SMA di Jakarta Timur |
Kamis, 18 Oktober 2012
Perkelahian Massal Siswa Antar SMA di Jakarta
Perkelahian massal siswa SMA antar sekolah sudah menjadi
issue nasional, bahkan tidak jarang juga perkelahian massal mahasiswa antar
universitas terjadi. Masalah sekecil apa pun jika dibiarkan berlalu, pasti akan
menjadi issue yang semakin besar di dalam masyarakat dan menjadi gangguan ketertiban
dan keamanan. Perkelahian massal ini juga diawali pada satu dan dua titik saja
di Jakarta dan
dibiarkan, karena dipikir mungkin akan hilang sendiri. Issue perkelahian massal
ini sudah menjadi masalah serius yang harus segera diakhiri. Perkelahian massal
siswa SMA di Jakarta ini, temanku di Australia mengatakan, kejadian tersebut dapat
dilihat di sana
melalui tv. Memalukan bangsa Indonesia !
Perkelahian massal ini sudah sangat memperihatinkan sekali, karena dalam satu
bulan September tahun ini sudah tiga orang siswa SMA mati dalam perkelahian massal
ini.
Empat puluh tahun yang lalu perkelahian antar siswa sudah
ada, tetapi hanya sebatas duel satu lawan satu walaupun melibatkan dengan
sekolah lain. Selesai berkelahi tak ada dendam pribadi. Dan, pada masa itu juga
di Jakarta yang
disebut perkelahian massal hanya terjadi di wilayah Paal Meriaam dan Berland di
Salemba, belum melibatkan siswa secara massal seperti sekarang ini. Apa gerangan
yang menyebabkan siswa semakin beringas bernafsu menghancurkan orang lain? Di
Inggris, Belanda, Jerman, Amerika, dan Prancis tidak pernah terdengar berita
perkelahian massal antar siswa. Mengapa? Di negeri ini yang kata orang disebut
negara agamis justeru penduduknya mudah mengamuk menghancurkan orang lain.
Mengapa? Apa yang dapat diharapkan dari siswa-siswa yang terlibat perkelahian
massal terhadap masa depan negara ini?
Ah, itu hanya terjadi di Jakarta , di daerah tidak ada itu perkelahian
massal pelajar, mungkin demikian pikir banyak orang. Satu butir beras dapat
memiringkan timbangan, kata pepatah Cina. Jangan menganggap remeh satu issue
apalagi sudah jadi masalah besar di satu daerah atau di satu kota . Dulu, yang namanya masalah narkotika
hanya sebatas di Jakarta , tetapi sekarang
distribusi narkotika sudah sampai ke daerah lain di luar Jakarta . Di Makassar rasanya tidak ada hari
tanpa perkelahian, rasanya mereka tidak bahagia kalau tidak berkelahi satu hari
saja. Perkelahian massal antar siswa sekarang bukan di Jakarta saja melainkan sudah mulai menjalar
ke daerah lain. Saya mengharapkan masalah ini tidak menjalar sampai ke kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar. Mengharapkan saja memang tidak
cukup, tetapi kita semua elemen bangsa ini harus berupaya mendapatkan solusi,
lepas dari belenggu masalah social ini. Faktor apa saja yang menciptakan
kondisi yang paling mungkin siswa-siwa ini mudah tergoda bergabung untuk
melakukan perkelahian massal.
Rasa bahagia yang
semakin berkurang. Orang
kalau mau berhasil harus diberi beban atau stress supaya otaknya terpacu untuk
berpikir. Pada satu batas tertentu, yakni antara keseimbangan kuantitas kurikulum
dan pelaksanaan kurikulum, maka siswa menikmati stress dengan rasa nyaman.
Bagaimana kalau melebihi kemampuan siswa? Dulu sekali, ada istilah ganti
menteri, ganti kebijakan. Kebijakan sebelumnya tidak sepenuhnya dihapus,
kemudian ditambah dengan kebijakan baru, begitu terus selama bertahun-tahun,
maka sekarang inilah puncaknya, beban kurikulum yang overdosis. Kondisi seperti
sekarang ini yang dirasakan kebanyakan siswa, yakni beban kurikulum terlalu
berat. Banyak mata pelajaran yang harus dipelajari, tetapi tidak mempunyai
waktu yang cukup untuk melakukan analisis setiap mata pelajaran, karena yang didapatkan
oleh siswa, pengetahuan hanya sebatas kulitnya saja. Ketika siswa-siswa
menghadapi Ujian Nasional atau test masuk universitas negeri, paling banyak
yang diuji hanya empat atau enam mata pelajaran. Lalu pelajaran yang lain apa
manfaatnya ikut dipelajari selama tiga tahun sekolah?
Mungkin para penggagas pendidikan berpikir untuk mencegah siswa-siswa
melakukan perkelahian massal, maka kepada siswa sebaiknya ditambah beban
kurikulum sehingga waktu lebih banyak tersita untuk pelajaran di sekolah. Ah, kelihatannya
sudah menyelesaikan masalah. Tapi, guru-guru pelaksana tampaknya lupa, bahwa
otak siswa-siswa itu juga perlu penyegaran kembali, sebaliknya yang didapatkan
beban yang semakin memberatkan otak. Banyak siswa menjadi jenuh dan mereka melampiaskan
kejenuhan dalam banyak penyimpangan, paling sedikit mereka menjadi gampang
tersinggung. Bukankah perkelahian dimulai dari salah satu pihak yang merasa
tersinggung lebih dulu? Mungkin Anda berpikir, tetapi banyak juga pelajar
berprestasi memenangkan penghargaan olympiade fisika di luar negeri. Ya,
sayangnya prestasi bagus ini tenggelam ke dalam hiruk pikuk perkelahian massal
antar siswa. Ibaratnya susu satu belanga dirusak oleh satu tetes nila. Dan,
jangan dilupakan tidak semua siswa memiliki tingkat kecerdasan akademik yang
sama dan kestabilan mental yang sama.
Lingkungan sekolah
tidak nyaman. Sekolah
tempat semua siswa belajar adalah rumah kedua bagi mereka, rumah harus home
kalau ingin disebut nyaman. Home sweet home. Banyak sekolah di Jakarta tidak memberi rasa
sweet kepada siswa, karena sekolah tidak memiliki lapangan yang seimbang antara
jumlah siswa dan luas lapangan olah raga plus kantin dan aula. Selain itu
banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas penyaluran bakat, yang biasa
disebut ekstra kurikulum. Lapangan sekolah yang cukup luas dan fasilitas
penyaluran bakat adalah sarana untuk melepaskan enegi yang berlebihan.
Berteriak bebas dan lepas di lapangan luas untuk melepaskan energi berlebihan.
Lapangan olah raga yang membuat rasa nyaman bukan dilihat
dari segi luasnya saja, tetapi sebaiknya satu lapangan luas pinggirannya banyak
dipenuhi dengan pohon-pohon rimbun dan ada tempat duduknya juga. Well, pikiran
letih akibat beban pelajaran yang berat rasanya terobati dengan atmosfer
seperti ini. Ya, tetapi ada berapa banyak sekolah di Jakarta yang memiliki fasilitas lapangan luas
dengan gambaran seperti ini. Tidak banyak lagi. Kalau ada beberapa sekolah yang
memiliki fasilitas seperti ini, pastilah sekolah negeri yang dalam istilah pop
adalah sekolah negeri favorit dan sekolah swasta papan atas dan penghuninya
kebanyakan adalah pelajar dari kalangan social menengah ke atas. Tidak
berlebihan untuk diungkapkan, bahwa siswa-siswa yang terlibat perkelahian
massal adalah mereka yang berasal dari sekolah swasta atau negeri dari strata
social menengah ke bawah. You don’t trust me about it, don’t you?
Mencari yang tidak
mereka dapatkan di dalam rumah. Ada
satu hal yang tidak dapat diganti dengan uang, yakni kasih. Kasih artinya Anda
memberi perhatian khusus kepada seseorang yang Anda cintai tanpa imbalan. Kasih
artinya Anda membuat orang lain bahagia, walaupun mungkin Anda tidak ikut
terlibat di dalam kebahagian yang dirasakan oleh orang lain tersebut. Orang tua
tidak dapat lepas tanggung jawab masalah ini dengan alasan sudah membayar
sekolah untuk kepentingan anak-anak. Ingatlah selalu kasih tidak dapat ditukar
dengan uang. Di Jakarta orang tua, apakah strata kaya atau miskin, semua sibuk
urusan mencari uang, berangkat pagi sebelum matahari terbit, sampai di rumah
lagi ketika matahari telah terbenam dalam keadaan letih. Sangat sedikit waktu
saja yang tersisa untuk anak-anak. Bagaimana di sekolah? Mr. Teacher atau Ms.
Teacher memberikan saja bahan foto copy pelajaran Pendidikan Moral Pancasila
untuk siswa supaya dihafal saja. Inilah bahayanya, pendidikan moral yang
seharusnya meresap sampai ke dalam jiwa, tetapi hanya dihafal secara mekanis
saja. Ada seorang ayah dengan profesi pedagang
keluar kota
sampai berhari-hari sementara ibu sibuk arisan, lalu kapan anak mendapat
sentuhan kasih dari orang tua semacam ini? Anak yang sangat sedikit mendapat
sentuhan kasih dari orang tua mereka, cenderung memiliki hati yang sensitive.
Sentuhan kasih dari orang tua itu sudah sebagian dari mata pelajaran pendidikan
akhlak murni yang dulu disebut budi pekerti.
Kekerasan fisik yang
sering terjadi di dalam masyarakat. Faktor ini memang bukan penyebab langsung perkelahian massal
antar siswa, tetapi setidaknya kekerasan seperti ini dilihat langsung oleh banyak
orang dan kemudian perilaku ini ditiru oleh siswa-siswa SMA. Di Jakarta sudah
sering terjadi kelompok preman berkelahi dalam skala besar dengan kelompok
preman lain sehingga memacetkan lalu lintas. Kelompok lain ada juga dari
organisasi massa
atas nama agama tertentu melakukan klaim dengan kekerasan terhadap kelompok organisasi
lain yang dianggap tidak benar. Ini adalah potret wajah kepengapan social di
Jakarta. Besi menajamkan besi, sesama manusia saling menajamkan akal satu sama
lain. Siswa-siswa yang bergerombol cenderung semakin beringas dan semakin
cerdas menyakiti siswa lain yang menjadi lawan mereka.
Penggabungan beberapa sekolah yang terlibat perkelahian
massal siswa bukan solusi untuk jangka panjang. Ini cara instant, karena
setelah siswa-siswa berhasil beradaptasi dengan lingkungan baru mereka, maka
mereka kembali ke habitat lamanya lagi, yakni duel. Sanksi seharusnya diberikan
bukan terhadap siswa melainkan terhadap institusi sekolah yang bersangkutan,
yakni penurunan akreditasi, dari A ke B misalnya. Banyak siswa berkelahi adalah
kegagalan sekolah mengelola kesehatan mental siswa di sekolah dan kegagalan
orang tua mendidik anak di rumah. Kurangi beban kurikulum sekolah yang tidak
perlu dan ciptakan lingkungan sekolah yang nyaman. Perlu dipikirkan, bahwa
pendidikan moral Pancasila dapat effektif berjalan, jika kondisi social bangsa
ini memang memperlihatkan perilaku yang selaras dengan seluruh landasan ideal
falsafah bangsa ini.-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar