Malam perpisahan. Menyanyi. |
Jumat, 09 Mei 2014
Sarjana Teologi Itu Akhirnya Menjadi Penggoreng Ta.hu
Sebut saja namanya, Anton Bondo. Sebetulnya namanya adalah
Anton Banda, pemuda tampan berasal dari kepulauan Maluku menetap di Kampung
Bandan, Jakarta Utara. Keluarga orang tuanya di situ satu-satunya orang Maluku
di lingkungan kebanyakan orang Jawa dan juga satu-satunya orang Kristen. Namun,
sejak kecil dia oleh semua tetangga di situ dipanggil sebagai Anton Bondo.
Biasalah orang Jawa, semua yang berakhiran huruf a disebut o, tetapi lama-lama
huruf akhir a juga berubah menjadi o. Misalnya Widiyanta, menyebutnya
Widiyanto, lala-lama ditulis juga menjadi Widiyanto. Siapa saja yang belum
mengenal betul dengan Bung Anton Banda, maka pemuda tampan ini selalu dipanggil
mas Anton atau mas Bondo. Tapi mas Bondo ini juga senang dengan panggilannya
seperti ini.
Sejak kecil dia bericita-cita menjadi guru agama, maka
ketika dia selesai dari sekolah lanjutan tingkat atas dia melanjutkan sekolah
tinggi teologi di Bandung .
Ia adalah seorang mahasiswa yang berdedikasi terhadap bidang yang ditekuninya
dan mahasiswa yang luwes bergaul. Orang Ambon
itu kalau tidak menjadi preman tengik, maka dia adalah seorang pendeta yang
saleh. Ia tidak perduli dengan stigma ini terhadap kehidupan sosial orang Ambon . Dengan penuh semangat dia berkata, bahwa dia akan
melayani suku bangsanya untuk menghalau stigma ini. Ya, benar apa katanya,
bahwa stigma hanya dapat dihalau dengan prestasi. Orang Ambon adalah suku
bangsa yang musical di negeri ini, maka tak mengherankan banyak prestasi musik
telah diraih oleh orang Ambon . Sebut saja
beberapa nama, Bob Tutupoly, Broery Pesulima, Glenn Fredly, dan masih banyak
yang lain. Temanku yang satru ini, mas Bondo termasuk merdu suaranya, seperti
Matt Monroe.
Di Bandung dia sering membantu keluarga bang Agan yang
berjualan gorengan tempe ,
ta.hu, ubi, singkong dan ta.pe tidak jauh dari stasiun kereta api. Dari
pekerjaan ini dia mendapat uang jajan tambahan sebesar lima ratus ribu rupian setiap bulan. Bekerja
setiap hari dari pukul tiga sore sampai delapan malam, kecuali hari Minggu, dia
libur. Uang tambahan yang lebih dari cukup untuk menikmati masa muda di Bandung mengingat uang
kiriman dari orang tua yang sering terlambat. Kemudian dia pindah professi
mencari uang tambahan dengan berjualan martabak manis di tempat tidak jauh dari
terminal Kebon Kelapa. Merek dagang martabak tempat dia jualan adalah Martabak
Manis Bang Ogin. Tuhan memberkati tempat usaha jualan martabak ini. Terbukti
selama dia membuat martabak di sini sampai dia menyelesaikan kuliah, tempat
jualan ini paling banyak dikunjungi oleh orang-orang yang akan menuju Jakarta atau datang dari Jakarta . Dan, mungkin statistic akan
mencatat, bahwa pembeli martabak di sini sebagian besar adalah kaum perempuan.
Harap tahu saja, jarang sekali memang penjual martabak adalah orang Ambon dan temanku ini termasuk golongan hitam dan ganteng
… and always keep smiling. Kalau dia sedang tersenyum, waaaah deretan
gigi-giginya yang putih dan rata pasti akan membuat ibu-ibu muda dan semua
perempuan yang sedang menunggu martabak akan menghela nafas panjang sejenak.
Bertahun-tahun
telah berlalu setelah dia diwisuda menjadi sarjana teologi lulusan terbaik di
universitasnya, maka kembalilah dia ke kota
kelahirannya. Aku sendiri selama bertahun-tahun setelah perpisahan di terminal
Kebon Kelapa tidak pernah lagi mengetahui keadaannya bagaimana. Ada yang pulang
ke Medan, ada yang pulang ke Manado, ada yang pulang ke Nabire, tetapi lebih
banyak yang tetap di kota-kota di pulau Jawa. Pada satu hari, aku dalam perjalanan
pulang ke Sawangan dari urusan di Cempaka Putih melewati Jalan Radio Dalam menggunakan
motor Honda. Aku berhenti sebentar untuk istirahat di suatu warung es degan.
Waktu menunjukkan pukul empat sore. Di dalam Tuhan tidak ada yang kebetulan,
aku berhenti di warung es degan bersebelahan dengan gerobak gorengan ta.hu. Di
bagian depan gerobak tertulis pada banner dengan jelas ta.hu goreng krispi
Nurlailah. Ramai sekali pengunjung gorengan ta.hu ini. Kebanyakan yang beli
adalah ibu-ibu muda dan gadis remaja SMA. Ternyata man! Penggoreng ta.hu ini
adalah teman lama waktu kuliah di fakultas teologi dulu, mas Bondo, mahasiswa
dengan nilai IPK tertinggi. Aku pernah merasakan ta.hu krispi seperti ini di
tempat lain di Cawang Kavling. Tekstur ta.hu ini lebih ringan dibandingkan
dengan umumnya ta.hu pada volume yang sama sehingga ketika digoreng dengan
minyak yang panas, ta.hu ini mengembang dan isinya agak kopong. Diselimuti
dengan tepung yang membuatnya menjadi krispy. Rasanya gurih, kress, kresss
seperti makan kripik. Ah, sarjana teologi ini akhirnya menjadi penggoreng ta.hu
terlaris di Jakarta Selatan.-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar