Sabtu, 16 Februari 2013
Dulu Kegemaranku Menonton Pertandingan Tinju
Pada dekade 70-an ketika Muhammad Ali masih berjaya
aku masih tinggal di kompleks perumahan Pertamina di Plaju, Palembang . Rasanya bukan aku saja saat itu
yang menggemari Ali, Si Mulut Besar yang terkenal dengan ucapannya, “I am the
Greatest”, “Aku yang Terbesar”, tetapi aku mempercayai sebagian besar orang Indonesia ,
bahkan dunia. Setiap kali Ali naik ring, sebagian besar jalanan di Jakarta pasti lengang, tak
ada angkot, orang lewat, … semua tumplek di depan tv. Aku tahu keadaan ini
melalui surat
kabar yang disiarkan esok harinya.
Pada dekade itu sedang berjaya tiga jagoan petinju
klas berat yang paling menghasilkan uang, yakni Muhammad Ali, Joe Frazier, dan
George Foreman; promotornya dari dulu sampai sekarang juga adalah si rambut
jabrik, Don King. Dari ke tiga jagoan ini, Ali, The Big Mouth yang paling bisa
menghidupkan atmosfir pertinjuan; dia mampu membuat arena tinju di atas ring
bukan hanya adu otot dan kelincahan saja, melainkan juga menampilkan unsur
hiburan dan kecerdikan di atas ring sehingga menjadikan pertandingan yang enak
dinikmati.
Muhammad Ali, petinju yang seakan tahu seberapa
kekuatan lawannya, selalu mencibir lawan dengan mulut besarnya sebelum naik
ring. Lawan tidak langsung dihabisi pada ronde-ronde awal, satu sampai lima ronde. Ia
berputar-putar dengan kelincahan kakinya di atas ring mengelilingi lawannya
sambil berteriak-teriak sampai sang lawan bangkit emosinya, barulah Si Mulut
Besar mulai mengolah pertandingan sesungguhnya. Pada waktu itu pertandingan
tinju klas berat dilakukan sampai 15 ronde.
Joe Frazier, petinju yang paling pendek di antara ke
tiga jagoan ini. Di Manila (tahun?), walaupun lebih pendek dibandingkan dengan
Ali, dengan pertahanannya yang luar biasa, Ali harus bersusah payah menaklukkannya
dengan kemenangan angka. Tentu dengan wajah penuh legam terkena pukulan Ali. George
Foreman, petinju yang paling besar dan tinggi di antara ke tiga jagoan ini. Ali
berhadapan dengan Foreman di Kinshasha ,
Zaire pada
tahun 1973. Sebagian besar petaruh memilih Foreman sebagai pemenangnya. Tapi
dasar Ali, Si Mulut Besar dan bermental juara. Ali tampak rileks saja
menghadapi Foreman yang lebih tinggi dan lebih besar darinya.
Dari sebagian besar ronde, Ali lebih banyak
melakukan defensive blocking kedua lengannya yang kokoh dengan cara
menyandarkan tubuhnya dipinggir tali ring. So pasti, dia jadi sasaran terjangan
jab dan hook Foreman bertubi-tubi, tubuhnya membal maju-mundur mengikuti
lentingan tali ring yang terbuat dari karet. Foreman terus memukul tiada henti,
semakin kuat pukulannya, semakin kencang tubuh Ali membal, dan tentunya semakin
terkuras tenaga Foreman.
Ali, dia memang professional, tahu gelagatnya
Foreman sudah kehabisan tenaga melancarkan jab dan hooknya, karena memang
dengan cara bertahan seperti inilah memang strateginya untuk menghabisi tenaga
lawannya yang jauh lebih besar. Seberapa pun tenaga pukulan yang dilepaskan
oleh Foreman, maka sebagian tenaganya diserap oleh kelenturan tali-tali ring
yang menjadi tempat sandaran tubuh Ali. Karena itu, ketika waktunya Foreman
kehabisan tenaga, Ali bangkit tampil garang, Ali menghajarnya hanya dengan satu
kali jab kiri saja dan mengenai telinga kanannya. Pukulan yang sangat telak.
Foreman roboh knock out! Ia tidak bangun sampai hitungan ke 10.
Di samping ke tiga jagoan klas berat tersebut di
atas, sebetulnya ada juga nama-nama lain dalam klas yang sama, seperti Joe
Bugner dari Inggris yang kalah angka dengan Ali di Kuala Lumpur dan Ken Norton,
bekas mariner Amerika, menang TKO atas Ali; rahang Ali patah pada ronde kedua
dan pertandingan dihentikan. Lama kemudian tidak bertinju lagi, Foreman
mengganti professinya menjadi seorang pendeta. Sementara Ali, orang yang merobohkannya
dengan pukulan telak, sampai sekarang menderita penyakit Parkinson. Memang
pantas, Ali disebut petinju legendaris, seingatku belum pernah dia kalah sampai
knock out di atas kanvas.
Setelah berakhir era ke tiga jagoan tersebut di
atas, ada dua petinju dari klas menengah pada dekade 80-an, yakni Thomas Hearn
dan Sugar Ray Leonard. Mereka bertarung imbang sehingga sungguh menyajikan
tontonan yang indah untuk disaksikan. Thomas Hearn pernah diundang ke Gedung
Putih oleh Ronald Reagen yang kala itu masih menjadi presiden Amerika. Aku
sudah lama tidak menyaksikan pertandingan tinju klas berat lagi, karena tidak
ada lagi pertandingan dengan lawan-lawan yang seimbang yang enak ditonton. Mike
Tyson, Si Leher Beton, pada mulanya tampil memang tidak ada lawan yang bisa
mengimbanginya, paling tinggi lawannya di pukul knock out sampai ronde ke tiga;
bahkan ada yang hanya pada ronde pertama saja. Tyson ternyata bukan petinju
yang bisa berlama-lama di atas ring, karena tidak mampu menjaga emosinya.
Evander Holyfield menaklukkannya knock out di ronde ke 12.
Menurut pandangan etika, masih perlukah olah raga
yang menggunakan kekerasan fisik, seperti tinju, karate, gulat, kung fu, kempo,
taekwondo, dan lain sebagainya dilanjutkan di arena pertandingan? Di Jakarta
ada seorang bekas pemain karate kaliber internasional telah lama meninggalkan
olah raga tidak lama setelah dia memutuskan menjadi seorang pendeta. Aku bukan
salah satu pelaku olah raga ini, tetapi aku tidak mau menghakimi begitu saja
antara yang pro dan kontra. Pertandingan dari cabang olah raga mana pun, secara
resmi mengikuti peraturan yang mengatur jalannya pertandingan sehingga
diharapkan tidak ada tindakan-tindakan yang merugikan pelaku pertandingan dan
tidak mengurangi rasa sportifitas pemain. Berkelahi di jalanan pasti tidak ada
peraturannya, tetapi pertandingan tinju memiliki sejumlah peraturan yang harus
ditaati oleh kedua belah pihak. Misalnya, tidak boleh memukul di bagian bawah
perut [kemaluan], tidak boleh merangkul, tidak boleh menggigit, tidak boleh
menendang, dan seterusnya. Sejumlah larangan harus dipatuhi supaya pemain
beretika dalam melakukan pertandingan, bukankah etika didefinisikan secara
sederhana sebagai tindakan yang harus dapat dipertanggungjawabkan.
Rasul Paulus adalah orang Yahudi yang dilahirkan dan
dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan Yunani dan Romawi, yakni dua suku bangsa
yang berkebudayaan olah raga dan bertanding. Dengan demikian, dia pasti tahu
peraturan pertandingan resmi dalam olympiade olah raga gulat, tinju, atletik
dan seterusnya. Apa pendapat Paulus bertalian dengan pertandingan olah raga :
“Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai
dirinya dalam segala hal … “ [1 Kor. ix :25]. Jadi, jika seorang petinju
memukul pelipis lawannya, perbuatan ini jangan ditafsirkan sebagai menyakiti
sesama manusia, tetapi harus dipandang sebagai lawannya yang tidak siap atau
salah strategi. Jika salah satu lawan yang tidak siap, misalnya kena flu babi,
pertandingan juga tidak akan diizinkan oleh komite tinju melalui dokter yang
ditunjuk.
Sepak bola adalah cabang olah raga yang jelas
menurut kasat mata para pemainnya tidak dilatih saling menendang terhadap
pemain lawan. Tetapi apakah perbuatan Wayne Rooney menginjak kemaluan Cristian
Ronaldo pada pertandingan Piala Eropa 2002 dibenarkan? Apakah perbuatan Frank
Rijkaard meludahi Rudy Voeller pada Piala Eropa 1992 dibenarkan? Pertandingan
apa saja, sekeras apa pun jika dilakukan dengan menjunjung sportifitas yang
dilandasi etika bertanding, maka yang muncul di hati sanubari adalah persahabatan
yang semakin akrab. Pertandingan sepak bola adalah kegemaranku sekarang dan my
favourite is Man U.-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar