Siapa disebut suku Jawa? Geografi pulau
Jawa terletak pada gugusan kepulauan di Indonesia yang terbentang dari timur
sampai ke barat pada posisi 60 Lintang Utara sampai 110
Lintang Selatan dan antara 950 sampai 1410 Bujur Timur.
Pulau Jawa sendiri terletak pada posisi 50 sampai 100
Lintang Selatan dan 1050
sampai 1150 Bujur Timur, atau panjangnya kira-kira 1500 km, lebarnya
rata-rata 120 km dan pulau ini adalah yang terkecil dari empat pulau-pulau
besar lain di Indonesia, yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua Barat
[Herusatoto, 2003, hlm. 37]. Pulau Jawa sekarang terbagi dalam enam provinsi,
yakni : Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta Raya, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dulu orang menyebut Jawa Barat
dengan Priangan, Jawa Tengah dan Timur biasa disebut Jawa sedangkan Jakarta dengan Batavia.
|
Sejak kecil namanya, Timbul Wiyono. |
Pulau ini
menempati posisi strategis di antara pulau-pulau besar lainnya di Indonesia dari
sejak zaman Kerajaan Mataram Hindu di Jawa, terlebih lagi sejak permulaannya
bangsa Belanda datang ke pulau ini di Banten pada tahun 1596. Pada awalnya,
Belanda datang ke pulau ini sebagai pedagang yang tergabung dalam organisasi
dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie [VOC], yaitu Perhimpunan Usaha Dagang
Hindia Timur. Tetapi kemudian mereka biasa disebut Kompeni, satu kata yang
berasal dari plesetan compagnie. Pada bulan Maret 1619 Kompeni membangun kantor
dagang (loji) di pelabuhan Jayakarta atas seizin Pangeran Wijayakrama yang masih
bawahan dari Kesultanan Banten. Dua bulan kemudian setelah membangun loji pada
tahun yang sama mereka menyerbu kraton Pangeran Wijayakrama dan di kota ini mereka
mengukuhkan kekuasaan dengan membangun benteng. Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia.
Kemudian dalam
perkembangan kota, pemerintah membangun perluasannya ke arah selatan, terdapat
permukiman-permukiman yang telah dikenal sampai sekarang, seperti Gambir, Tanah Abang, dan Kemayoran
(Jakarta Pusat sekarang); Jatinegara (Jakarta Timur sekarang, dulu Jatinegara
disebut Meester Cornelis atau Meester saja); Palmerah dan Petamburan [Jakarta
Barat sekarang]; sedangkan yang disebut Batavia pada zaman Coen adalah Jakarta
Utara dari stasiun kereta api Jakarta Kota yang sekarang sampai ke pelabuhan
Jayakarta tanpa kepulauan Seribu [Toer, 2003, hlm. 37].
Bukan saja kota mengalami perkembangan properti, komposisi
penduduknya pun Batavia
mengalami pertambahan ras dan suku disamping jumlah penduduknya juga semakin meningkat.
Pada masa itu Kompeni mengatur tempat tinggal penduduk dikelompokkan menurut
asal sukunya, terdapat nama-nama kelompok suku yang masih ada dan dikenal
sampai sekarang seperti, Kampung Ambon, Kampung Melayu, Kampung Makassar,
Kampung Jawa, Kampung Bali, Kampung Madura, Kampung Bugis, Kampung Banten,
Kampung Bandan (seharusnya Banda), dan Pecinan di Glodok [tempat tinggal orang
Tionghoa] [Toer, 2005, hlm. 48].
Para penduduk
yang tinggal di sini kawin-mengawin terutama antara orang Portugis, Cina,
Melayu, Jawa, Sunda, Gujarat, dan Arab sehingga muncul komunitas yang kita
kenal sekarang, yakni suku Betawi [ejaan yang salah dari penyebutan kata
Batavia] [Toer, 2005, hlm 48]. Akar kebudayaan dan bahasa suku Betawi juga
berasal dari kelompok-kelompok ras dan suku yang membentuknya, kecenderungannya
dari orang Tionghoa, terutama pada musik dan tari. Mereka biasa membakar
petasan apabila mengadakan hajatan perkawinan, sunatan, dan malam takbiran.
Membakar petasan adalah kebiasaan orang Tionghoa yang dipercayai dapat mengusir
setan. Kebudayaan yang diadopsi dari kebiasaan orang Tionghoa ini dilakukan
oleh suku Betawi semata-mata untuk meramaikan hajatan saja.
Yang disebut
orang Portugis sebetulnya mereka adalah bekas budak Portugis yang telah
dimerdekakan oleh tuannya, berasal dari Srilangka, Malaka, Benggala, dan
Koromandel. Mereka berbahasa Portugis, pada mulanya beragama Katholik kemudian
menjadi Protestan [Kristen], dan berkulit hitam; karena itu mereka disebut Portugis Hitam, tetapi tidak ada
sangkut-paut keturunan berdarah Portugis. Mereka juga disebut orang Mardika,
berasal dari bahasa Sansekerta Mahardika, artinya merdeka. Kemudian orang
Belanda melafalkannya menjadi mardijkers.
Sedemikian
pentingnya nilai pulau Jawa dibandingkan pulau-pulau besar yang lain, Kompeni
berkepentingan menguasai semua pelabuhan di sepanjang pesisir utara pulau Jawa,
mengontrol laut Jawa dan membangun Semarang sebagai Komando Wilayah Militer
kedua setelah Batavia.
Menjelang
berakhirnya abad XVIII telah terjadi perubahan politik di negeri Belanda. Pertama, perserikatanan dagang Hindia
Timur atau VOC dinyatakan bangkrut oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dan semua
aset dan wilayah jajahannya di Indonesia menjadi milik Kerajaan Belanda
kemudian disebut Hindia Belanda. Meskipun telah berganti tuan, sampai puluhan tahun kemudian orang masih menyebut mereka
sebagai Kompeni. Kedua, pengaruh
Revolusi Perancis melanda seluruh daratan Eropa dan Belanda menjadi salah satu
wilayah taklukan Perancis.
Untuk mewujudkan
nilai strategisnya pulau ini, maka di pulau ini dibangun Jalan Raya Pos
terbentang dari Anyer di Banten sampai ke Panarukan di Jawa Timur sepanjang
1000 km., dan dari Batavia ke Cirebon melingkar melalui Bogor, Cianjur, Cimahi,
Bandung, dan Sumedang. Sebetulnya kata yang tepat untuk proyek jalan ini adalah
direhabilitasi, yaitu diperlebar dan diperkeras. Jalan ini memang sudah ada
sebelumnya, tetapi kurang memadai bagi kepentingan Kompeni. Pada jalan ini,
setiap jarak 150,960 meter didirikan paal atau tanda jarak. Semula dari Anyer
ke Batavia memakan waktu sampai empat hari, tetapi setelah jalan ini
direhabilitasi hanya membutuhkan satu hari saja [pakai kereta kuda].
Jalan pos ini
dibangun pada zaman Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels [1808-1811]
terutama digunakan untuk kepentingan militer, yakni supaya militer Hindia
Belanda bergerak lebih cepat (mobil) dalam menggerakkan pasukan di sepanjang
pulau Jawa. Dulunya jalan ini juga disebut Jalan Daendels. Pada masa itu Hindia
Belanda sedang terancam serbuan Inggeris, sedangkan Perancis lawan dari
Inggeris sedang menguasai Belanda di Eropa sehingga Perancis melalui Louise
Bonaparte, Raja Belanda, adik dari Napoleon Bonaparte berkepentingan untuk
mempertahankan pulau Jawa dari serbuan Inggeris. Namun, akhirnya Belanda harus
takluk juga atas serbuan Inggeris dibawah pimpinan Letnan Gubernur Thomas
Stamford Raffles pada tahun 1811, belum setahun setelah Daendels digantikan
oleh Gubernur Jenderal J.W. Janssens. Sungguh ironis, Belanda bersusah payah
membangun jalan raya ini, justeru Inggeris yang menggunakannya untuk
kepentingan militer mereka. Inggeris mendesak Belanda dari Batavia sampai ke
Semarang dan menyerah di sini.
Jalan ini
dibangun dengan linangan air mata dan darah belasan ribu rodi yang dikerahkan
untuk membangunnya. Mereka mati bergelimpangan di sepanjang jalan ini seperti
tikus karena kelelahan, kelaparan, dan penyakit malaria, bahkan tidak sedikit
perwira dan serdadu Kompeni yang mengawasi para rodi ini juga tewas terserang
penyakit malaria [Toer 2005, hlm. 132]. Sebagian besar topografi jalan ini
dibangun di sepanjang pantai yang masih banyak rawanya. Sebanding dengan jalan
raya ini, di Eropa juga pernah dibangun jalan raya antara Paris sampai
Amsterdam dan sangat terkenal pada masanya.
Jalan Daendels ini
sampai sekarang masih ada dipakai sebagai salah satu sarana transportasi
penting di pulau Jawa. Sekarang, setiap tahun kira-kira dua minggu sebelum Hari
Raya Iedul Fitri jalan raya ini dipadati oleh lalu lintas kendaraan bermotor
orang-orang yang hendak pulang ke kampung halaman masing-masing untuk merayakan
hari raya tersebut.
Pulau ini
termasuk pulau Madura dihuni oleh banyak suku antara lain Sunda, Betawi, Jawa,
Madura, Samin dan Tengger; dua yang terakhir masih satu garis keturunan dengan
suku Jawa, orang Samin bertempat tinggal
di sekitar Blora, Jawa Tengah, sedangkan orang Tengger di dataran
tinggi Bromo, Jawa Timur. Bahasa-bahasa yang dipakai adalah Sunda di Jawa
Barat, terutama wilayah tengah sampai ke selatan; bahasa Betawi yang masih
rumpun bahasa Melayu dipakai oleh orang Betawi [sekarang Jakarta]; bahasa
Madura dipakai bukan saja di pulau Madura, tetapi juga banyak digunakan oleh
orang-orang yang tinggalnya di daerah pesisir utara Jawa Timur, dari Pasuruan
sampai Situbondo. Bahasa Jawa dalam berbagai dialek yang biasa disebut bahasa
Jawa pinggiran digunakan di pesisir utara pulau Jawa, yaitu di Banten, Cirebon,
Tegal sampai Semarang dan sekitarnya.
Namun, bahasa
Jawa dalam pengertian tata bahasa dan tata krama pemakaian yang baku digunakan
sehari-hari adalah bahasa Jawa yang digunakan oleh orang Jawa Tengah dan Timur
yang berdomisili terutama dari daerah tengah ke selatan, yakni dari Banyumas
sampai Malang. Bahasa menunjukkan jati diri satu suku bangsa, bahasa Jawa dalam
pemakaiannya menekankan tingkat-tingkat strata sosial pemakainya. Misalnya,
gaya bahasa kasar [ngoko],
agak halus [kromo madya], dan halus [kromo nginggil]. Karena itu, dari cara
pemakaian gaya bahasanya dapat dijadikan barometer tata krama dan bobot status
sosial seseorang. Yogyakarta dan Surakarta adalah tempat sentral kebudayaan
Jawa. Jadi, yang disebut suku Jawa adalah orang yang sejak kecil menggunakan
bahasa ibunya adalah bahasa Jawa dalam pengertian tersebut di atas dan
bertatakrama Jawa [Suseno, 1988, hlm. 11].Orang
Samin rata-rata menggunakan bahasa Jawa ngoko. Orang Tengger di dataran tinggi
Bromo menggunakan bahasa Jawa yang masih bercampur dengan bahasa Jawa kuno [pada
masa Hindu] [Machmud, 2003, hlm. 142].
Suku Jawa adalah
masyarakat agraris yang lebih banyak tinggal di pedesaan yang sangat bergantung
kepada siklus alam, yaitu waktu menanam dan menuai, musim penghujan dan
kemarau. Mereka menanam padi di sawah basah yang membutuhkan banyak air dan
membutuhkan irigasi yang efisien dan efektif sehingga tidak mengganggu para
tetangganya yang juga sama-sama membutuhkan air irigasi. Satu pekerjaan yang
dilakukan selama ratusan tahun yang membentuk karakter suku Jawa menjadi orang
yang disiplin dan memiliki penguasaan diri. Baik dalam dinasti Mataram Hindu
maupun Mataram Islam, kultur agrarisnya adalah beras. Karena itu suku Jawa
sangat menghargai beras sebagai makanan pokok mereka [Akerren, 1995, hlm. 5].
Suku Jawa dibagi
dalam tiga kelompok sosial, yaitu pertama, kelompok orang kecil (wong
cilik), terdiri dari petani di desa dan buruh berpenghasilan rendah di
kota-kota; kedua, kelompok priyayi atau orang besar [wong gedhe], terdiri dari birokrat,
dokter, guru, intelektual, seniman dan semua pekerjaan yang lebih banyak
menggunakan kehalusan rasa dan pikiran; ketiga, kelompok ningrat, yaitu
kelompok minoritas yang lebih eksklusif pada lingkaran kekuasaan kraton.
Kelompok kedua dan ketiga terdapat perbedaan kecil saja, karena pada kelompok
kedua juga tidak sedikit berasal dari keluarga ningrat. Kondisi ekonomi kelompok
priyayi dan ningrat, jelas lebih baik dibandingkan dengan kelompok orang kecil
[Partonadi, 2001, hlm. 13; Suseno, 1988, hlm. 11]. Disamping itu, ditinjau dari
sudut keagamaan, suku Jawa dibagi dua kelompok, yaitu abangan dan santri;
kedua kelompok ini secara nominal menyatakan bahwa mereka beragama Islam,
tetapi kelompok pertama kesadaran menjalankan ritual keagamaannya lebih condong
dipengaruhi oleh kepercayaan lokal (animisme/dinamisme), sedangkan kelompok
kedua memiliki kesadaran dan usaha menjalankan dengan sungguh-sungguh syariat
Islam [Suseno, 1988, hlm. 13].
Pada tahun 1960,
Clifford Geertz membagi strata sosial suku Jawa dalam tiga kelompok, yaitu :
abangan, santri dan priyayi [Geertz, 1983, hlm. 13]. Cukup beralasan baik
menurut Suseno maupun Mulder berkeberatan dengan pembagian ini, karena Geertz
mengabaikan fakta, bahwa : 1) Abangan itu bukan menunjukkan strata sosial,
melainkan tingkat atau kadar religiositas seseorang. 2) Ia mendefinisikan
kelompok-kelompok tersebut dalam deskripsi yang mutlak seakan-akan tidak ada
intraksi satu sama lain. Di Yogyakarta kiranya banyak dijumpai orang Jawa yang
sungguh-sungguh menjalankan syariat agama Islam dan mereka cukup memenuhi
syarat disebut santri menurut deskripsi Geertz. Namun, mereka juga banyak yang
terlibat langsung dengan kegiatan orang abangan, seperti mengikuti acara kenduren
atau slametan, membicarakan tentang wayang purwa dan mengunjungi makam
leluhur (nyadran). Bagaimanapun juga mereka adalah suku Jawa, tetapi
tidak melupakan esensinya, yaitu bersikap rukun dan hormat terhadap orang lain
[Mulder, 1985, hlm. 17-18]. Kelompok santri juga bukan hanya berasal dari orang
kebanyakan, tetapi ada juga dari kalangan priyayi dan ningrat [Djamhari, 2004,
hlm. 36].
Sampai dekade
60-an, melalui nama yang disandang oleh seorang Jawa, maka tidak sulit untuk
menebak dari kelompok sosial mana dia berasal, apakah dia seorang santri atau
abangan, apakah dia dari daerah pesisir atau dari pedalaman. Beberapa contoh
memberi indikasi yang cukup masuk akal. Misalnya :
- Orang yang berasal dari
daerah pesisir, orang kecil dan sebagai santri banyak yang menggunakan nama
yang kearab-araban, seperti Mutalib, Abdullah, Khodijah, Khotimah.
- Orang
yang berasal dari daerah pesisir, orang kecil dan abangan menggunakan nama yang
kearab-araban dialek Jawa, seperti Ngabdullah (berasal dari Abdullah), Kolil
(berasal dari Kholil), Dulkamid (berasal dari Abdul Khamid).
- Orang yang
berasal dari desa pesisir atau pedalaman menggunakan nama Jawa yang pendek,
seperti Gimin, Simin, Radin, Ngatimin, Ngatinah, Ngatinem.
- Orang yang
berasal dari pedalaman, ningrat/priyayi dan santri atau bukan tetap menggunakan
nama gaya Jawa, yakni panjang serta mengutamakan makna nama yang disandangnya,
seperti Subagio Hadikusumo, Bambang Wijanarko, Widodo Harto, Joko Widagdo. Jika
dia memiliki gelar di depan namanya semisal Raden Mas, dia dipanggil sebagai
Raden Mas (R.M.) Subagio Hadikusumo, sebuah nama yang merefleksikan sangat
Jawa. Namun, Bendara Aria Pangeran Dipanegara hanya satu kekecualian. Ia
berasal dari kalangan kraton tulen, anak Sultan Hamengkubuwono III, tetapi dia
bangga menyebut dirinya adalah Ngabdulkamid [Djamhari, 2004, hlm. 36].
- Orang
yang berasal dari pesisir atau pedalaman dan telah dibaptis menjadi Kristen,
biasa namanya ditambahi nama baptis di depan nama kecilnya, seperti Daniel
Suprawata, Amos Wahyudi, Ayub Waluya dan lain seterusnya [Geertz, 1983, hlm.
61; Akkeren, 1995, hlm. 99].
Tidak pernah
dijumpai seorang pekerja kasar namanya demikian, Bambang Widagdo Hadikusumo atau
Widodo Harto, karena lingkungannya menganggap, dirinya itu kaboten jeneng [terlalu berat menyandang nama
besarnya] [Geertz, 1983, hlm. 61]. Partonadi
mengatakan di dalam bukunya bahwa :
Di masa lalu, khususnya nama adalah bagian yang
mempunyai makna sangat penting dalam budaya Jawa. Orang Jawa membedakan dua
nama, yakni ‘nama kanak-kanak’, nama yang diberikan segera setelah kelahiran,
dan ‘nama dewasa’, nama yang diberikan pada saat seseorang menikah atau untuk
seorang priyayi ketika memperoleh kedudukan yang lebih tinggi [Partonadi, 2001,
hlm. 81].
Orang tua
berpengharapan, anaknya menjadi seperti arti nama yang diberikan kepada
anaknya. Kadang-kadang orang tua mengganti nama anaknya karena bermacam-macam
alasan. Misalnya, jika seorang anak sering sakit-sakitan, orang tuanya mungkin
akan dinasehati oleh dukun untuk mengganti nama anak yang bersangkutan. Karena
menurut kepercayaan Jawa, nama yang diberikan kepada anak ini mungkin terlalu
berat sehingga dia menjadi keberatan beban [beban psikologis] [Partonadi, 2001,
hlm. 81].
Beban psikologis
ini bisa ditimbulkan karena lingkungan dan realitas hidupnya. Misalnya, nama
Bambang Widagdo Hadikusumo umumnya pemiliknya adalah priyayi atau orang yang
ekonominya mapan, sedangkan dia realitasnya hanyalah anak buruh tani atau kuli
kasar saja. Jelas, dengan kondisi seperti ini, lingkungannya mungkin akan
menertawakannya. Karena itu, sebuah nama yang sesuai terhadap lingkungan dan
realitasnya akan membuat pemilik nama merasa tentram hatinya.
Nama juga perlu
diganti atau ditambah apabila ada peristiwa penting yang mengiringi hidupnya.
Misalnya, pada masa kanak-kanaknya bernama Gimin, tetapi ketika sudah dewasa
setelah pulang dari naik haji, dia merasa perlu menambahkan nama ‘Muhammad’
sehingga namanya menjadi Muhammad Gimin, supaya para tetangganya pada tahu
bahwa dia adalah sungguh seorang Muslim. Jika seorang ningrat kedudukan
gelarnya meningkat, hal ini menunjukkan bahwa kedudukan sosial dan ekonominya
juga meningkat lebih tinggi, namanya perlu diganti atau nama yang lama
ditambahi dengan nama baru.
Demikianlah,
orang Jawa menyatakan identitasnya melalui namanya dengan pertimbangan
lingkungan keagamaan, sosial dan ekonominya, di satu sisi pemilik nama merasa
tidak kaboten jeneng, pada sisi yang lain ada yang memiliki kebanggaan
terhadap bobot nama yang disandangnya [pada 1972, di Palembang ada seorang guru
Injil dari Klaten, Jawa Tengah, berkata kepada penulis, bahwa dia bangga dengan
nama yang diberikan oleh orang tuanya. Arti namanya adalah ‘harta keselamatan’.
Injil Kristus adalah Harta Keselamatan untuk manusia. Orang tuanya
mengharapkan, supaya dia membagikan harta ini kepada setiap orang. Guru Injil
ini namanya adalah Widodo Harto].Secara
umum nama-nama yang digemari dengan bobot yang sedang saja adalah : 1) Untuk laki-laki seperti, Bambang, Slamet, Joko, Sutoyo, Heru, dan
Sugiono. 2) Untuk perempuan seperti,
Endang, Sulistiorini, Sri, Sundari, Handayani, dan Nugrahani [Geertz,
1983, hlm. 61].
Namun, menjelang
berakhirnya abad XX pada saat kebangkitan Islam semakin berkembang di negara
ini, semakin banyak anak Jawa dari pedalaman menggunakan nama yang Islami. Tiga
contoh berikut adalah nama bercorak Islam, yakni :
- Arab-Jawa seperti,
Bambang Suhud, Wahab Warsito, dan Iwan Ramadhan.
- Jawa kearaban seperti, Joko
Lutfianto, Dian Fitrianti, dan Endang Rahmadhani.
- Seluruhnya Arab seperti,
Hidayat Nur Wahid, Fattah Hidayat, Farhan Ibrahim, Mustaqimah Maisyaroh dan
Nurul Huda.
Dengan pertumbuhan keislaman suku Jawa dewasa ini, maka tidak
semudah dulu lagi dalam mengidentifikasi asal-usul mereka hanya melalui nama
yang mereka pergunakan. Terlebih lagi apabila ada yang menggunakan sepenuhnya
nama Arab.
Kerajaan Hindu di Pulau Jawa.
Di Pulau Jawa
terdapat dua kerajaan Hindu, yakni Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat dan
Kerajaan Mataram di Jawa Tengah kemudian dilanjutkan di Jawa Timur. Raja-raja
Hindu di Kerajaan Pajajaran menjaga kerukunan baik urusan internal maupun
dengan kerajaan lain. Apabila kerajaan Hindu di di Jawa Tengah dan Timur sering
bertikai urusan perebutan warisan takhta, hal itu tidak pernah terjadi di
Pajajaran. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit pernah
dilakukan upaya kontak diplomatik dengan Kerajaan Pajajaran. Namun, upaya ini
mengalami kegagalan total akibat kesalahpahaman kedua belah pihak. Raja
Pajajaran yang terkenal adalah Prabu Siliwangi. Kerajaan Pajajaran runtuh
ditaklukkan oleh Kesultanan Demak yang beragama Islam pada tahun 1526 [Mulyana,
2005, hlm. 222].
Kerajaan Mataram
mengalami dua masa, yaitu masa Hindu dan masa Islam dalam rentang waktu sampai
lebih kurang delapan abad. Pada masa Hindu disebut Mataram Hindu kemudian pada
masa Islam disebut Mataram Islam. Kerajaan Mataram baik pada masa Hindu maupun
pada masa Islam memiliki hegemoni dan pengaruh yang lebih luas diseluruh
Nusantara dibandingkan dengan Kerajaan Pajajaran. Memang terdapat
kerajaan-kerajaan dengan nama seperti, Kediri, Singasari, dan Majapahit, tetapi
sistem pemerintahan di dalamnya tetap Mataram Hindu. Pada masa Islam tetap
menggunakan nama Mataram karena sebagian tradisi Hindu dari pendahulunya masih
dijalankan di lingkungan kraton walaupun secara formal mereka adalah pemeluk
Islam. Disamping itu masih terdapat idealisme mewujudkan kejayaan yang pernah
ada dalam dinasti Mataram Hindu dalam wujud yang baru, yaitu bercorak Islam.
Kerajaan Mataram Hindu [700-1527]
Kerajaan Mataram Hindu dibangun dan dibesarkan oleh Sanjaya
pada abad VIII. Tidak lama kemudian, Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan
dari dinasti Syailendra yang beragama Buddha melakukan ekspansi sampai ke Jawa
Tengah. Pada masa Syailendra dibangun banyak candi untuk pemujaan terhadap
Buddha, diantaranya adalah Borobudur yang termashur di seluruh dunia dibangun
oleh Samarottungga. Masa kekuasaan dinasti Syailendra berakhir pada akhir abad
IX, sesudah itu Mataram yang beragama Hindu dibawah Rakai Pikatan bangkit
memerintah lagi di seluruh Jawa Tengah. Pada masa pemerintahannya dibangun
candi pemujaan terhadap Syiwa di desa Prambanan, yaitu candi Roro Jonggerang
yang terkenal sampai sekarang.
Pada abad X
Mataram diperintah oleh Sindok pendiri dinasti Isyana. Karena alasan politik
dan ekonomi, dia kemudian memindahkan kerajaan secara bertahap ke Jawa Timur,
terletak kira-kira di sebelah barat lembah sungai Brantas. Proses pindah lokasi
kerajaan ini dipercepat karena gunung Merapi meletus pada tahun 929. Pemindahan
lokasi kerajaan ini memang tepat ditinjau dari sudut ekonomi dan politik,
karena :
- Hubungan ekonomi antar wilayah di Nusantara dan antar negara dapat
memiliki akses yang cepat melalui sungai Brantas yang bermuara di Surabaya.
Pada waktu itu baik kedalaman maupun kelebarannya, sungai Brantas dapat dilalui
oleh perahu layar berbobot sampai 10 ton.
- Dari sudut politik akses yang
cepat ke laut melalui sungai Brantas menunjukkan Kerajaan Mataram melakukan
upaya supaya lebih eksis di arena internasional. Raja Mataram yang terkenal
setelah Sindok adalah Airlangga. Pada akhir masa pemerintahannya, Mataram
dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kediri dan Kahuripan. Pada akhirnya Kahuripan
takluk dibawah Kediri.
Pada abad XII,
Jayabaya berkuasa di Kediri. Raja ini terkenal dengan ramalannya, yaitu di
pulau Jawa akan timbul kekacauan dan penderitaan rakyat luar biasa, tetapi
kemudian datang Ratu Adil yang akan membawa keadaan damai sejahtera. Ramalan
ini menjadi sumber inspirasi dan impian mesianis orang Jawa terutama sepanjang
abad XIX [Suseno, 1988, hlm. 26]. Raja Kediri terakhir adalah Kertajaya yang
mati dibunuh oleh Ken Arok pada pertempuran di desa Ganter [Wasis, 2004, hlm.
93].
Pusat kerajaan
dipindahkan ke Singasari dan Ken Arok menjadi Raja Singasari pertama [Berg,
1985, hlm. 11]. Raja Singasari terkenal setelah Ken Arok adalah Kertanegara.
Pada masa pemerintahan Kertanegara, Kubilai Khan dari Mongol memperluas
wilayahnya sampai ke Nusantara. Kertanegara yang sedang bersiaga menghadapi
Mongol tidak menyangka, dia dibunuh oleh Jayakatwang, Raja Kediri. Bersama
tentara Mongol yang mendarat di kota Tuban, Raden Wijaya, menantu Kertanegara
menyerang Kediri dan berhasil membunuh Jayakatwang melalui tangan tentara
Mongol. Setelah berhasil menghalau tentara Mongol, Raden Wijaya menobatkan diri
sebagai Raja Majapahit. Raja Majapahit yang terkenal adalah Hayam Wuruk.
Setelah Hayam Wuruk wafat, Majapahit mengalami perang saudara memperebutkan
takhta yang pada akhirnya semakin melemahkan kerajaan.
Perang Parereg
adalah perang saudara terbesar antara Majapahit dengan kerajaan bawahannya di
ujung timur Jawa Timur, yakni Blambangan. Suhita, cucu perempuan Hayam Wuruk,
raja Majapahit keturunan terakhir dari Raden Wijaya berperang dengan Wirabumi,
Raja Blambangan, pamannya sendiri, anak Hayam Wuruk dari keturunan selir. Dalam
perang ini, Blambangan dikalahkan oleh Majapahit. Dan sebagai hukumannya,
kepala Wirabumi dipenggal. Perang ini meninggalkan romantisme terdalam pada
sebagian besar suku Jawa sehingga diwujudkan dalam cerita rakyat yang sangat
terkenal, yakni Damar Wulan dan Minak Jinggo [Mulyana, 2005, hlm. 24].
Memasuki abad XV
Majapahit mengalami kemunduran lebih cepat dengan masuknya Islam ke Jawa. Pada
tahun 1478 raja terakhir Majapahit, Kertabhumi ditaklukkan oleh Raden Patah
dari Kesultanan Demak [Syamsudduha, 2004, hlm. 120]. Sejak itu walaupun
Majapahit masih tetap eksis, statusnya hanya sebagai wilayah bawahan Demak.
Adapun Kota
Malaka di Semenanjung Melayu sejak abad XV telah dikuasai oleh Portugis.
Letaknya yang strategis menjadikan kota ini transit terpenting di Selat Malaka
antara Eropa dan Cina. Portugis adalah saingan utama dan musuh Demak dalam
perdagangan rempah-rempah di Nusantara sampai ke Cina dan sekitarnya. Pati
Unus, putera pertama Raden Patah telah dua kali melakukan penyerbuan ke Malaka,
yakni tahun 1512 dan 1521, tetapi keduanya gagal sebelum kapal-kapal Demak
mencapai Malaka. Meriam-meriam Portugis dari benteng A-Famosa yang memiliki
jarak tembak sampai jauh ke lepas pantai menghancurkan kapal-kapal Demak. Demak
mengawasi dengan ketat semua wilayah maritim bawahannya supaya tidak
berhubungan langsung dengan Portugis. Tidak lama setelah penyerbuan Demak
terhadap Malaka yang kedua kalinya, Pati Unus wafat karena sakit.
Pada tahun 1527
Majapahit diserbu oleh Demak untuk kedua kalinya, karena Majapahit kedapatan
melakukan konspirasi politik dan ekonomi dengan Portugis. Penyerbuan yang kali
ini dilakukan oleh Trenggono, putera kedua Raden Patah adalah klimaks
penguasaan Jawa Tengah dan Timur oleh Islam terhadap eksistensi Mataram Hindu.
Penduduk Majapahit yang menolak agama Islam menyingkir ke Bali dan Tengger di
dataran tinggi Bromo sampai sekarang [Woordward, 2004, hlm. 368].
Setelah Raden
Patah wafat pada tahun 1518 Demak mulai melemah, karena keturunannya saling
menumpahkan darah berebut takhta kerajaan. Arya Penansang dari Jipang adalah
cucu Raden Patah tewas ditangan Mas Karebet alias Jaka Tingkir, menantu Trenggono
dan dia adalah cucu adipati Pengging, Jayaningrat yang masih keturunan dekat
kerabat keraton Majapahit. Dengan tewasnya Arya Penansang, maka berakhirlah
kekuasaan politik Demak dan dinasti yang dibangun oleh Raden Patah. Boleh
dikatakan keturunan raja Majapahit tetap mencari kesempatan untuk membalas
dendam terhadap keturunan Raden Patah dan berupaya mengembalikan kejayaan
Mataram Hindu [Mulyana, 2005, hlm. 113].
Pengging terletak
di sebelah barat Surakarta semula adalah wilayah bawahan Majapahit, tetapi
pembesar-pembesar di sini walaupun telah memeluk agama Islam secara diam-diam
masih menjunjung kesetian terhadap Majapahit. Orang-orang Demak memeluk agama
Islam yang diajarkan oleh Raden Patah beraliran Hanafi (bagian dari mazhab
Sunni), sebaliknya orang-orang Pengging memeluk agama Islam yang diajarkan oleh
Syekh Siti Jenar beraliran Syiah yang lebih bertoleransi terhadap tradisi suku
Jawa pedalaman pada saat itu. Aliran Syiah tidak melarang pemujaan arwah
leluhur, berziarah ke makam leluhur, bersemadi, dan memandikan pusaka-pusaka
kraton. Karena ada kesejajaran dogmatik atau berpikir antara kepercayaan lama [baca
: Hindu Jawa] dan Islam Syiah, ajaran Syekh Siti Jenar ini diterima oleh suku
Jawa di Pengging [Mulyana, 2005, hlm. 253-254].
Setelah kekuasaan
politik Demak sirna, Jaka Tingkir memindahkan kerajaan ke Pajang (letaknya di
sekitar Klaten), membangun kraton di sini dan mengangkat dirinya sebagai Sultan
Adiwijaya. Pada tahun 1575, ketika Pajang melemah, maka Ngabehi Loring Pasar
alias Sultan Sutawijaya yang menjadi bupati di Yogyakarta melepaskan diri dari
Pajang kemudian mendirikan Kerajaan Mataram bercorak Islam dan menjadikan Kota
Gede sebagai ibu kota kerajaan [bekas kraton Mataram ini terletak beberapa
kilometer dari Yogyakarta. Kota Gede sekarang dikenal sebagai bagian dari kota
wisata Yogyakarta tempat kerajinan logam perak].
Kerajaan Mataram Islam [1575-1755]
Zaman Mataram
Islam adalah awal digunakannya bahasa Jawa yang digunakan oleh orang Jawa
seperti tersebut di atas pada posting ini juga. Bahasa yang digunakan
sebelumnya juga bahasa Jawa, tetapi masih bercampur dengan bahasa Jawa kuno
pada masa Hindu [Jawa Kawi] [Banawiratma, 1977, hlm. 29]. Walaupun sudah
memasuki era Islam, sebagian kebiasaan atau tradisi pada zaman Mataram Hindu
masih berlangsung di lingkungan kraton. Raja Mataram yang terkenal pada masa
Islam ini adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo [1613-1645].
Pada masa
pemerintahannya, Kompeni sedikit demi sedikit melakukan gangguan kedaulatan
Mataram. Ia telah dua kali menyerang Kompeni langsung ke Batavia melalui jalan
darat [1628 dan 1629], tetapi kedua serangan ini tidak pernah berhasil
[Woodward, 2004, hlm. 15]. Serangan melalui laut tidak memungkinkan dilakukan
karena Mataram tidak mempunyai kekuatan maritime dan perairan laut Jawa sendiri
sepenuhnya dikendalikan oleh kapal-kapal VOC.
Setelah Sultan
Agung wafat banyak pertikaian di dalam kraton yang banyak dipicu oleh campur
tangan Kompeni untuk kepentingan perluasan kekuasaan monopoli perdagangan.
Karena keuangan kerajaan sedang kosong, Mataram terpaksa menyewakan seluruh
pelabuhan di pesisir utara kepada Kompeni. Tindakan ini sama dengan mengisolasi
Mataram terhadap dunia luar dan semakin tergantung dengan Kompeni. Konflik
internal di dalam kraton antara pro-kontra penguasaan atas seluruh pelabuhan di
pesisir utara oleh Kompeni tidak terhindarkan lagi. Perang saudara terbuka
berlangsung selama delapan tahun antara Mangkubumi dan Pakubuwana III. Kraton
sendiri berturut-turut telah dipindahkan ke Kartasura dan kemudian ke Surakarta
[Kartasura terletak antara Yogyakarta dan Surakarta, kira-kira sepuluh
kilometer dari Surakarta]. Pada tahun 1755 Kompeni memfasilitasi Perjanjian
Giyanti yang mengakhiri perang saudara ini sekaligus mengakhiri kejayaan
Mataram Islam, karena kerajaan ini dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Kesultanan
Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta yang lebih condong kepada Kompeni [Woodward,
2004, hlm. 20]. Selanjutnya Mangkubumi menjadi Hamengkubuwana I.
Pada abad XIX,
Kerajaan Belanda mengambil alih semua aset dan hutang termasuk daerah jajahan
Kompeni, karena perusahaan ini pada akhir abad XVIII telah dinyatakan bangkrut
oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Gaya hidup para birokrat [pegawai] organisasi
dagang ini membuat mereka harus berupaya mendapatkan tambahan. Tambahan apa
yang mudah dilakukan oleh pegawai-pegawai VOC untuk menutupi kekurangan gaji
mereka selain dengan cara korupsi dan penyalahgunaan jabatan, misalnya
melakukan kolusi dengan penguasa-penguasa pribumi. Korupsi telah berlangsung
selama bertahun-tahun di dalam tubuh organisasi dagang ini menyebabkan keuangan
perusahaan jatuh. VOC sering dipelesetkan menjadi vallen on der corruptie,
artinya jatuh [bangkrut] karena korupsi. Perhimpunan usaha dagang ini tak
tertolong lagi, bangkrut karena korupsi sistematis di dalam tubuhnya.
Pangambilalihan aset dan jajahan Kompeni kepada Pemerintah Belanda adalah
permulaan Nusantara dibawah penjajahan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Setelah memahami
keberadaan suku Jawa selama lebih sepuluh abad mengalami akumulasi selektif
berbagai kebudayaan, yang lama tetap berlangsung, sementara yang baru diterima
selama ada kesesuaian dengan kebudayaan yang lama, maka sampailah pada satu
realitas pemikiran bahwa berbagai kebudayaan yang terserap itu terakumulasi
membentuk satu pandangan dunia Jawa yang pada umumnya disebut Kejawen [Mulder,
1985, hlm. 17].
Kejawen atau
Kejawaan [Javanism] bukan menunjukkan identitas agama atau kadar religiositas
agama [bukan agamanya suku Jawa menurut Geertz], melainkan lebih menunjukkan
sistem berpikir atau kebijaksanaan suku
Jawa [Mulder, 1985, hlm. 17]. Kejawen adalah himpunan kepustakaan Jawa yang
lengkap dan ruangannya masih memungkinkan untuk diisi terus selama ada yang
baru untuk dimasukkan ke dalamnya. Unsur-unsurnya adalah sebagian besar
ajaran-ajaran Hindu, Buddha, dan kepercayaan lokal yang mengendap, semakin
kental dan semakin koheren dalam pikiran suku Jawa secara turun-temurun selama
ratusan tahun [Suseno, 1988, hlm. 82-83]. Ajaran Islam melalui sufisme juga
ikut memberi andil merembes ke dalam Kejawen [Woodward, 2004, hlm. 115-116].
Kelompok priyayi
tradisional atau ningrat dapat dikatakan Jawa Kejawen, walaupun mereka secara
resmi mereka menyebut beragama Islam. Kraton bukan hanya sebagai pusat politik,
melainkan juga sebagai pusat ajaran Kejawen. Pada hari-hari tertentu mereka
berkunjung ke makam leluhur [nyadran], membersihkan pusaka nenek moyang dan
memberi sesajen [Woodward, 2004, hlm. 21].
Kehidupan
keagamaan suku Jawa pada umumnya tidak direpotkan oleh tetek bengek syariat
seperti, doa, membaca Al Quran atau sembahyang lima waktu. Pengetahuan mereka
tentang Tuhan tidak sampai menyentuh hal-hal akhirat atau eskatologis [Mulder,
1985, hlm. 23]. Mereka beranggapan semua agama itu mengajarkan kebajikan, asal
sudah berbuat kebaikan terhadap sesama, itu diartikan semua baik di hadapan
Tuhan [Subandrijo, 2000, hlm. 239]. Kehidupan manusia adalah satu kesatuan
eksistensi yang mengikuti hukum kosmis, yaitu ukum pinesthi yang
menyatakan bahwa setiap eksistensi jalan hidupnya telah ditetapkan, dia hanya
tinggal melakukan saja dan tinggal nrimo saja hasilnya. Nrimo (menerima)
artinya orang harus menyadari keadaan takdir terhadap dirinya yang tidak dapat
dihindari, walaupun itu tidak diharapkan [Mulder, 1985, hlm. 25].
Pusat religi suku
Jawa adalah slametan. Slametan adalah
acara makan bersama secara seremoni dipimpin oleh seorang modin [pekerja masjid] membaca doa
singkat dalam bahasa Arab. Tujuan slametan adalah menghendaki keadaan menjadi
slamet, yaitu suatu kegiatan akan dilakukan di satu tempat, maka kegiatan
tersebut diharapkan tidak menimbulkan kemalangan kepada sembarang orang [Geetz,
1983, hlm. 13]. Setiap aspek kehidupan tidak lepas dari ritus slametan, karena
setiap kegiatan yang diharapkan mendatangkan keadaan slamet harus dilakukan
slametan, seperti kelahiran, memberi nama, mengganti nama, memindahkan rumah,
dan lain-lain. Slametan juga berfungsi sebagai pengikat tali silaturahmi,
karena yang diundang oleh pemilik hajat adalah semua tetangga laki-laki,
terutama sedesa tidak peduli strata sosialnya apa [Geertz, 1983, hlm. 13].
Dalam acara slametan ini yang penting adalah semua tetangga hadir sebagai
ungkapan solidaritas mengharapkan keadaan slamet.
Puncak ajaran
kejawen adalah ngelmu kebatinan, yaitu
satu usaha pribadi dan berorientasi pada diri sendiri untuk memahami hakekat
kehidupan (sangkan paraning dhumadi) dan mencapai satu kesatuan dengan Sang
Khalik [manunggaling kawulo-Gusti]. Laku kebatinan adalah puasa, mengendalikan
gerak dan meditasi [Suseno,
1988, hlm. 96]. Dalam pandangan ngelmu kebatinan wahyu bisa
datang setiap waktu pada saat bermeditasi [Woodward, 2004, hlm. 247]. Karena
itu, ada saja pada perioda tertentu [biasanya pada saat situasi dan kondisi
masyarakat sedang kacau], muncul orang yang mengaku menerima wahyu Ratu Adil
untuk melakukan pembaruan di dalam masyarakat [Kartodirdjo, 1984, hlm. 15].
Dalam impian suku Jawa yang mengharapkan hadirnya sang mesias, Ratu Adil
diyakini membawa masyarakat kearah kehidupan yang damai sejahtera, maka tokoh
keagamaan yang dianggap kharismatik segera menarik perhatian masyarakat,
seperti Pangeran Dipanegara, HOS Tjokroaminoto, dan Kartosoewirjo. Semua
gerakan kebatinan pada dasarnya adalah gerakan mesianis sepanjang zaman [Kartodirdjo,
1984, hlm. 15].
Wayang dan Kaitannya dengan Suku Jawa
Satu sumber
kebudayaan yang sangat dikenal oleh suku Jawa dari berbagai strata sosial
sebagai pengejawentahan Kejawen, adalah wayang. Wayang berkemampuan menjelaskan
berbagai fenomena di dalam masyarakat termasuk di dalamnya konteks hubungan
guru dan murid yang terobsesi mencari kebenaran sejati. Wayang adalah
pertunjukan bayang-bayang dari satu obyek benda yang tersorot oleh cahaya
lentera yang disebut blencong, di mana bayangan obyek benda tersebut [wayang]
jatuh ke layar putih yang di sebut kelir [Mulyono, 1989, hlm. 53]. Pertunjukan
wayang adalah lakon yang melambangkan eksistensi manusia ketika masih hidup di
dunia [Mulyono, 1989, hlm. 186-187].
Pertunjukan
wayang bukan sekedar hiburan, melainkan sebagai upacara religius dan sebagai
sarana pendidikan moral bagi penontonnya. Seseorang yang layak disebut dalang
bukan hanya cakap secara teknis menggelarkan wayang, tetapi dia juga fasih
menyampaikan pesan-pesan moral melalui lakon wayang yang dipentaskannya, sebagaimana
seorang guru menyampaikan ajaran kepada muridnya. Karena profesi dalang
menyerupai seorang guru, maka kehidupan pribadi sehari-hari seorang dalang
merupakan tuntutan dari masyarakat seharusnya dapat menjadi panutan
[Banawiratma, 1977, hlm. 48].
Satu figur wayang
dapat menjadi idola di satu tempat, tetapi di tempat lain mungkin lain lagi
yang diidolakan oleh masyarakat di situ. Proses pembelajaran melalui
teladan-teladan dan contoh-contoh ajaran moral lakon wayang mempengaruhi
kehidupan anak-anak Jawa pada umumnya [Anderson, 2003, hlm. 58]. Misalnya :
Bima, badannya tinggi dan besar, dia tak mau kemegahan dan basa-basi, kepada
siapa pun dia tidak pernah membungkuk, bicaranya selalu ngoko. Tetapi dibalik
kekasaran temperamennya, dia adalah figur yang jujur, setia, gigih, dan
terampil di bidang militer [Anderson, 2003, hlm. 28]. Dorna adalah seorang resi
atau guru pertapa yang ahli dalam ilmu militer, tetapi memiliki tabiat buruk,
yaitu suka menghasut dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan [Anderson,
2003, hlm. 43].
Anak-anak Jawa
mematut-matut diri mereka dengan tokoh wayang yang diidolakannya, biasanya yang
berperangai sopan, sakti dan bijak seperti Kresna. Belum pernah terdengar ada
anak-anak Jawa mau dibandingkan seperti Dorna, kendatipun kelakuannya seperti
Dorna. Lebih baik dibandingkan dengan Karna, walaupun di pihak musuh tetapi dia
adalah figur ksatria sejati.
Banyak mitologi
Jawa ikut mewarnai lakon-lakon pewayangan yang sudah baku dalam epos Baratayuda
sehingga lakon-lakon pewayangan semakin beraneka ragamnya sedangkan di negara
asalnya, yaitu India tidak pernah ada. Misalnya : Petruk Menjadi Raja dan Sri
Mulih. Tokoh Semar yang biasa bersama Petruk, Gareng, dan Bagong pun tak ada
dalam epos ini.
Mitologi Jawa
Definisi mitologi
adalah satu bentuk sastera yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai
kehidupan dewa dan makhluk halus dalam suatu kebudayaan [Hasan Alwi, hlm. 749].
Mite adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh
masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak
mengandung hal-hal yang ajaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa [Hasan Alwi, hlm.
749]. Banyak mite yang kemudian dimitoskan oleh suku Jawa.
Mitos mewarnai
sebagian besar kehidupan suku Jawa, karena sistem berpikir suku Jawa dalam
menanggapi terhadap semua fenomena alam dan masyarakat selalu dikaitkan dengan
kegaiban. Karena itu mitos-mitos yang berkembang di Jawa juga berkaitan dengan
kepercayaan atau keyakinan terhadap kegaiban [Endraswara, 1993, hlm. 193]. Dalam
mitos tidak dituntut fakta, karena zaman mitos tidak terikat oleh batas-batas
dunia riil. Kebanyakan mitos di Jawa bermula dari cerita rakyat yang
disampaikan secara lisan. Awalnya mungkin mitos ini milik satu tempat tertentu
saja, katakan saja desa, tetapi lama-kelamaan disampaikan secara lisan akhirnya
berkembang menjadi milik suku Jawa. Ada banyak mitos dalam kehidupan suku Jawa,
tetapi penulis membatasi tiga contoh mitos saja yang berkaitan dengan pekabaran
Injil di Jawa Tengah dan Timur. Misalkan saja : mitos Dewi Sri, Dewa Ruci dan
Batara Kala.
Dewi Sri. Mitos ini selalu
dikaitkan dengan Sadono. Dewi Sri sebenarnya adalah penjelamaan isteri Wisnu,
sedangkan Sadono adalah penjelmaan Batara Wisnu. Jadi, pasangan Sri-Sadono
sesungguhnya bukan kakak-adik seperti yang dipahami oleh sebagian suku Jawa
melainkan pasangan suami isteri [Endraswara, 2003, hlm. 202].
Suku Jawa
terutama di pedesaan mempercayai bahwa tanaman padi mereka di sawah akan tumbuh
subur dan panen bekelimpahan karena pemeliharaan Dewi Sri. Dewi Sri menuntut
norma-norma sosial yang harus ditaati, yaitu kebersihan dan ketertiban desa.
Kenyataannya penduduk desa memang mematuhi, jika tidak, mereka mempercayai
bahwa tanaman padi mereka akan gagal, banyak penyakit akan melanda desa dan berbagai
musibah lain. Sebelum tanam padi dan sesudah panen, penduduk desa melalui
seorang dukun atau modin memberi sesajen di sawah dan melakukan slametan di
rumah pemilik sawah [Akkeren, 1995, hlm. 17]. Lakon wayang yang biasa dimainkan
setelah slametan panen adalah Sri Mulih [Endraswara, 2003, hlm. hlm. 202].
Sri dan Sadono
diwujudkan pada patung Loro Blonyo yang diletakkan pada pasren [sentong
tengah]. Sentong tengah adalah tempat menyimpan padi bagi orang Jawa. Patung
Loro Blonyo dipercaya sebagai penjaga padi. Patung ini juga digunakan sebagai
simbol kelanggengan kehidupan rumah tangga suku Jawa, reprensentasi
kemanunggalan Sri dan Sadono [Endraswara, 2003, hlm. 203].
Dewa Ruci. Bima dan Dorna
adalah pemeran utama dalam lakon Dewa Ruci yang terkenal dan salah satu yang
digemari di Jawa. Resi Dorna memerintahkan muridnya, Bima untuk mencari toya
marta [air hidup]. Dalam satu usaha susah payah mencari air hidup,
dikisahkan Bima membunuh dua raksasa dan membunuh seekor naga, lalu berjumpa
dengan dewa bajang bernama Dewa Ruci yang serupa dengan Bima, kemudian dia
diperintahkan masuk ke dalam rahim Dewa Ruci [Binawiratma, 1977, hlm. 49].
Di dalam rahim
Dewa Ruci, Bima mendapat wejangan mengenai bersatunya manusia dengan Tuhan [manunggaling
kawula Gusti] dan asal dan tujuan manusia hidup sangkan paraning dhumadi].
Selesai mendapat wejangan, Bima keluar dari rahim kembali ke alam biasa dan
Dewa Ruci langsung menghilang. Kerangka cerita Dewa Ruci berisi kemistikan
mudah diduga. Penulis juga tidak berkepentingan membahas seluruh arti simbolis
yang terkandung di dalam cerita ini. Dalam kerangka cerita ini diperlihatkan,
bahwa : 1) Dorna sebagai guru wadhag,
[kelihatan secara fisik] mengantarkan Bima kepada Dewa Ruci sebagai Guru Sejati
untuk mendapatkan air hidup. Artinya, betapa pun terbatasnya guru wadhag,
dengan mengikuti petunjuk-petunjuknya, maka orang akan menuju pengalaman
bertemu dengan Guru Sejati [Banawiratma, 1977, hlm. 51]. 2) Seorang murid yang
sungguh-sungguh tekun dan berusaha sekuat tenaga mendapatkan kesempurnaan
hidup, tidak akan dibiarkan oleh Hyang Suksma; yang mencari akan mendapatkannya
[Banawiratma, 1977, hlm. 61]. 3) Perjumpaan Bima dengan Dewa Ruci memiliki
arti, bahwa manusia akan memperoleh kesempurnaan hidupnya apabila dia telah
menemukan dirinya dalam bersatunya dengan Gusti [Banawiratma, 1977, hlm. 61].
Air hidup adalah arti simbolis bahwa hakekat pertemuan manusia dengan Tuhan
adalah mengalirnya hikmat Tuhan kepada manusia [Injil Yohanes iv:4].
Membandingkan
alur cerita Dewa Ruci dalam konteks guru dan murid di Jawa, dapat dikatakan di
sini bahwa Tuhan membimbing seseorang melalui kiai-kiai guru pesantren sebagai
guru wadhag dalam pencarian Guru Sejati. Dalam hubungan air hidup yang terdapat
di dalam Injil Yohanes pasal 4 hanya sebatas analogi saja, mengingat keduanya
berasal dari sumber yang berbeda; yang satu berasal dari ajaran Hindu sedangkan
yang lain berasal dari ajaran Injil Kristus; yang satu diperoleh dengan susah
payah sedangkan yang lain diperoleh melalui kasih karunia Allah [William
Barclay, 2000, hlm. 233-235,].
Batara Kala. Mitos ini adalah
upaya suku Jawa mencari keselamatan dari cengkeraman mangsa, yaitu makhluk yang berasal dari dewa,
tetapi ‘salah kedaden’, yaitu Batara Kala. Ia makhluk
salah kedaden [dibuat tidak semestinya] karena berasal dari sperma Batara Guru
yang berahinya tidak kesampaian dengan Dewi Uma. Spermanya jatuh ke laut
menjadi benda menyala-nyala, embrionya berkembang menjadi anak, yakni Batara
Kala. Ia memangsa manusia yang dianggap salah kedaden juga sebagai
makanannya.
Ruwatan Sebagai
Sarana Pemulihan Kehidupan
Menurut Mulyono
dalam bukunya, kata ‘ngruwat’ berasal dari kata ruwat berarti luwar atau
lepas, dilepaskan dan dibebaskan. Jadi, meruwat berarti melepaskan atau
membebaskan atau menolak dan menghindarkan malapetaka yang diramalkan akan
menimpa diri seseorang [Mulyono, 1989, hlm. 33]. Orang yang akan diruwat
disebut sukerta, artinya orang yang memiliki kecenderungan membawa sial.
Siapakah orang
yang patut diruwat sebagai sukerta ? Ada 60 jenis sukerta yang ditentukan untuk
dimangsa oleh Batara Kala [Mulyono, 1989, hlm. 34-36]. Sukerta dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu pertama, sukerta karena kelahiran, misalnya : 1)
Ontang-anting, yaitu anak tunggal, laki-laki atau perempuan. 2) Anak Kembar,
laki-laki atau perempuan atau laki-laki dan perempuan. 3) Kresna, yaitu anak
yang dilahirkan memiliki kulit hitam. Kedua, sukerta karena memiliki
kebiasaan buruk, misalnya : 1) Orang yang suka membuang sampah lewat jendela.
2) Orang yang senang membuang sampah atau kotoran di bawah tempat tidur
[Noorsena, 2003, hlm. 176]. Kelima sukerta ini harus diruwat supaya tidak
dimangsa oleh Batara Kala. Pemahaman dimangsa di sini adalah sepanjang
hidupnya, sukerta akan mengalami berbagai malapetaka, bahkan mungkin dapat
mengancam jiwanya. Ruwatan itu berfungsi sebagai sarana pemulihan perdamaian
yang mengatasi krisis hidup manusia [Noorsena, 2003, hlm. 177].
Secara singkat
ditunjukkan di sini bagaimana prosesi ruwatan dilaksanakan, yaitu :
- pertama,
upacara siraman [semacam baptis] dengan air kembang terhadap sukerta. Acara
dilanjutkan dengan slametan.
- Kedua, pergelaran wayang selama kira-kira 3
jam dengan lakon dhalang karurungan.
Lakon wayang ini selalu ada dalam prosesi ruwatan, karena lakonnya berisi
muatan cerita bahwa manusia yang sejak lahirnya berkelakuan tidak pada
tempatnya, maka perlulah ditata kembali kelahiran dan kelakuannya pada
kedudukan yang benar. Apabila kelahiran dan kelakuannya telah ditata
sebagaimana seharusnya, Batara Kala akan menghindar tidak jadi memangsanya.
Kehidupan suku Jawa nyaris
dikelilingi kekuatiran yang tidak perlu. Jika terdapat hal-hal yang
dipandangnya berpotensi menimbulkan malapetaka, perlulah dilakukan ruwatan.
Misalnya : jika sebuah keluarga memiliki anak hanya satu, keluarga ini
berkemungkinan tidak memiliki keturunan apabila anak ini mati karena satu dan
berbagai sebab. Dengan demikian, ruwatan adalah simbol menata kembali
kedudukan kelahiran seseorang atau kelakuannya pada tempat seharusnya sehingga
beroleh keselamatan karena terbebas dari beban psikologis terkena malapetaka [Mulyono, 1989, hlm. 43].
- Ketiga, pergelaran wayang
ditunda, sementara sukerta yang diruwat ujung rambutnya dipotong sedikit oleh
ki dalang dan disimpan di dalam sapu tangan. Acara pergelaran wayang
dilanjutkan sampai selesai, kemudian guntingan rambut diserahkan kepada
sukerta.
- Keempat, dhaharan atau makan malam dilanjutkan dengan acara
pergelaran wayang kulit semalam suntuk. Semua lakon wayang boleh dimainkan,
kecuali cerita Baratayuda [orang Jawa jarang menanggap wayang dengan lakon
Baratayuda, karena mereka berkeyakinan, biasanya setelah pergelaran lakon ini
selalu diikuti peristiwa besar yang menggoncang masyarakat. Ki dalang juga
dipilih yang senior dan sudah terampil melaksanakan prosesi ruwatan]. Pendek
kata hanya lakon-lakon yang membangun kepribadian sukerta saja.
Prosesi ruwatan
selesai berarti sukerta terbebas dari beban psikologisnya, bahwa dia terbebas
dari malapetaka atau kuasa maut dimangsa oleh Batara Kala. Batara Kala sebagai
simbol kuasa maut yang selalu mengikuti dan mengancam sukerta yang belum
diruwat kini telah dipatahkan kuasanya oleh ki dalang. Ruwatan harus dipandang
sebagai keselamatan simbolis karena pada akhirnya manusia akan
mati, walaupun sukerta sudah diruwat oleh ki dalang berpengalaman sekalipun.
Inti dari ruwatan adalah kemampuan ki dalang memberi nasihat-nasihat yang
membangun dan menguatkan kepribadian sukerta melalui lakon wayang dhalang
karurungan. Inilah makna dari ruwatan, yaitu setelah diruwat selanjutnya sukerta
harus waspada menjalani kehidupan supaya tidak tertimpa malapetaka.
Penyelenggaraan
ruwatan membutuhkan biaya yang cukup besar dan beragam tergantung bagaimana
pelaksanaannya. Semakin terkenal ki dalangnya dan eksklusif, yakni hanya
lingkungan keluarga dekat atau kelompok tertentu saja, maka semakin mahal pula
biaya penyelenggaraannya. Untuk menekan biaya, biasanya ruwatan dilakukan
secara massal atau menunda ruwatan sampai memiliki biaya yang cukup, karena itu
banyak juga sukerta yang akan diruwat sudah berusia paruh baya.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar