Makan nasi pakai supit. |
Minggu, 28 Oktober 2012
Menggugah Rasa Malu Tuan Gubernur
“Jika engkau tidak
dapat makan seperti manusia, engkau tak ada bedanya dengan anjing-anjing yang makan
sampah di tempat sampah.”
Setiap pribadi, setiap suku, dan ke tingkat yang lebih
tinggi, yaitu bangsa yang bermartabat memegang nilai-nilai tersebut di atas,
tetapi bobotnya berbeda-beda satu sama lain. Sebagai satu bangsa, ada yang
menekankan kesetiaan, responsibility, dan rasa malu. Penulis Amsal mengatakan
belajarlah dari semut. Semut adalah binatang yang paling rajin bekerja, mereka
mengumpulkan makanan untuk kepentingan bersama. Tetapi, setiap bangsa mempunyai
implementasi yang berbeda satu sama lain dalam pelaksanaan rajin bekerja.
Misalnya, orang Jepang rajin bekerja dilandasi rasa kesetiaan, responsibility,
dan rasa malu. Apakah masih ada orang yang mempunyai rasa malu di Indonesia ?
Jika ada orang mempunyai rasa malu, seharusnya tahu diri, kalau sudah pernah
menjadi narapidana sekian tahun di dalam penjara, baiknya mengundurkan diri.
Tidak perlu menunggu Tuan Presiden atau Tuan Gubernur memecat Anda. Jangan
pura-pura tidak tahu. Jika ada orang tidak mempunyai rasa malu lagi, dia tidak
beda dengan anjing-anjing di tempat sampah.
Di Jerman ada seorang perempuan kepala gereja di negeri ini
karena telah mengendarai mobil dalam keadaan mabuk, dia mengalami kecelakaan,
tetapi tidak ada korban jiwa. Satu hari kemudian, perempuan ini mengundurkan
diri dari jabatannya, walaupun public di negeri ini masih menginginkan dia
masih tetap menjabat sebagai kepala gereja. Ada rasa malu di hati orang ini. Di Jepang
pernah ada dua orang menteri, yang satu dicurigai terlibat korupsi sedangkan
yang lain dicurigai pernah mempunyai hubungan dengan Yakuza. Mereka telah
mengundurkan diri dari jabatan mereka, walaupun belum ada penyelidikan resmi dari
polisi dilakukan terhadap mereka. Ada
rasa malu di hati kedua menteri ini. Bahkan pada masa lalu, di Jepang ada
kebiasaan pada mereka untuk menebus rasa malu dengan melakukan hara-kiri, yakni
bunuh diri atas kerelaan hati sendiri. Tetapi pada zaman modern ini mereka
cukup dengan mengundurkan diri dari jabatan. Sekali lagi ada rasa malu.
Hidup ini tidak cukup dijalani hanya dengan landasan hukum,
melainkan juga harus ada rasa. Tetapi rasa itu subyektif sifatnya, mungkin
begitu Anda berpikir. Memang benar, rasa itu subyektif sifatnya, dapat benar,
dapat juga salah, karena itu berlatihlah supaya Anda peka dengan rasa itu.
Franz Magnis Susena, Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia mengatakan,
bahwa anak-anak Jawa sejak kecil dididik rasa malu, yakni malu karena melakukan
perbuatan yang tidak layak bagi manusia bermoral. Intinya ditekankan masalah “rasa”. Well, orang Jawa mempunyai rasa
malu ketika masih berada di Yogyakarta atau Surakarta ,
tetapi begitu tiba di Jakarta
rasa malu itu sirna sama sekali [sorry, ya, it’s just kidding]. Di Yogyakarta
indeks korupsi, tidak terhitung oleh lembaga riset alias 0 [baca : nol]. Tuhan
juga yang mengajarkan kepada manusia tentang adanya rasa di dalam hati manusia.
Tuhan bicara tentang rasa kepada manusia di dalam Kitab Amsal dan Kidung Agung.
Jika ada orang sudah tidak mempunyai rasa malu lagi, orang ini tidak bedanya
dengan anjing di onggokan tempat sampah. Apakah ada anjing yang mempunyai rasa
malu?
Di satu provinsi di Indonesia bagian barat ada sebelas
orang yang pernah dipenjara karena perbuatan korupsi mereka terhadap negara,
tetapi gubernur tidak memecat mereka sampai habis masa hukuman mereka. Mereka
telah dipromosikan oleh gubernur menduduki jabatan penting di provinsi
tersebut. Siapa saja warga negara Indonesia yang telah mendapat vonnis
dari hakim dan telah berkekuatan hukum, seharus orang ini segera dipecat dari
jabatannya. Namun, mereka sebelas orang ini tidak dipecat oleh gubernur
sebaliknya telah mendapat rekomendasi dari gubernur untuk menduduki jabatan
penting dengan alasan tidak ada undang-undang yang melarang bekas pejabat yang
telah menjalani masa hukuman di penjara untuk dipromosikan kembali. Tidak ada
rasa malu lagi, baik gubernur maupun mereka yang telah mendapat promosi
jabatan. Tindakan gubernur ini melukai rasa keadilan bangsa Indonesia , karena gubernur ini melawan arus di
tengah bangsa Indonesia
yang sedang giat memberantas kejahatan korupsi.
Banyak contoh di banyak negara, bagaimana pemerintah negara
tersebut dalam upaya memberantas korupsi. Misalnya, pemerintah Latvia pernah
memberhentikan separuh dari seluruh jumlah pegawai negeri, Cina dan Viet Nam
melakukan hukuman mati, sedangkan pemerintah Georgia telah mengganti separuh
dari seluruh jumlah polisi di negara ini.
Jika tindakan gubernur ini tidak dicegah sama sekali, bukan
tidak mungkin lagi tidak membuat effek jera kepada pejabat negara yang korup.
Banyak dukungan dari masyarakat supaya hukuman mati berlaku bagi pejabat korup,
ini gubernur justeru mengangkat mereka dengan jabatan khusus. Sekiranya banyak
juga yang keberatan terhadap hukuman mati, mereka pejabat korup itu seharusnya
dihukum penjara dengan hukuman maksimal tanpa keringanan hukuman dan seluruh
harta korupsi disita oleh negara. Mereka harus dimiskinkan. Dan, jangan lupa
mereka harus dipecat dari jabatan mereka!!! Apakah bangsa ini sudah tidak
mempunyai rasa malu lagi?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar