Kamis, 16 Mei 2013
Inward Looking
Mengapakah engkau melihat selumbar di
dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau
ketahui? [Lukas vi:41].
Aku pernah
membaca melalui koran Pos Ko.ta, beritanya begini seorang kakek berusia 65
tahun mati di atas perut perempuan muda belia. Pada mulanya aku tidak percaya
dengan berita semacam ini, ya maklum saja koran ini biasa memberikan berita
ringan yang sifatnya hiburan. Tapi aku pernah cakap-cakap dengan seorang
kenalan di halte satu sekolah tentang berita yang satu ini, begini katanya,
tetangganya seorang laki-laki yang sudah mempunyai banyak cucu menikah lagi
dengan perempuan muda belia sebagai isteri entah ke berapa, laki-laki tua tak
tahu diri ini mati di atas perut isteri mudanya. Mati dalam keadaan demikian
biasa disebut serangan jantung, karena pengaruh obat perangsang untuk
menstimulasi kerja jantung lebih kuat lagi memompa darah ke dalam pennies.
Seorang tetanggaku, usia 50 tahun adalah seorang suami yang telah lama mengidap
penyakit diabetis mellitus yang telah akut, karena dia sudah menyuntikkan
artificial insulin ke dalam tubuhnya. Seorang penderita penyakit diabetis yang
telah mencapai kondisi seperti ini secara teoritis penniesnya tidak dapat
ereksi lagi atau paling sedikit butuh waktu sangat lama untuk ereksi. Tetanggaku
ini secara rahasia menikah lagi dengan seorang gadis belia yang sepantasnya
adalah anak perempuannya. Tetanggaku ini mati di rumah isteri mudanya, mungkin
beberapa jam setelah persetubuhan. Beberapa hari kemudian di tempat sampah
rumahnya aku telah menemukan beberapa kotak tempat obat perangsang dari
merek-merek murahan. Pennies sudah lemas, tapi jantung dipaksa bekerja keras
untuk memompa darah lebih banyak lagi ke dalam pennies, akhirnya jantung
keletihan, kemudian berhenti memompa darah karena kehabisan energi.
Dua contoh
peristiwa di atas adalah cermin dari berbagai kondisi manusia yang seharusnya
inward looking terhadap dirinya, yakni seseorang yang mempunyai satu keinginan
yang sangat besar tetapi tidak melihat kondisi dirinya itu tidak memungkinkan
untuk memenuhi keinginannya itu. Kondisi inilah yang di dalam masyarakat biasa
disebut nafsu besar, tenaga kurang. Bagaimana dengan iman? Kata pak pendeta,
iman itu mengalahkan dunia. Jika engkau mempunyai iman yang luar biasa besar,
tidak ada yang mustahil bagi Tuhan untuk mewujudkan keinginanmu, jika
keinginanmu itu selaras dengan kehendak-Nya. Masalahnya, manusia lebih menyukai
jalan pintas untuk mewujudkan keinginannya, di mana ada kemauan, maka di situ
ada jalan, katanya demi membesarkan hati. Banyak suami ingin menyenangkan
isterinya di atas tempat tidur atau sebenarnya dia sendiri yang ingin mencari
kepuasan diri sendiri, tetapi dia bukan menyembuhkan penyakitnya terlebih
dahulu melainkan cari jalan pintas dengan mengonsumsi obat perangsang. Sulit
ereksi karena diabetis, maka seharusnya diabetisnya terlebih dahulu yang harus
dibereskan. Memang harus perlu inward looking. Harus tahu diri!
Nurdin
Halid dulu pernah menjadi ketua umum PSSI yang sudah tidak dikehendaki lagi
kelanjutan kepemimpinannya karena dia tersandung dengan masalah hukum sehingga
dia dimasukkan ke dalam penjara selama tiga tahun. Jadi? Ia tetap memimpin
organisasi olah raga sepak bola ini dari balik jeruji penjara. Orang harus tahu
malu. Orang Jerman dan Jepang adalah bangsa yang tahu malu. Kita harus belajar dari
mereka. Mereka segera mengundurkan diri sebagai pemegang kekuasaan pemimpin
sebelum berurusan dengan hakim di tingkat pengadilan. Mereka mau inward
looking, yakni berani mengaca keadaan diri sendiri, sebaliknya di negeri ini,
keputusan pengadilan sudah mempunyai ketetapan hukum, yakni penjara, tetapi
tetap saja dia tidak mau mengundurkan diri. FIFA sudah menegur secara halus
melalui boss besar organisasi dunia ini, tetap saja dia keras kepala tidak mau
mundur. Ini namanya tidak tahu diri. Tidak mau inward looking. Akhirnya dia
secara terpaksa mengundurkan diri setelah pemerintah memaksanya mundur.
Sekarang,
ada mode baru dari kalangan artis atau selebritis, yakni banyak di antara
mereka mendaftarkan diri untuk menjadi calon legislator atau anggota dewan
perwakilan rakyat, tetapi tidak sedikit mereka itu dicalonkan oleh partai
politik tertentu untuk meningkatkan elektabilitas partai politik tersebut.
Sudah bukan rahasia lagi di mata rakyat negeri ini, mereka menjadi caleg
sebagai maneuver kalau mereka sudah tidak laku lagi sebagai artis, dompet masih
dapat diisi dari gaji sebagai anggota dewan perwakilan nanti. Kenyataannya
memang begitu, bahwa banyak anggota dewan menjadi kaya dengan sedikit keringat.
Mereka pasti berkata, bahwa mereka juga mempunyai hak mencalonkan diri sebagai
anggota dewan. Well, kalau bicara tentang hak, aku juga mempunyai hak menjadi
anggota dewan perwakilan rakyat, tapi inward looking itu penting dan perlu. Banyak
partai berusaha meningkatkan elektabilitas dengan cara menggunakan kepopuleran
artis-artis, yakni hanya modal tampang dan bobot keartisan mereka yang
pas-pasan. Jika begini cara partai-partai merekrut anggota partai untuk
ditempatkan sebagai anggota perwakilan rakyat, semakin lama dewan perwakilan
rakyat dipenuhi oleh manusia-manusia yang hanya pandai bicara tetapi tanpa
bobot intelektual. Lalu mereka mewakili daerah pemilhan mana? Aku orang Blitar,
tak sudi tempat asalku ini diwakili oleh badut-badut politik seperti ini. Sedikit
saja dari artis-artis yang terjun ke politik yang memang mempunyai bobot
intelektualitas, lainnya adalah badut-badut politik. Mungkin terinspirasi dari
Ronald Reagen yang pernah menjadi actor film cowboy dari Hollywood , terjun ke politik sebagai senator
dari Partai Republik kemudian menjadi presiden Amerika Serikat. Betapa pun
Reagan tergolong sebagai politisi yang berhasil dari kalangan selebritis di
Amerika, tetapi tidak membuat kalangan selebritis lain era sesudahnya latah
ikutan menjadi politisi seperti dia. Mengapa? Sebab Amerika adalah satu bangsa
yang mempunyai tradisi membina bobot intelektual melalui gemblengan pendidikan
di perguruan tinggi, bukan hanya bermodalkan tampang dan kepopuleran nama untuk
menjadi seorang politisi. Well, inilah perlunya inward looking, masuk ke
Senayan seharusnya bermodalkan gemblengan pendidikan di perguruan tinggi
seperti rekan-rekan kita di Amerika, supaya kalau bicara itu ada bobot
ilmiahnya.
Bagaimana
dengan Megawati? Ah, jangan berlebihan begitu, dia muncul menjadi politisi pada
era yang berbeda dari yang sekarang. Lagi pula, sedikit banyak, dia pasti
belajar politik dari bapaknya, yakni Soekarno, presiden Indonesia yang pertama. Pada
jamannya, figure yang dibutuhkan oleh orang Indonesia adalah tokoh panutan dari
generasi Soekarno sebagai tandingan menghadapi keluarga Suharto, rezim yang
pernah berkuasa di negeri ini selama tiga dekade. Indonesia telah menjadi
bangsa merdeka selama hampir 70 tahun, seharusnya tidak membutuhkan figure
panutan lagi melainkan kesadaran dari diri orang-orang Indonesia sendiri membangun negara ini menuju
bangsa yang berdiri kokoh di atas fondasi moral yang menjadi karakter bangsa
ini, yakni moral Pancasila. Namun, dari sejak Indonesia merdeka sebagian dari
bangsa ini memang ogah-ogahan menerima Pancasila sebagai fondasi moral, maka
beginilah jadinya, bangsa ini menjadi bangsa yang munafik, di satu sisi ada
yang masih bermimpi membangun negara berbasis agama. Masih ada juga yang
bermimpi untuk menjadikan Indonesia
menjadi negara berbentuk federasi, padahal bangsa kita ini rasa kesukuannya
masih ada sehingga resiko perpecahan negara kemungkinan besar juga dapat
terjadi. Bangsa Indonesia
harus inward looking, jangan terlalu mudah untuk mengajukan tuntutan perluasan
wilayah otonomi.
Engkau
masih ingat cerita perumpamaan yang diambil dari Injil Lukas, yakni dua orang
yang secara bersamaan ada di dalam Rumah Tuhan untuk berdoa, yang satu seorang Farisi
berdiri paling depan, sedangkan lainnya adalah seorang pemungut cukai berdiri paling
belakang. Rabbi ini berdoa di dalam hatinya, bahwa dia mengucap syukur kepada
Tuhan, karena dia tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan
orang lalim, bukan pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; dia
berpuasa dua kali dalam satu minggu, dia memberikan satu per sepuluh dari semua
penghasilannya.” Sebaliknya, pemungut cukai ini berdiri jauh dari rabbi ini dan
dia tidak berani menengadah ke langit, melainkan dia memukul pada dadanya dan
berkata, bahwa dia memohon belas kasihani dari Tuhan karena dia orang berdosa. Rabbi
ini menilai, bahwa dirinya lebih benar dan lebih baik dibandingkan dengan orang
lain. Percayalah, orang seperti rabbi ini sulit diharapkan untuk inward looking
terhadap dirinya, karena orang yang menganggap dirinya tak bercacat moral tidak
membutuhkan nasehat orang lain, bahkan orang seperti ini hidupnya jauh dari rasa
bahagia, karena orang yang menganggap dirinya paling benar dari orang lain
harus menjaga image, bahwa dirinya adalah orang soleh. Dengan cara bagaimana
orang seperti rabbi ini menjaga image-nya, supaya tampak soleh makannya hanya
sedikit saja di hadapan orang banyak, bicaranya sedikit dan volume suaranya
pelan, biasanya pakai sorban dan pakaian yang menampilkan orang soleh, dan di
tempat yang mudah terlihat orang sering memberi derma di Rumah Tuhan. Berbeda
dengan pemungut cukai, dia mau menyadari keadaan dirinya di hadapan Tuhan.
Tuhan hanya bersedia mengunjungi orang yang menyadari dirinya berdosa, bukan
datang kepada orang yang merasa dirinya benar. Justeru orang yang bersedia
inward looking menerima kebahagiaan dari Tuhan, karena dalam memandang dirinya
yang terdalam, maka di situ dia mendapatkan kemurahan Tuhan.
Di negeri
ini ada dua partai politik besar yang sarat dengan keterlibatan korupsi di
lingkaran terdalam kepemimpinan mereka. Tidak ada partai politik yang tidak
mempunyai keterlibatan korupsi. Aku geram sekali melihat orang-orang yang
terlibat pidana korupsi tampak tidak menunjukkan penyesalan ketika digiring ke
Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka pamer gigi, tersenyum sangat lebar di
hadapan wartawan. Pemandangan menjijikan dan melukai rasa keadilan terhadap
rakyat. Koruptor adalah pembohong besar yang memberikan 1001 alasan dibantu
oleh lawyer yang juga kehausan uang. Mereka kerjanya bukan untuk mendapatkan
solusi bagaimana meningkatkan taraf hidup petani dan nelayan, sebaliknya mereka
mencari celah-celah yang dapat digunakan untuk melegalkan tindakan illegal
mereka. Mereka adalah orang beragama. Ah, korupsi itu tidak mengenal agama. Sebelum
mereka tergoda untuk melakukan tindakan pidana korupsi apakah mereka inward
looking, bahwa tindakan mereka itu berdampak besar menyesatkan rakyat Indonesia kebanyakan?
Lihat saja, sekarang ini di tengah masyarakat banyak beredar makanan yang
terbuat dari bahan-bahan kimia berbahaya. Tujuannya? Kerja ringan dapat untung
besar, tidak perduli konsumen terkena penyakit berbahaya kemudian hari.
Kesalehan
normative agama tidak membuat manusia mempunyai hati nurani melainkan hanya
sebagai kedok menutupi perbuatan amoral. Engkau menjadi manusia yang mempunyai
hati hanya apabila engkau bersedia inward looking terhadap hatimu yang
terdalam, karena keberadaan Tuhan di hatimu tergantung engkau isi dengan apa
hatimu itu. Hatimu adalah Bait Tuhan itu sendiri. Perbuatan manusia terjadi
akibat dorongan dari dalam hatinya. Ada
yin dan yang kata orang Cina. Jika engkau manusia mutlak tanpa dosa, bukan di
bumi tempatmu melainkan di sorga. Tetapi kenyataannya engkau masih menetap di
bumi tempat kebajikan dan kejahatan berada. Jika engkau mengisi hatimu lebih
banyak dengan kebajikan, perbuatanmu adalah refleksi segala kebajikan yang
engkau tanamkan ke dalam hatimu. Dengan inward looking engkau menimbang hatimu
antara yang jahat dan yang baik.-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar