Pilih yang berkumis. |
Jumat, 16 November 2012
Dibutuhkan Seorang Presiden Yang Berdiri Di Atas Kepentingan Nasional
"Rhoma Irama akan mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia pada 2014. Apakah dia seorang nasionalis sejati?"
Saya pernah membaca sekilas saja sebuah buletin tentang
harapan satu kelompok masyarakat bahwa seorang presiden hendaknya membela
kepentingan umat. Tapi kepentingan umat yang mana karena di Indonesia terdapat banyak umat dari
berbagai agama. Jika membela kepentingan umat yang satu, hal ini tidak
mencerminkan seorang presiden yang berdiri di atas kepentingan nasional.
Berbicara tentang kebangsaan berarti bebicara tentang suku (etnis), golongan,
agama, kebudayaan, dan lain-lain tentang aset satu bangsa. Pada usia negara
kita yang telah mencapai lebih 65 tahun, seharusnya tak ada pikiran kelompok
mayoritas atau kelompok minoritas, karena semua warga negara mempunyai hak yang
sama membela dan membangun negara. Semua warga negara mempunyai satu pikiran
bahwa negara ini adalah bukan milik satu kelompok suku, satu kelompok
masyarakat beragama sama, satu kelompok masyarakat berkepercayaan sama
melainkan milik bangsa Indonesia
yang terdiri dari banyak suku, agama, dan kepercayaan yang berbeda-beda yang
mempunyai satu tujuan yang sama, yakni membangun negara kuat dan berdaulat.
Ini adalah realitas NKRI yang dibangun dari pluralitas
suku-bangsa, jadi jangan sentimental merindukan seorang presiden yang memberi
pembelaan khusus terhadap satu agama, suku, atau kelompok tertentu. Seorang
presiden adalah figure yang menjalankan amanat dari TUHAN melalui institusi
manusia, yaitu mengayomi semua warga negara tanpa pandang bulu, sebagaimana
TUHAN tidak hanya memperhatikan bangsa gajah, tetapi juga memperhatikan bangsa
kucing, pelanduk, kecoa dan lain-lain karena semua yang ada di bawah langit ini
juga membutuhkan perhatian-Nya yang sama. Seorang presiden yang bijak penuh
hikmat tidak membela kepentingan satu umat atau suku saja, pikirannya fokus ke
satu arah, yaitu kepentingan nasional atau kebangsaan. Karena itu pilihlah
seorang presiden dengan cara yang rasional, bukan karena melihat sosoknya
tinggi, gagah, dan ganteng melainkan yang pro rakyat dan cepat mengambil
keputusan. Mari lanjutkan tulisan ini.
Jangan melupakan sejarah bangsa, bahwa pada tanggal 28
Oktober 1928 para pemuda Indonesia mendeklarasikan SUMPAH PEMUDA yang berisi
poin-poin, yaitu, bertanah air satu Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia,
berbahasa satu bahasa Indonesia. Rasa kebangsaan adalah rasa kemanusiaan. Di
dalam rasa kemanusiaan ini diwujudkan solidaritas, perdamaian, kerja sama,
tekad hati menatap masa depan yang cemerlang. Rasa kebangsaan seperti ini
seharusnya lebih dari cukup untuk mengatasi sekat-sekat kesukuan, kepercayaan,
kepentingan golongan, ideologi, kebudayaan, dan doktrin agama.
Namun, setelah lebih 80 tahun Sumpah Pemuda cita-cita
deklarasi para pemuda pendahulu kita seperti terlupakan gemanya. Semangat otonomi
daerah (baca : desentralisasi) pada mulanya bertujuan untuk meningkatkan
potensi daerah di segala bidang, tetapi lambat laun justeru semakin
mengentalkan suasana kesukuan yang lebih dalam, yakni dari negara kebangsaan
berangsur-angsur menuju ke arah kesukuan dan keagamaan yang semakin mengental.
Kita kembali ke arah zaman sebelum SP dideklarasikan, yakni orang hanya
memikirkan suku dan agamanya masing-masing. Walaupun agama dan sukunya sama
belum tentu bersatu, apalagi disertai kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Menghadapi realita kebangsaan bangsa kita ini, ada baiknya dengarlah apa kata
Sri Sultan, Raja Jawa ini :
Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan sebagai bangsa
majemuk, jika mencari presiden dan wakil presiden bangsa Indonesia sebaiknya tidak lagi
bicara tentang dikotomi antara Jawa dan non-Jawa. Sebagai bangsa yang
menggunakan semboyan Bhinneka Tunggal
Ika , Indonesia
mengakui beragam etnis dan agama. Sehingga, bukan waktunya lagi untuk berbicara
tentang mayoritas atau minoritas. Sultan justeru menilai kelompok mayoritas
harus bisa mengayomi kelompok minoritas. Sri Sultan mengatakan bangsa Indonesia
sejak awal mengakui persatuan dan bukan kesatuan. Persatuan itu berarti mengakui adanya
kemajemukan, tidak mempertanyakan asal daerah juga agama yang dianut.
Bagaimana negara kita bisa maju jika isu agama dan suku masih menjadi
agenda utama bagi bangsa ini? Bagaimana negara kita bisa maju jika masih
berkutat di seputar mayoritas-minoritas. Ini namanya pikiran bangsa kita belum
merdeka. Kita sendiri yang membelenggu pikiran kita sehingga tidak pernah
berkembang. Orang yang memang berprestasi seharusnya di dukung tanpa melihat
agama dan sukunya, ini namanya membangun negara dengan semangat kebangsaan.
Mari belajar dengan Amerika yang sudah maju lebih dahulu mengatasi
masalah kebangsaan. Anda tahu kan siapa itu gubernur negara bagian California,
dia adalah Arnold Schwarnegger, orang keturunan Austria, Eropah Tengah; Anda
tahu siapa gubernur negara bagian Florida, dia adalah masih saudara kandung
dari bekas presiden Amerika, George W. Bush, orang berasal dari negara bagian
Texas; walikota New York City dipegang oleh orang keturunan kulit hitam. Tidak
ada tuh istilahnya putera daerah Kansas , California , dan
seterusnya. Ragam umat di Amerika jauh lebih banyak dibandingkan di Indonesia .
Sekte-sekte yang jelas berseberangan dengan orthodoksi Protestan diizinkan
bernafas di sini, tetapi Presiden Amerika tidak mempunyai kepentingan membela
umat mayoritas Protestan; karena bagi konstitusi semua umat mempunyai peluang
yang sama untuk bernafas di bumi Amerika sepanjang mereka tidak menggangu
ketertiban dan rajin bayar pajak. Mereka bangga pernah mempunyai presiden
sekaliber John F. Kennedy, seorang Katholik di tengah-tengah mayoritas
Protestan. Saat ini mereka mempunyai seorang presiden, bekas anak Menteng,
seorang kulit hitam asal Kenya
di tengah-tengah mayoritas kulit putih. Secara obyektif mereka bangsa yang
berhasil mengatasi sekat-sekat mayoritas-minoritas.
Sudah banyak orang Indonesia
tugas belajar mempelajari bermacam-macam ilmu di manca negara, khususnya ke
Amerika, tetapi begitu kembali ke Indonesia pikirannya kembali ke
masa sebelum deklarasi SP. Sedih deh saya. Memang tidak semua ilmu-ilmu dari
Barat berguna di sini, tetapi bisa kan
dipilih-pilah mana yang cocog untuk diterapkan di sini. Masalah di Barat memang
beda dengan di sini, tetapi setidaknya pola pikir kan bisa disesuaikan. Misalnya, alon-alon
asal kelakon, pola pikir seperti ini mungkin berlaku berpuluh tahun yang lalu.
Nah, setelah bergaul dengan bangsa lain yang lebih maju dan lebih cepat, apakah
kita masih terpaku dengan pola pikir lama. Jadi? Inisari tulisan ini adalah
jangan kuatirlah tidak kebagian perhatian dari seorang Tuan Presiden.-
Sumber-Sumber
Kepustakaan :
ü
Armada Riyanto CM, Rasa Kebangsaan 1928, Jakarta : Kompas, Artikel, 27 Oktober 2008.
ü
Anies Baswedan, Bentangkan Optimisme Bangsa, Jakarta : Kompas, Artikel,
27 Oktober 2008.
ü
Sri Sultan Hamengku Buwono, Jangan Lagi Bicara Jawa dan Non-Jawa, Jakarta : Seputar Indonesia , Pernyataan, 1 Maret
2008.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar