Aku tidak dapat memilih rahim yang melahirkanku, entah dari
suku mana, Batak, Jawa, Sunda, Palembang, dan seterusnya; entah dari bangsa mana, Inggris,
Prancis, Belanda, atau Cina, dan seterusnya; dan, aku sendiri juga tidak dapat
memilih seorang laki-laki yang menjadi ayahku dengan pekerjaan seperti
apa. Aku dilahirkan di Surabaya
tujuh puluh tahun yang lalu. Ketika umurku masih sepuluh tahun aku dan adikku yang masih berumur delapan tahun dibawa oleh ayahku merantau ke Jakarta. Ayahku dan ibuku
keduanya asli orang Surabaya.
Kami menetap di satu gang kecil di belakang pasar di Tanah Abang Bukit. Ayahku berprofessi
sebagai penjual soto kikil sapi tak jauh dari rumah kami, sementara ibu tetap
sebagai ibu rumah tangga. Laris setiap malam selalu habis. Soto kikil khas
masakan Surabaya.
Aku dan adikku bersekolah di sekolah rakyat negeri di Jalan Tanah Abang 5. Sampai sekarang pun
sekolah ini masih berdiri, namanya menjadi Sekolah Dasar Negeri [aku lupa nomor
sekolah ini]. Setiap hari aku dan teman-temanku semuanya sepuluh orang berjalan
kaki pulang-pergi dari Tanah Abang Bukit melewati Jalan Abdul Muis. Hati gembira
saja tak terasa jalan sejauh itu kami tempuh tiga puluh menit sekali jalan.
Sampai di rumah aku langsung belajar karena malam hari harus ikut membantu cuci
piring di warung soto ayahku.
Pada satu malam menjelang tutup tempat jualan, kami
didatangi empat orang berwajah tidak ramah. Mereka memesan empat porsi soto
kikil sapi dan empat gelas es sirop pandan wangi. Selama dua puluh menit mereka
makan dan minum tanpa bicara. Sekeliling tempat ayahku berjualan memang sudah sepi
dari orang jualan kecuali penjual rokok yang memang jualannya dua puluh empat
jam, jaraknya kira-kira dua puluh meter ke timur dari tempat ayahku jualan. Sepi, waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam. Seorang dari mereka yang bibirnya
berkumis tipis memberi isyarat kepada tiga teman lainnya untuk pergi. Ya,
mereka pergi begitu saja. Baru lima
langkah keluar dari warung, ayahku menegur si kumis, bahwa dia dan
teman-temannya belum bayar. Mereka berbalik. Seorang dari mereka yang kulitnya
hitam, berambut ikal, dan berbadan gempal maju dengan tangan terkepal siap
dengan hook kirinya, berseru keras : “Dibayar pakai ini, yaaakh!.” Seterusnya
semua kejadian berlangsung sangat cepat sekali tak sempat aku mengedipkan mata.
Kulit hitam gempal dibanting oleh ayahku jatuh ke tanah dengan suara merdu,
buuug. Si kumis menyabut belati dari pinggangnya diarahkan ke perut, tetapi
tangan kanan ayah memelintir tangan kanan si kumis, selanjutnya mendorong
bokongnya dengan keras, dan berakhir masuk ke dalam selokan. Belati terlepas
jatuh di kegelapan malam. Dua orang lainnya maju serempak. Tangan kiri ayah
menarik kuat tangan kanan orang yang ada di sebelah kirinya, sedangkan orang
terakhir jari-jarinya dicengkeram kuat dengan tangan kanan sehingga keluar
suara gemeretak suara tulang patah. Larilah mereka. Kejadian ini berlangsung tidak
sampai lima
menit sehingga tak menimbulkan kegaduhan. Itulah untuk pertama kalinya aku baru
mengetahui, bahwa ayahku menguasai seni bela diri aikido. Kata ibuku, ayah
sudah pegang sabuk hitam dan pernah di Jepang selama satu tahun. Peristiwa duel
ini adalah titik balik kehidupan kami sekeluarga. Ayahku didaulat oleh semua
pedagang di situ menjadi penjaga keamanan pasar. Waktu itu istilahnya centeng pasar.
Dengan kelebihan sebagai centeng seharusnya tanpa bekerja keras
lagi ayahku sudah dapat menghidupi keluarga. Namun, ayah adalah orang rendah
hati tetap memilih berjualan soto kikil di Tanah Abang Bukit. Hidup ini tidak
gratisan, ada harga yang harus dibayar, demikian pada satu hari ayah memberi
nasehat kepada kami. Orang mau disebut terhormat dan mau dimuliakan, maka orang
harus bekerja sehingga dia mempunyai nilai-nilai dalam hidupnya. Itulah harga
diri. Dan, jangan lupakan ini, jangan sombong, katanya menutup pembicaraan.
Tidak selamanya orang menjadi centeng pasar. Walaupun mempunyai kasekten aikido, karateka, kung fu, yudo, atau apalah namanya, siapa pun tidak
akan dapat terhindar dari proses penuaan, menjadi lemah kemudian disingkirkan
oleh orang yang lebih muda dan perkasa … pada akhirnya hilang lenyap ditelan jaman. Singa jantan tua pada akhirnya tersingkir oleh singa jantan muda perkasa. Untuk segala sesuatu di bawah langit ada masanya berjaya dan ada masanya runtuh. Runtuh, kecuali Dia, Tuhan Yang Perkasa, El Gibbor kekal selamanya. Semasa hidup ayah yang namanya duel antar centeng dalam perebutan wilayah
selalu dilakukan satu lawan satu. Kalau kalah, ya mundur secara gentleman tanpa
ada rasa dendam. Tidak ada tuh yang namanya duel antar jagoan sampai ada
pengerahan massa
seperti pada jaman seperti sekarang ini. Sampai pada akhir hayat ayahku jumlah
jagoan pasar yang pernah dibantingnya ada mungkin sepuluh orang. Tak ada satu lawan
pun yang dapat memegang ujung hidung ayahku. Resmilah di kalangan jagoan ayahku
diakui sebagai jagoan Pasar Tanah Abang Bukit. Untuk konteks jaman sekarang biasa
disebut preman.
Walaupun hanya penjual soto kikil sapi berpenampilan sederhana, ayahku sangat memperhatikan pendidikan kami. Aku menyelesaikan
sekolah menengah atas di SMA Negeri 5 Budi Oetomo, Lapangan Banteng. Pada masa
itu orang memegang ijazah SMA masih dianggap mempunyai kesaktian ampuh. Masih gampang cari kerja, apalagi hanya untuk jadi tentara. Sebagai
anak Surabaya
sejati, ayahku sangat bangga ketika aku mendaftarkan diri menjadi prajurit KKO,
yakni Korps Komando Operasi [sekarang namanya menjadi Korps Marinir]. Aku tidak
mewarisi aikido sepenuhnya dari ayah melainkan dari teman ayah di Menteng Dalam
yang menjadi guru yudo bagiku selama tiga tahun. Namun, paling sedikit ayah
telah memberiku dua puluh jurus utama aikido. Aku tidak lupa pada hari pertama
ketika aku dan semua green-man menerima pelatihan dari instruktur bela diri,
Sersan Mayor Bambang Hariadi, karateka pemegang sabuk hitam. Aku telah dua kali
membanting dan menguncinya. Untuk hasil perbuatan ini aku disuruh lari sepuluh
kali lapangan bola ditambah push-up tiga puluh kali oleh Letnan Satu Albertus
Ginting. “Kalau mau jadi jagoan, tempatnya bukan di sini. Sana jadi centeng pasar!”, katanya.
Aku bangga dengan ayahku, bekas preman Tanah Abang Bukit. Aku
bangga karena dari ayah aku belajar kedisiplinan dan nasionalisme. Tidak semua
preman jahat. Ayahku tidak pernah memeras pedagang-pedagang di pasar. Bagi
Sheriff kota Nottingham,
Robin Hood adalah preman meresahkan semua bangsawan di Inggris, tetapi dia
pahlawan bagi rakyat. Ken Arok pun pernah menjadi preman sebelum menjadi raja
di Singosari. Dalam Alkitab ada satu cerita yang menceritakan, bahwa Yefta
orang Gilead yang kerjanya merampok, tetapi
akhirnya berbakti kepada Tuhan dengan memerangi orang Amon [Hakim-hakim xi:3]. Tapi, lain dulu lain sekarang. Sekarang preman
lebih banyak membuat resah masyarakat. Kalau bukan aku sebagai anaknya, siapa
yang bangga terhadap ayahku sendiri. Mungkin pada saat seperti ini hanya dua
hal saja yang membuat aku masih memiliki kebanggaan, yakni bangga sebagai anak
bekas preman dan bangga sebagai bekas prajurit Marinir. Dulu, yang namanya
menjadi KKO bukan saja kebanggaan keluarga, tetapi juga kebanggaan satu bangsa.
Betapa tidak, waktu itu Indonesia
adalah satu negara yang mempunyai kekuatan laut dan udara yang sangat disegani
di Asia Tenggara. Tapi kini kekuatan laut itu seperti besi tua yang sedikit
demi sedikit habis digerus oleh karat. Pulau Sipadan dan Ligitan sudah
berpindah tangan dari Indonesia
ke tangan Malaysia, karena Indonesia
kalah dalam berperkara di Pengadilan International di Den Haag. Kemudian
dilanjutkan dengan keributan territorial block Ambalat yang kaya minyak karena Indonesia dan Malaysia saling klaim. Hanya satu
kata saja yang menjadi sebab utama kekuatan laut kita kedodoran dipermalukan
oleh tetangga, yakni : korupsi. Korupsi sedang menggerogoti semua kementrian di
pemerintahan, sehingga negara tak banyak mempunyai uang untuk menyediakan kapal
perang dan kapal selam penjaga kedaulatan negara. Jika bangsa Indonesia tidak bijak mengelola
sumber daya alam di negeri ini yang sangat beragam dan melimpah, tidaklah
mustahil bahkan satu keniscayaan, bahwa bangsa ini akan dapat menjadi budak
bagi bangsa lain; bahkan menjadi budak di negeri sendiri. Ayah selalu
bersemangat sekali kalau sudah berbicara segala sesuatu yang membangkitkan nasionalisme.
Pada akhir bulan Septemper 1965 terjadi satu peristiwa besar
dan memilukan yang belum pernah terjadi di Indonesia setelah Indonesia merdeka
1945, yakni pembunuhan enam perwira tinggi dan satu perwira muda Angkatan
Darat. Siapa dalang peristiwa pembunuhan yang sangat menghebohkan sejarah ini?
Dengan mudah pada waktu itu semua pihak menyebut, PKI [Partai Komunis Indonesia]
adalah dalangnya. Harus ada yang dijadikan kambing hitam, yakni dalang perebutan
kekuasaan. Ken Arok bekas pelayan Tunggul Ametung juga telah melakukan coup
d’etat terhadap juragannya ini karena ingin memiliki istrinya yang muda dan
cantik, yakni Ken Dedes. Tapi pada jaman Ken Arok istilah coup d’etat atau
perebutan kekuasaan belum digunakan oleh masyarakat. Ken Arok berhasil membunuh
juragannya sekaligus mengawini Ken Dedes tanpa dia harus berurusan dengan badan resort kriminal Tumapel yang masih bawahan Singosari, karena dia mempunyai muslihat yang telah disiapkan beberapa
bulan sebelum peristiwa pembuhunan ini terjadi. Apa muslihatnya itu? Ia telah
menempatkan sahabatnya sendiri, Kebo Ijo sebagai kambing hitam. Kebo Ijo
dihukum mati.
Selanjutnya setelah September 1965 sampai pertengahan 1967 banyak
anggota PKI di seluruh Indonesia terutama di Jawa dibunuh oleh massa dan
tentara dari satuan Angkatan Darat. Dalam suasana chaos yang luar biasa ini,
fitnah keji ada di mana-mana terhadap orang yang dianggap pernah menghalangi
nafsu jahat. Banyak orang yang ingin menggeser posisi ayah sebagai centeng
pasar seperti mempunyai kesempatan dalam kesempitan dalam chaos ini. Mereka
menghembuskan fitnah keji kemana-mana, bahwa ayah anggota Pemuda Rakyat,
organisasi bawahan PKI. Begitu mudahnya masyarakat terhasut dengan emosi tak
terkendali mereka berbondong-bondong menyerbu ke rumah ayah. Tuhan telah
melindungi ayah. Lima
belas menit setelah ayah dan ibu meninggalkan rumah menuju asramaku di Kwini,
mereka mendatangi rumah ayah untuk menculik ayah. Adikku berhasil lolos dari
amukan massa
dan menyusul kami di asrama. Tak ada lagi tempat aman untuk bersembunyi. Aku dititipkan kedua orang tuaku dan adikku di Ciputat di rumah paman bekas temanku
di sekolah dasar di Jalan Tanah Abang 5. Satu tahun ayah dan ibu kontrak rumah
di sini. Rumah kami di Tanah Ababg Bukit hancur dan rata dengan tanah. Tahulah kami
pada akhirnya siapa manusia penyebar fitnah itu. Ternyata adalah tetangga
sebelah kami sendiri. Dialah yang kemudian menjadi centeng pasar. Yang namanya
Yudas Iskariot ada di mana-mana. Tidak hanya di Palestina, tetapi di Tanah Abang Bukit juga ada. Namanya juga perolehan yang bukan berkat dari Gusti Allah, aku
dengar dari seorang tetangga kami juga, enam bulan setelah peristiwa penyerbuan
rumah kami, dia hilang, entah diculik atau dibunuh. Sampai pada hari tuanya
ayah dan ibu menetap di Ciputat karena rumah yang dikontrak dulu telah
dibeli oleh ayahku, sementara adikku dan isterinya melanjutkan usaha ayah
jualan soto kikil di Pasar Mayestik.
Pada Desember 1967 aku menikahi Mamiek Haryati, gadis Semarang, anak komandanku
sendiri yang dulunya pernah aku banting, Letnan Dua Bambang Hariadi. Keluarga mertuaku telah mengetahui dengan pasti siapa ayahku, tetapi justeru mereka bangga menerima aku sebagai bagian dari mereka. Kami
menikah pada masa sulit, apa-apa masih serba mahal, tapi akhirnya badai telah
berlalu. Kami dikaruniai oleh Tuhan seorang putri yang kami beri nama,
Nugrahani Dian Hartati. Kalau umumnya seorang preman mati mengenaskan, mungkin karena
perebutan wilayah kekuasaan, badan digerogoti penyakit kronis atau tersingkir
dengan cara memalukan, maka ayah meninggal dengan tenang di rumah di kelilingi
oleh ibu, anak-anak, cucu-cucu, dan menantu. Ayah disegani baik oleh lawan maupun
kawan-kawan, itu sebabnya pada saat kematiannya sangat banyak orang yang
mengantar kepergian ayah ke tempat peristirahatan terakhir. Bekas pedagang di Tanah Abang Bukit dulu beserta anak-anak mereka, teman-teman sekolahku
dulu, teman-teman dari satuan Marinir, semua menyatu di sini bahkan bekas istri "Yudas Iskariot" itu pun hadir . Aku bangga menjadi anak seorang preman, bekas
preman Pasar Tanah Abang Bukit. Aku bangga pernah menjadi Sersan Mayor Korps Marinir. Di pusara
ayahku tertulis : “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, dia akan
hidup walaupun dia sudah mati.” [Yohanes xi:25].
Diceritakan kembali oleh seorang bekas prajurit KKO. Semua nama pelaku adalah fiktif belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar