Jumat, 29 Juni 2018

Orang Sunda Tidak Nasionalis?

Pada 27  Juni 2018 telah berlangsungpesta demokrasi untuk pemilihan gubernur gubernur Jawa barat. Calon gubernur nomor 2 yang didukung oleh hanya satu partai, yakni PDI-P telah kalah pada perhitungan quick count. PDI-P adalah partai yang memiliki sejarah panjang di negeri ini yang berbasis nasionalisme. Pada era rezim Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Suharto semua partai yang berbasis nasionalisme digabungkan salam wadah partai yang bernama PDI. Satu dari beberapa partai berbasis nasionalisme adalah PNI, Partai Nasional Indonesia, partai berbasis nasionalisme yang beranggotakan paling banyak. Kemudian PDI pecah menjadi PDI dan PDI-P. Perpecahan partai ini mengingatkan pecahnya Kerajaan Kediri menjadi dua kerajaan, yakni Jenggala dan Daha. Jenggala mati suri sedangkan Daha tetap berjaya, begitu pun PDI, partai ini mati suri sebaliknya PDI-P tetap berjaya sampai sekarang.

Siapakah yang disebut orang Sunda? Mereka yang disebut suku Sunda adalah orang yang menetap di kabupaten-kabupaten di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Cianjur, Purwakarta, Cimahi, Subang, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Majalengka, Ciamis, dan Kuningan; mereka berbahasa Sunda, lahir di tempat-tempat ini dan bermentalitas Sunda. Bekasi, Karawang, Indramayu, dan Cirebon secara geografis memang termasuk Jawa Barat, tetapi sudah tidak begitu kental kagi kesundaannya.

Mayoritas orang Sunda beragama Islam. Mereka bangga dengan identitas sebagai orang Islam sebagai identitas pribadi dan identitas ini sudah menjadi identitas nasional mereka. Satu grup musisi dari Bandung melantunkan banyak lagu pujian [qasidah] sebagai pujian atas identitas mereka. Biasanya lagu-lagu ini sering dilantunkan apabila Hari Raya Idul Fitri tiba. Adalah seorang kelahiran Jawa Timur bernama Sekarmadji Kartosoewirjo menikah dengan gadis Sunda ingin mewujudkan impian membangun Negara Islam Indonesia. Impiannya didukung oleh sebagian besar orang Sunda pada dekade 50-an. Namun, impiannya tidak diijinkan oleh Gusti Allah, maka berakhirlah upaya pemberontakan Kartosoewirjo terhadap pemerintahan sah Republik Indonesia.

Kartosoewirjo memang sudah mati, tetapi cita-cita untuk membangun negara Islam tidak pernah padam. Sayup-sayup dalam alam bawah sadar para bekas pengikut-pengikutnya masih tetap ada. Kondisi seperti ini tidak bedanya dengan orang Jawa pada abad XIX sangat merindukan kedatangan Ratu Adil, bahkan sampai runtuhnya rezim Suharto sayup-sayup pikiran seperti ini masih ada di tengah masyarakat Indonesia [baca : suku Jawa]. Memang tidak mudah melepaskan impian yang salah. Kisah Kartosoewirjo ini dudah menjadi suatu cerita yang dituturkan dari satu generasi ke generasi berikut membentuk satu mentalitas yang semakin koheren pada masyarakat tertentu di lingkungan orang Sunda. Aku pernah membaca dari berbagai sumber, bahwa di Jawa Barat bagian selatan paling tidak terdapat 6 juta jiwa yang buta Pancasila. Kondisi buta Pancasila dalam jangka waktu lama jika dibiarkan, dapat membangkitkan kembali impian yang dulu pernah ada, yakni suatu pemikiran untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Indonesia pada abad ke 21 ini justeru ada seorang figur menonjol yang berani menyatakan, bahwa Indonesia akan dinyatakan bubar pada 2030. Edan tenan! 

Will be continued ... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar