Tetangga cantik. |
Minggu, 29 Juli 2012
Impian Dona Ardianti
Seperti mata uang yang mempunyai dua sisi, maka engkau pun
hidup di dalam dua sisi kehidupan, yakni sisi kehidupan nyata dan sisi
kehidupan dalam impian Anda. Orang muda dan juga kebanyakan orang pasti
mempunyai impian yang penuh warna dan berbunga-bunga. Ketika impian menjadi
kenyataan, maka kebahagiaan mengisi hati Anda, sebaliknya tidak sedikit juga
impian yang hanya menjadi hayalan hampa tidak menjadi kenyataan.
Hati manusia memikirkan langkahnya, tetapi sebenarnya Tuhan
yang menentukan langkahnya. Boleh saja engkau mempunyai impian sebanyak yang
engkau dapat pikirkan. Kalau perlu catat saja semua daftar impianmu mulai dari
yang paling rasional sampai yang paling irrasional untuk dilaksanakan. Tetapi
jangan berlebihan engkau mempunyai impian. Impian membuat manusia berhayal.
Ketika orang berhayal, pastilah hanya segala sesuatu yang menyenangkan dirinya
saja yang dipikirkannya. Mana ada orang yang berhayal dengan pikiran besok
ditabrak mobil kemudian masuk hospital. Kalau orang sudah terperosok di dalam
kubangan hayalan, kelakuannya tidak beda dengan seorang laki yang sedang
menikmati masturbasi. Nikmat, nikmat, nikmat, … dan seterusnya nikmat, tetapi
kenikmatan semu belaka.
Anak perempuan tetanggaku, namanya Dona mempunyai impian menjadi
spesialis saraf. Aku mengenal gadis cantik tetanggaku ini dari sejak anak ini
masih di sekolah dasar dan sampai sekarang juga masih bertetangga. Dari sejak
di sekolah menengah pertama, kecerdasan anak perempuan ini memang sudah
kelihatan padahal dia hanya anak penjual bubur ayam yang berjualan di depan
sekolahnya. Seorang anak mempunyai satu impian tidak selalu dipengaruhi oleh
lingkungan hidup dominant, buktinya ada banyak juga yang bapaknya pendeta,
tentara, atau pelaut, sebaliknya anaknya tidak menjadi seperti bapaknya. Impian
Dona memang melambung melampaui pikiran bapaknya yang penjual bubur ayam saja.
Sarjana strata satu jurusan kedokteran diselesaikan dengan
nilai cum laude. Ia diterima bekerja di hospital Eling Dhewe. Tiga tahun
kemudian atas biaya hospital tempat dia bekerja, Dona melanjutkan kuliah strata
dua untuk spesialis saraf di satu universitas terkenal di Jerman, Universitas
Berlin, dua tahun di sini dan mendapat nilai magna cum laude. Tidak terasa
umurnya sudah merangkak ke angka 30, tetapi yang ada di dalam pikiran anak
penjual bubur ini adalah mewujudkan impiannya menjadi doktor spesialis saraf.
Hermanto Kumolo, pacarnya sejak di SMP terpaksa diputuskan hubungannya ketika
dia akan berangkat ke Berlin
demi impian yang telah memenuhi pikirannya selama bertahun-tahun.
Pada usianya yang ke 32, dia melanjutkan pendidikan puncak
yang memang sudah dinantikannya selama bertahun-tahun, yakni strata tiga
spesialis saraf di Liverpool , Inggris. Ia
mendapatkan bea siswa dari satu lembaga internasional di bidang pendidikan yang
berkedudukan di London. Selama tiga tahun dia mengikuti pendidikan doktoral di
Universitas Liverpool . Tidak ada waktu untuk
cinta! Siapa saja yang ingin berhubungan dengan dia harus ada hubungannya
dengan professinya, kecuali dia meluangkan sedikit waktu untuk bapak dan ibunya
lewat korespondensi.
Tuhan yang menentukan langkah manusia, karena Dia pemilik
kehidupan di bawah langit ini. Takut kepada Tuhan adalah awal dari pengetahuan.
Bukan jerih payah manusia datangnya kesuksesan, melainkan dari kemurahan Tuhan.
Ia memang berhasil menyusun disertasinya, tetapi dia gagal mempertahankan
disertasinya. Diulang lagi, tetapi tetap gagal. Ia drop out. Ia kembali ke Indonesia
tetapi dia telah memutuskan untuk tidak bekerja di Eling Dhewe lagi. Malu yang
amat sangat dan depressi. Puluhan tahun hidupnya penuh puja dan puji dari
keluarga dan teman-teman sekolah, kuliah dan semua pekerja hospital, tetapi
bagi dia saat ini semuanya gelap, merasa tak ada lagi yang mau menerima dia,
merasa sebagai makhluk tak berharga lagi.
Sekarang, dia memang tetap berada di hospitalnya dulu,
tetapi tidak sebagai DR. dr. Dona Ardianti Partono, spesialis saraf, melainkan
dia menetap di salah satu ruang di hospital ini sebagai pasien gangguan
kejiwaan berat. Satu bulan setelah dia kembali ke kota
asalnya di Semarang ,
dia pada satu tengah malam berteriak sangat histeris di kamarnya selama tiga
jam. Itulah awalnya dia menghuni kamar 13 hospital Eling Dhewe. Kasihan.
Tetangga yang aku kenal sejak kecil. Aku ikut sedih dan menangis … .-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar