Jumat, 04 Mei 2012

Sadrach Surapranata Pengabar Injil Dari Jawa Tengah


Menurut perkiraan dia dilahirkan pada tahun 1835 di dekat Jepara dengan nama kecil sebagai Radin. Jepara adalah kota kecil terletak di pantai utara Jawa Tengah, di sebelah utara Demak. Berturut-turut dari Pekalongan, Semarang, Demak, Jepara, Pati sampai Lasem adalah daerah di mana banyak Muslim santri tinggal di sini. Dari na­manya saja dapat diketahui, bahwa dia berasal dari desa.

Gereja Sion Di Jakarta : Di gereja ini Sadrach dibaptis.
Sepanjang hidupnya banyak dilalui dalam pencarian kebenaran sejati melalui guru-guru pesantren. Karena itu, untuk memahami perkembangan moral dan spiritualnya, ada baiknya untuk memahami apa itu pesantren dan apa saja yang dikerjakan oleh para murid di sini. Pesantren adalah tempat para pemuda menuntut ilmu keagamaan, sama seperti di sekolah Al Quran tingkat dasar, setingkat di bawah pesantren, tetapi di sini dengan kurikulum yang lebih diperluas. Guru pesantren disebut kiai. Ini adalah sebutan yang umum di Jawa terhadap guru agama yang dihormati di dalam masyarakat sedangkan murid pesantren biasa disebut santri.

Mereka memandang kiai sesungguhnya adalah wali-wali hidup, sebagai guru, sumber berkah pengetahuan yang sebenarnya. Kiai harus ditaati tanpa pertanyaan dan bertanggung jawab terhadap ke­butuhan materiil dan latihan spiritual muridnya. Para murid diajarkan terutama mandiri secara spiritual dan mencukupi kehidupan sehari-hari yang pada waktu itu memang serba terbatas. Mereka mengolah sawah dan beternak hewan milik guru pesantren atau membantu berdagang gurunya di pasar. Memang ada juga kiai-kiai kaya yang membiayai pesantrennya, tetapi yang dihargai oleh masyarakat adalah kesederhanaan hidupnya, karena jika tidak begitu, dia akan segera ke­hilangan pengikutnya.

Jika ada murid yang tampak lebih rajin dan lebih berprestasi dari yang lain, dia dapat menjadi asisten kiainya; dengan demikian mereka saling berlomba menjadi rajin dan berprestasi di hadapan gurunya. Lebih dari itu, jika ada murid yang beruntung, karena prestasi dan kepribadiannya sangat menonjol di antara murid-murid lainnya, boleh jadi dia akan diangkat menjadi menantu kiainya sebagai penerus. Kegiatan yang tampak spartan ini pada akhirnya membentuk karakter para santri menjadi orang yang disiplin dan memiliki kemampuan mengembangkan inisiatif dan kreativitas pri­badi.

Santri tidak hanya berasal dari masyarakat rendahan, tetapi ba­n­yak juga yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Di tempat ini mereka diperlakukan sama rata, sama rasa; ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Mereka dididik menjadi santri yang tahu mem­bawa diri baik terhadap lingkungannya sendiri maupun di masyarakat luas. Pada umumnya antara satu pesantren berkaitan dengan pesantren yang lain, karena apabila seorang santri selesai berguru pada seorang kiai selanjutnya berguru pada kiai lain; dia mengembara mencari kiai yang dianggap lebih sakti dari kiai sebelumnya.

Belum lengkap rasanya bagi seorang santri, sekali pun telah mencapai puncak mempelajari agama apabila belum belajar ngelmu untuk menambah kesaktian. Karena kesaktiannya akan menambah nilai kewibawaannya, apabila dia mempunyai pesantren kelak. Ia sempat belajar ngelmu kepada Pak Kurmen alias Sis Kanoman, bahkan dia diangkat sebagai anak angkatnya.

Kemudian dia memulai pengembaraannya memperdalam ilmu keagamaan Islam ke Jawa Timur, Ia mengunjungi ke seluruh pelosok Jombang kemudian dilanjutkan ke Ponorogo, dua kota yang terkenal dengan pesantrennya, tetapi pada waktu itu pesantren Tebuireng di Jombang dan pesantren Gontor di Ponorogo belum ada. Di sekitar Jombang terdapat banyak kantong-kantong Kristen, yang paling menonjol adalah Ngoro dan Mojowarno. Namun, perjumpaannya dengan orang-orang Kristen di sini belum menyentuh kalbunya untuk beralih iman kepada Kristus.

Selesai menimba ilmu di Jawa Timur, Radin kembali ke Semarang dan tinggal di Kauman [tempat tinggal eksklusif orang-orang Islam] sambil memperdalam ilmu dengan guru-guru Arab dan para haji. Se­jak itu dia menambahkan nama Arab dibelakang namanya, menjadi Radin Abas sebagai tanda, bahwa dia adalah benar-benar santri.

Di kota ini, melalui Pak Kurmen atau Sis Kanoman, bekas guru ngelmunya yang telah menjadi Kristen, dia berkenalan dengan seorang pekabar Injil, Tunggul Wulung namanya. Pak Kurmen memeluk agama Kristen setelah dia kalah dalam debat umum dengan Tunggul Wulung. Pergaulannya dengan Tunggul Wulung, membuat dia mulai tertarik dengan kekristenan. Bersama Tunggul Wulung dia berangkat ke Batavia [sekarang Jakarta] untuk diperke­nalkan kepada Anthing, wakil ketua Mahkamah Agung di Batavia. Selama tinggal di kediaman Anthing, dia mengikuti katekisasi oleh Mattheus Teffer, seorang pengabar Injil yang pernah melakukan pelayanan di pulau Sawu dan Sumba.

Pada masa katekisasi Radin di Batavia, ada seseorang lain yang berpengaruh mengisi pikirannya terhadap kekristenan. Ia adalah E.W. King (1824-1884), seorang peranakan Inggeris kelahiran Padang yang pernah belajar teologi di Inggeris. Ia memiliki jemaat Kristen bernama Rehoboth di Mesteer Cornelis [Jatinegara sekarang]. Ia berpengetahuan tentang bahasa dan kebudayaan Jawa sehingga memungkinkan dia bertutur sangat akrab dengan Radin tentang kekristenan. 

Radin Abas dibaptis oleh Pendeta Ader, yang bernama lengkap Johannes Willem Hendrik di Gereja Sion [letaknya di seberang stasiun kereta api Jakarta Kota sekarang], Batavia pada tanggal 14 April 1867 dengan nama baptis, Sadrach. Selama tinggal di tempat Anthing, dia bekerja membantu menyebar­kan traktat gereja, pekerjaan yang dulu pernah dilakukan juga oleh Tunggul Wulung.

Nama baptisnya Sadrach, tampaknya dia tidak sembarangan memilih nama ini. Telah disebutkan di atas, bahwa perilaku rohani suku Jawa adalah mimpi, penglihatan dan pendengaran. Tentu bukan kebetulan apabila dia memilih nama baptisnya adalah Sadrach, nama yang ada dalam kitab Daniel. Di dalam Daniel pasal 2 sampai 4 ter­dapat hal-hal yang tampaknya sejalan dengan ngelmu Jawa, yaitu Raja Nebukadnezer mempunyai penglihatan dalam mimpinya, ke­mudian Daniel menafsirkan mimpi raja ini. Bertitik-tolak dari sini, tampaklah, bahwa Radin Abas memutuskan untuk menggunakan nama baptis Sadrach seperti mematut-matut pribadinya sebagai tokoh yang ada di dalam kitab Daniel tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa, dia cermat membaca Alkitab, memiliki bobot intelektual yang cukup memadai untuk menafsir dan disertai pengalaman hidupnya; kelak semua ini mewarnai pikirannya bagaimana dia memandang Yesus.

Sadrach meninggalkan Batavia menuju desa Bondo, di Jepara di sebelah timur Semarang kemudian bergabung dengan Tunggul Wulung. Telah disebutkan di atas [baca Tunggul Wulung], mereka berpisah karena adanya konflik internal di antara mereka. Kemudian dia melanjutkan perjalannya ke Kediri. Tak jelas apa tujuannya menuju ke timur. Mungkin karena dia tidak mendapatkan apa yang sedang dicarinya, dia berjalan balik lagi ke barat menuju Purworejo. Di kota ini dia berkenalan dengan seorang pengabar Injil, yakni Nyonya Philips. Di kota ini juga Sadrach berkenalan dengan pengabar Injil yang lain, yaitu Brouwer. Sadrach menyuruh suku Jawa Kristen untuk belajar lebih lanjut kepada Nyonya Philips dan Brouwer.

Akhir perjalanan Sadrach dalam pencarian ngelmu sejati yang di­carinya, sampailah dia di desa Karangjoso, tidak jauh dari Kutoarjo. Ia telah mendapatkan apa yang dicarinya selama bertahun-tahun pengembaraannya mencari kebenaran, yaitu ngelmu plus yang tidak pernah dia jumpai selama belajar di pesantren. Ngelmu plus itu adalah kebenaran yang terdapat di dalam pribadi Nabi Ngisa Rohul­lah. Sebagai seorang Jawa, dia tidak terlepas dengan tra­disinya, yaitu dia menambahkan namanya, Sadrach menjadi Sadrach Surapranata setelah Nyonya Philips meninggal dan memimpin sendiri jemaatnya di Karangjoso. Nama seseorang tidak terlepas dari gelar-gelar yang dimilikinya, nama Yesus dari Nazaret memang hanya satu, tetapi ke­lak Sadrach menyebut gelar Yesus lebih banyak dibandingkan dengan jemaat di Ngoro.

Pengakuannya kepada Yesus sebagai guru, panutan dan Ratu Adil didasarkan pada pengalamannya tentang makna Yesus bagi dir­i­nya. Pengalaman hidupnya sebagai murid pesantren, guru ngelmu dan berbagai isu yang sedang berkembang dalam masyarakat pada waktu itu mencerminkan pandangannya terhadap Yesus. Isu-isu yang sedang berkembang pada waktu itu adalah mencari guru, panutan dan Ratu Adil.

Figur Yesus yang dipandang Sadrach sebagai seorang guru, ban­yak terdapat di dalam Perjanjian Baru dan apa yang dihayatinya terhadap Yesus sebagai guru adalah bawah sadarnya yang sangat mendalam sepanjang pengalaman hidupnya sebagai murid di pesantren. Menurut Partonadi hakekat seorang guru adalah :

“Seorang guru yang hidupnya tercela tidak dapat berfungsi sebagai seorang panutan, dan karenanya dianggap guru palsu. Literatur klasik Jawa memuat peringatan-peringatan dalam mencari seorang guru yang benar. Seseorang perlu mencarinya dengan hati-hati agar memperoleh guru yang benar, seo­rang panutan sejati – seorang yang sempurna seperti diperlihatkan melalui sikap moral.”

Pribadi yang dilukiskan menurut pandangan seperti ini ada di dalam figur Yesus, penulis meyakini pandangan seperti ini ada dalam pikiran Sadrach seorang pencari kebenaran sejati. Jika seseorang menyebut gelar Yesus sebagai apa, maka gelar yang disebut­nya itu akan terhisab terhadap semua gelar yang dimiliki oleh Yesus, karena gelar-gelar-Nya itu terintergrasi di dalam pribadi-Nya. Jika Sadrach menyebut Yesus sebagai Guru, maka gelar yang disebut olehnya itu terhisab juga terhadap gelar-gelar yang dimiliki Yesus selain sebagai Guru, yakni guru yang menyelamatkan. Jika Sadrach menyebut Yesus sebagai panutan, maka gelar yang disebut olehnya itu juga terhisap terhadap gelar-gelar lain yang dimiliki oleh Yesus sebagai Gembala, yakni gembala yang baik. Karena gembala (baca : pendeta) yang baik pasti akan menjadi panutan bagi domba-dombanya [anggota jemaat].

Tidak salah sama sekali apabila Sadrach menyebut Yesus adalah Ratu Adil sebagai mesias eskatologis. Karena di dalam Mazmur 75, Yesus disebut sebagi Hakim yang Adil, ratu yang adil identik dengan hakim yang adil. Melihat kecermatannya dalam membaca Alkitab, hal ini menunjukkan bahwa dia telah memiliki pemahaman yang benar tentang Yesus bahwa Yesus Ratu Adil bukan lagi ratu adil sebagai pengertian mesias politik, melainkan mesias dalam arti eskatologis. Pemahaman ratu adil seperti inilah yang dia ajarkan kepada pengikut-pengikutnya.

Sadrach menarik banyak pengikutnya melalui debat umum de­n­gan guru ngelmu. Apabila Sadrach [memang selalu] dapat mematahkan ke­yakinan lawannya, maka lawannya beserta seluruh muridnya tunduk berguru kepadanya. Pengaruh kuat Islam sufistik pada waktu itu, yaitu ketaatan murid terhadap gurunya adalah kerangka ketaatan dalam hubungan hamba dan Tuhan (manunggaling kawulo Gusti). Jadi, kalahnya seorang guru dalam bertarung [baca : debat umum], maka murid-muridnya yang lain harus taat juga mengikuti jejak gurunya berpindah kepada agama penakluk gurunya. Jumlah muridnya mencapai lebih 6000 orang. Ia meninggal dunia pada tanggal 14 [atau 15?] November 1924.-



1 komentar: