Tugu Monumen Nasional Jakarta. |
Minggu, 30 September 2012
Menuju Bangsa Indonesia Bersatu
Mari kita
membangun bangsa Indonesia bersatu menuju masyarakat yang damai dan tentram sehingga kita merasakan bahagia
dengan kondisi yang demikian. Menciptakan pergaulan masyarakat yang sehat dan
yang setara adalah cita-cita bangsa Indonesia
menuju persatuan Indonesia ,
yakni negara yang kuat dan bermartabat. Indonesia adalah negeri yang
beragam suku, bahasa, golongan, dan agama. Mereka pasti berbeda satu dengan
yang lain, tetapi janganlah perbedaan ini menciptakan pergaulan yang eksklusive
dan menganggap salah satu kelompok paling unggul dari lainnya.
Manusia Indonesia
sesungguhnya adalah manusia egois. Manusia egois selalu menganggap dirinya
paling penting dan paling benar. Manusia egois hanya memusatkan pada dirinya
sendiri, ke tingkat yang lebih tinggi lagi, mereka hanya mementingkan kelompok yang
berkepentingan sama, ke tingkat yang lebih ekstrem adalah kesamaan keyakinan,
yakni agama yang mereka yakini. Di tempat yang terakhir ini mereka merasa tidak
perlu memberi tempat kepada mereka yang berbeda dengan mereka. Tetanggaku hanya
karena dia adalah non Muslim, maka dia harus puas dengan jabatan terakhir
sebagai wakil kepala distrik di satu tempat di Bekasi.
Kita pernah
dijajah selama ratusan tahun oleh satu bangsa yang luas negerinya hanya seluas
Lampung. Lampung hanyalah bagian kecil dari pulau Sumatra .
Egoisme adalah kelemahan terutama bagi bangsa Indonesia sehingga Belanda dengan
mudah menciptakan bangsa ini terkotak-kotak oleh sekat kesukuan yang sangat
tinggi. Itu sebabnya dulu di Jakarta ada banyak kampung yang terisolasi satu
sama lain, seperti kampung Melayu, kampung Ambon, kampung Jawa, kampung Bali,
kampung Bandan [untuk orang Banda], kampung Makassar, kampung Bugis, kampung
Cina, dan seterusnya. Walaupun Indonesia sudah merdeka, rasa kesukuan itu masih
berbekas, karena masih ada ungkapan kasar di tengah masyarakat, misalnya dasar
Batak, dasar Jawa kowek, dasar Padang bengkok, dan seterusnya.
Sekat-sekat
kesukuan belum hilang sama sekali, ini dapat kita saksikan perang antar suku di
provinsi Papua dan Maluku Utara, tetapi sekarang muncul sekat baru, yakni sekat
keagamaan. Lima penganut agama yang selama
bertahun-tahun diakui keberadaannya di Indonesia , yakni Islam, Kristen,
Katholik, Hindu, dan Buddha. Tetapi, sejak reformasi politik keberadaan Kong Hu
Cu diizinkan. Mereka pasti berbeda satu sama lain, tetapi yang pasti mereka
memiliki kesetaraan dalam hal membangun negara. Apakah realitasnya demikian?
Pada 20
September 2012 penduduk Jakarta telah melakukan
pemilihan gubernur putaran kedua, pertarungan antara pasangan Jokowi – Ahok
terhadap pasangan Foke – Nara .
Seperti pada umumnya menjelang hari penentuan, maka kedua pihak melancarkan
kampanye. Kira-kira dua minggu sebelum hari penentuan, beredar fatwa di di
tengah masyarakat Muslim Jakarta, bahwa aib bagi bangsa ini, jika memilih
pemimpin yang bukan Muslim [baca : Islam]. Ahok adalah nama panggilan dari
Basuki Tjahaya Purnama, orang turunan Cina dari Bangka-Belitung dan non Muslim.
Ada banyak Ahok di negeri ini yang mempunyai
keinginan yang sama, yaitu membangun Indonesia menuju negara yang
bersatu. Namun, sampai kapan pun negara ini pasti tidak akan pernah bersatu
membangun negara, jika agama dijadikan issue penyekat masyarakat sehingga
masyarakat terkotak-kotak, terutama antara golongan Muslim dan non-Muslim.
Keberadaan
penganut Hindu dan Buddha sudah ada ratusan tahun sebelum Muslim masuk ke Indonesia , bahkan bertahun-tahun sebelum
Kerajaan Majapahit ada sudah banyak orang Cina masuk ke pulau Jawa dan Sumatra . Apakah keberadaan mereka diabaikan begitu saja
hanya karena mereka non Muslim? Betapa tentramnya kehidupan kota
Blitar, di kota sekecil ini terdapat lima penganut agama yang
dapat hidup dengan toleransi yang besar satu dengan yang lain. Kelompok yang
mengeluarkan statement fatwa tersebut di atas pasti orang yang tidak belajar
dari sejarah, bahwa Jakarta
dulu juga pernah mempunyai gubernur non Muslim, yaitu Henk Ngantung. Mengapa
harus phobia kepada etnis Cina dan non Muslim?
Jika yang
menjadi gubernur Jakarta
adalah turunan Cina dan non Muslim, kekuatiran apa terhadap mereka. Kekuatiran
yang tidak logis, inilah yang disebut phobia. Chinese phoby, Non Moslem phoby.
Kekuatiran nanti semakin banyak rumah ibadat non Muslim dibangun. Orang yang
kuatir apalagi sampai phobia karena tidak pernah memberi kesempatan gagasan
sehat masuk ke dalam pikirannya. Orang-orang seperti ini yang ada di dalam
pikirannya adalah curiga terus. Jangan-jangan begini, jangan-jangan begitu,
jangan-jangan ke sini, jangan-jangan ke sana .
Jika Anda mempunyai atasan keturunan Cina dan atau non Muslim, apakah kondisi
seperti ini dapat dijadikan alasan untuk tidak mentaati perintah atasan?
Pasangan
Jokowi – Ahok menang mutlak atas pasangan Fauzi Bowo – Nasrullah pada
penghitungan cepat atau quick count dengan hasil 53:46. Gubernur incumbent,
Fauzy Bowo menunjukkan sebagai seorang Muslim jiwa besar memberi ucapan selamat
kepada calon gubernur terpilih dan mengajak semua warga Jakarta
untuk membantu gubernur terpilih bersama membangun Jakarta . Jika Jakarta ingin berhasil dibangun,
tidak cukup hanya seorang Joko Widodo saja, melainkan keinginan bersama semua
warga Jakarta mau diatur dan mau mau ditata menuju Jakarta yang indah dan
tertib. Jangan ada lagi dikotomi Muslim dan non Muslim.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar