagi kebanyakan orang Jerman, Habibie dipandang sebagai orang yang fasih dan memahami budaya Jerman, sehingga mereka memandang orang ini sebagai pribadi Jerman, karena itu ketika orang ini dilantik menjadi presiden di negeri his homeland, maka tak berlebihan mereka berkata bahwa ada orang Jerman menjadi presiden Indonesia.

Mungkin ada ketakutan bagi sebagian besar golongan Melayu Islam terhadap orang Tionghoa, bahwa mereka dapat menjadiancaman kedaulatan negara apabila eksistensi mereka berkembang semakin besar. Ketakutan yang sama sekali tidak dilandasi alasan yang logis. Pada saat ini sedang memanas kampanye politik pemilihan calon presiden tahun 2019 dan pemerintah yang sedang berjalan banyak melakukan bisniz dengan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan Tiongkok selalu diungkit-ungkit. Bayangkan ada hoaks di media sosial yang mengatakan, sudah banyak tentara Tiongkok berada di Indonesia. Nanti, kedepannya  orang Tionghoa ini akan menjadi kambing hitam, mereka menjadi tempat persembunyian para tentara Tiongkok. Berita hoaks yang memuakkan. Orang Indonesia harus banyak belajar berpikir logis dan banyak berdoa kepada Gusti Allah supaya negeri ini diselamatkan dari berita-berita hoaks. Berpikir logis itu seperti apa, ya? Berpikir logis itu begini, pertama pilihlah calon presiden sudah pasti prestasi kerjanya selama ini. Kedua pilihlah yang memiliki kriteria seperti ini, yakni jujur, nasionalis, cerdas, tegas, bertindak bijak. Ketiga, jangan tergoda diiming-imingi janji, bahwa pada jaman bapak anu dulu rakyat lebih sejahtera keadaannya. Segala sesuatu harus dikaji berdasarkan data-data yang absah. Jangan biarkan rezim masa lalu biang korup hidup kembali di negeri ini. Negeri ini milik bangsa Indonesia, maka jangan pernah berhenti mencintai negeri ini. Never stop loving this country!!!