Selasa, 09 Juli 2013

Masyarakat Dan Wajah Kebudayaan Suku Jawa

Siapa disebut suku Jawa? Geografi pulau Jawa terletak pada gugusan kepulauan di Indonesia yang terbentang dari timur sampai ke barat pada posisi 60 Lintang Utara sampai 110 Lintang Selatan dan antara 950 sampai 1410 Bujur Timur. Pulau Jawa sendiri terletak pada posisi 50 sampai 100 Lintang Selatan  dan 1050 sampai 1150 Bujur Timur, atau panjangnya kira-kira 1500 km, lebarnya rata-rata 120 km dan pulau ini adalah yang terkecil dari em­pat pulau-pulau besar lain di Indonesia, yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua Barat [Herusatoto, 2003, hlm. 37]. Pulau Jawa sekarang terbagi dalam enam provinsi, yakni : Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dulu orang menyebut Jawa Barat dengan Priangan, Jawa Tengah dan Timur biasa disebut Jawa sedangkan Jakarta dengan Batavia.   

Sejak kecil namanya, Timbul Wiyono.
Pulau ini menempati posisi strategis di antara pulau-pulau besar lainnya di Indonesia dari sejak zaman Kerajaan Mataram Hindu di Jawa, terlebih lagi sejak permulaannya bangsa Belanda datang ke pulau ini di Banten pada tahun 1596. Pada awalnya, Belanda datang ke pulau ini sebagai pedagang yang tergabung dalam organisasi dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie [VOC], yaitu Perhimpunan Usaha Dagang Hindia Timur. Tetapi kemudian mereka biasa disebut Kompeni, satu kata yang berasal dari plesetan compagnie. Pada bulan Maret 1619 Kompeni membangun kantor dagang (loji) di pelabuhan Jayakarta atas seizin Pangeran Wijayakrama yang masih bawahan dari Kesultanan Banten. Dua bulan kemudian setelah membangun loji pada tahun yang sama mereka menyerbu kraton Pangeran Wijayakrama dan di kota ini mereka mengukuhkan kekuasaan dengan membangun benteng. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia.

Kemudian dalam perkembangan kota, pemerintah membangun perluasannya ke arah selatan, terdapat permukiman-permukiman yang telah dikenal sampai sekarang,  seperti Gambir, Tanah Abang, dan Kemayoran (Jakarta Pusat sekarang); Jatinegara (Jakarta Timur sekarang, dulu Jatinegara disebut Meester Cornelis atau Meester saja); Palmerah dan Petamburan [Jakarta Barat sekarang]; sedangkan yang disebut Batavia pada zaman Coen adalah Jakarta Utara dari stasiun kereta api Jakarta Kota yang sekarang sampai ke pelabuhan Jayakarta tanpa kepulauan Seribu [Toer, 2003, hlm. 37].

Bukan saja kota mengalami perkembangan properti, komposisi penduduknya pun Batavia mengalami pertambahan ras dan suku disamping jumlah penduduknya juga semakin meningkat. Pada masa itu Kompeni mengatur tempat tinggal penduduk dikelompokkan menurut asal sukunya, terdapat nama-nama kelompok suku yang masih ada dan dikenal sampai sekarang seperti, Kampung Ambon, Kampung Melayu, Kampung Makassar, Kampung Jawa, Kampung Bali, Kampung Madura, Kampung Bugis, Kampung Banten, Kampung Bandan (seharusnya Banda), dan Pecinan di Glodok [tempat tinggal orang Tionghoa] [Toer, 2005, hlm. 48].

Para penduduk yang tinggal di sini kawin-mengawin terutama antara orang Portugis, Cina, Melayu, Jawa, Sunda, Gujarat, dan Arab sehingga muncul komunitas yang kita kenal sekarang, yakni suku Betawi [ejaan yang salah dari penyebutan kata Batavia] [Toer, 2005, hlm 48]. Akar kebudayaan dan bahasa suku Betawi juga berasal dari kelompok-kelompok ras dan suku yang membentuknya, kecenderungannya dari orang Tionghoa, terutama pada musik dan tari. Mereka biasa membakar petasan apabila mengadakan hajatan perkawinan, sunatan, dan malam takbiran. Membakar petasan adalah kebiasaan orang Tionghoa yang dipercayai dapat mengusir setan. Kebudayaan yang diadopsi dari kebiasaan orang Tionghoa ini dilakukan oleh suku Betawi semata-mata untuk meramaikan hajatan saja.

Yang disebut orang Portugis sebetulnya mereka adalah bekas budak Portugis yang telah dimerdekakan oleh tuannya, berasal dari Srilangka, Malaka, Benggala, dan Koromandel. Mereka berbahasa Portugis, pada mulanya beragama Katholik kemudian menjadi Protestan [Kristen], dan berkulit hitam; karena itu mereka disebut Portugis Hitam, tetapi tidak ada sangkut-paut keturunan berdarah Portugis. Mereka juga disebut orang Mardika, berasal dari bahasa Sansekerta Mahardika, artinya merdeka. Kemudian orang Belanda melafalkannya menjadi mardijkers.

Sedemikian pentingnya nilai pulau Jawa dibandingkan pulau-pulau besar yang lain, Kompeni berkepentingan menguasai semua pelabuhan di sepanjang pesisir utara pulau Jawa, mengontrol laut Jawa dan membangun Semarang sebagai Komando Wilayah Militer kedua setelah Batavia.  

Menjelang berakhirnya abad XVIII telah terjadi perubahan politik di negeri Belanda. Pertama, perserikatanan dagang Hindia Timur atau VOC dinyatakan bangkrut oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dan semua aset dan wilayah jajahannya di Indonesia menjadi milik Kerajaan Belanda kemudian disebut Hindia Belanda. Meskipun telah berganti tuan, sampai puluhan tahun kemudian orang masih menyebut mereka sebagai Kompeni. Kedua, pengaruh Revolusi Perancis melanda seluruh daratan Eropa dan Belanda menjadi salah satu wilayah taklukan Perancis.   

Untuk mewujudkan nilai strategisnya pulau ini, maka di pulau ini dibangun Jalan Raya Pos terbentang dari Anyer di Banten sampai ke Panarukan di Jawa Timur sepanjang 1000 km., dan dari Batavia ke Cirebon melingkar melalui Bogor, Cianjur, Cimahi, Bandung, dan Sumedang. Sebetulnya kata yang tepat untuk proyek jalan ini adalah direhabilitasi, yaitu diperlebar dan diperkeras. Jalan ini memang sudah ada sebelumnya, tetapi kurang memadai bagi kepentingan Kompeni. Pada jalan ini, setiap jarak 150,960 meter didirikan paal atau tanda jarak. Semula dari Anyer ke Batavia memakan waktu sampai empat hari, tetapi setelah jalan ini direhabilitasi hanya membutuhkan satu hari saja [pakai kereta kuda].

Jalan pos ini dibangun pada zaman Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels [1808-1811] terutama digunakan untuk kepentingan militer, yakni supaya militer Hindia Belanda bergerak lebih cepat (mobil) dalam menggerakkan pasukan di sepanjang pulau Jawa. Dulunya jalan ini juga disebut Jalan Daendels. Pada masa itu Hindia Belanda sedang terancam serbuan Inggeris, sedangkan Perancis lawan dari Inggeris sedang menguasai Belanda di Eropa sehingga Perancis melalui Louise Bonaparte, Raja Belanda, adik dari Napoleon Bonaparte berkepentingan untuk mempertahankan pulau Jawa dari serbuan Inggeris. Namun, akhirnya Belanda harus takluk juga atas serbuan Inggeris dibawah pimpinan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles pada tahun 1811, belum setahun setelah Daendels digantikan oleh Gubernur Jenderal J.W. Janssens. Sungguh ironis, Belanda bersusah payah membangun jalan raya ini, justeru Inggeris yang menggunakannya untuk kepentingan militer mereka. Inggeris mendesak Belanda dari Batavia sampai ke Semarang dan menyerah di sini.

Jalan ini dibangun dengan linangan air mata dan darah belasan ribu rodi yang dikerahkan untuk membangunnya. Mereka mati bergelimpangan di sepanjang jalan ini seperti tikus karena kelelahan, kelaparan, dan penyakit malaria, bahkan tidak sedikit perwira dan serdadu Kompeni yang mengawasi para rodi ini juga tewas terserang penyakit malaria [Toer 2005, hlm. 132]. Sebagian besar topografi jalan ini dibangun di sepanjang pantai yang masih banyak rawanya. Sebanding dengan jalan raya ini, di Eropa juga pernah dibangun jalan raya antara Paris sampai Amsterdam dan sangat terkenal pada masanya.

Jalan Daendels ini sampai sekarang masih ada dipakai sebagai salah satu sarana transportasi penting di pulau Jawa. Sekarang, setiap tahun kira-kira dua minggu sebelum Hari Raya Iedul Fitri jalan raya ini dipadati oleh lalu lintas kendaraan bermotor orang-orang yang hendak pulang ke kampung halaman masing-masing untuk merayakan hari raya tersebut.

Pulau ini termasuk pulau Madura dihuni oleh banyak suku antara lain Sunda, Betawi, Jawa, Madura, Samin dan Tengger; dua yang terakhir masih satu garis ketu­runan dengan suku Jawa, orang Samin  bertempat  tinggal  di sekitar Blora, Jawa Te­n­gah, sedangkan orang Tengger di dataran tinggi Bromo, Jawa Timur. Bahasa-bahasa yang dipakai adalah Sunda di Jawa Barat, terutama wilayah tengah sampai ke sela­tan; bahasa Betawi yang masih rumpun bahasa Melayu dipakai oleh orang Betawi [sekarang Jakarta]; bahasa Madura dipakai bukan saja di pulau Madura, tetapi juga banyak digunakan oleh orang-orang yang tinggalnya di daerah pesisir utara Jawa Timur, dari Pasuruan sampai Situbondo. Bahasa Jawa dalam berbagai dialek yang biasa disebut bahasa Jawa pinggiran digunakan di pesisir utara pulau Jawa, yaitu di Banten, Cirebon, Tegal sampai Sema­rang dan se­kitarnya.

Namun, bahasa Jawa dalam pengertian tata bahasa dan tata krama pemakaian yang baku digunakan sehari-hari adalah bahasa Jawa yang digunakan oleh orang Jawa Tengah dan Timur yang berdomisili terutama dari daerah tengah ke selatan, yakni dari Banyumas sampai Malang. Bahasa menunjukkan jati diri satu suku bangsa, bahasa Jawa dalam pemakaiannya menekankan tingkat-tingkat strata sosial pemakainya. Misalnya, gaya bahasa kasar [ngoko], agak halus [kromo madya], dan halus [kromo nginggil]. Karena itu, dari cara pemakaian gaya bahasanya dapat di­jadikan barometer tata krama dan bobot status sosial seseorang. Yogyakarta dan Surakarta adalah tempat sentral kebudayaan Jawa. Jadi, yang disebut suku Jawa adalah orang yang sejak kecil menggunakan bahasa ibunya adalah bahasa Jawa dalam pengertian tersebut di atas dan bertatakrama Jawa [Suseno, 1988, hlm. 11]. Orang Samin rata-rata menggunakan bahasa Jawa ngoko. Orang Tengger di dataran tinggi Bromo meng­gunakan bahasa Jawa yang masih bercampur dengan bahasa Jawa kuno [pada masa Hindu] [Machmud, 2003, hlm. 142].

Suku Jawa adalah masyarakat agraris yang lebih banyak tinggal di pedesaan yang sangat bergantung kepada siklus alam, yaitu waktu menanam dan menuai, musim penghujan dan kemarau. Mereka menanam padi di sawah basah yang membutuhkan banyak air dan membutuhkan irigasi yang efisien dan efektif sehingga tidak mengganggu para tetangganya yang juga sama-sama membutuhkan air irigasi. Satu pekerjaan yang dilakukan selama ratusan tahun yang membentuk karakter suku Jawa menjadi orang yang disiplin dan memiliki penguasaan diri. Baik dalam dinasti Mataram Hindu maupun Mataram Islam, kultur agrarisnya adalah beras. Karena itu suku Jawa sangat menghargai beras sebagai makanan pokok mereka [Akerren, 1995, hlm. 5].

Suku Jawa dibagi dalam tiga kelompok sosial, yaitu pertama, kelompok orang kecil (wong cilik), terdiri dari petani di desa dan buruh berpenghasilan rendah di kota-kota; kedua, kelompok priyayi atau orang besar [wong gedhe], terdiri dari birokrat, dokter, guru, intelektual, seniman dan semua pekerjaan yang lebih banyak menggunakan kehalusan rasa dan pikiran; ketiga, kelompok ningrat, yaitu kelompok minoritas yang lebih eksklusif pada lingkaran kekuasaan kraton. Kelompok kedua dan ketiga terdapat perbedaan kecil saja, karena pada kelompok kedua juga tidak sedikit berasal dari keluarga ningrat. Kondisi ekonomi kelompok priyayi dan ningrat, jelas lebih baik dibandingkan dengan kelompok orang kecil [Partonadi, 2001, hlm. 13; Suseno, 1988, hlm. 11]. Disamping itu, ditinjau dari sudut keagamaan, suku Jawa dibagi dua kelompok, yaitu abangan dan santri; kedua kelompok ini secara nominal menyatakan bahwa mereka beragama Islam, tetapi kelompok pertama kesadaran menjalankan ritual keagamaannya lebih condong dipengaruhi oleh kepercayaan lokal (animisme/dinamisme), sedangkan kelompok kedua memiliki kesadaran dan usaha menjalankan dengan sungguh-sungguh syariat Islam [Suseno, 1988, hlm. 13].

Pada tahun 1960, Clifford Geertz membagi strata sosial suku Jawa dalam tiga kelompok, yaitu : abangan, santri dan priyayi [Geertz, 1983, hlm. 13]. Cukup beralasan baik menurut Suseno maupun Mulder berkeberatan dengan pembagian ini, karena Geertz mengabaikan fakta, bahwa : 1) Abangan itu bukan menunjukkan strata sosial, melainkan tingkat atau kadar religiositas seseorang. 2) Ia mendefinisikan kelompok-kelompok tersebut dalam deskripsi yang mutlak seakan-akan tidak ada intraksi satu sama lain. Di Yogyakarta kiranya banyak dijumpai orang Jawa yang sungguh-sungguh menjalankan syariat agama Islam dan mereka cukup memenuhi syarat disebut santri menurut deskripsi Geertz. Namun, mereka juga banyak yang terlibat langsung dengan kegiatan orang abangan, seperti mengikuti acara kenduren atau slametan, membicarakan tentang wayang purwa dan mengunjungi makam leluhur (nyadran). Bagaimanapun juga mereka adalah suku Jawa, tetapi tidak melupakan esensinya, yaitu bersikap rukun dan hormat terhadap orang lain [Mulder, 1985, hlm. 17-18]. Kelompok santri juga bukan hanya berasal dari orang kebanyakan, tetapi ada juga dari kalangan priyayi dan ningrat [Djamhari, 2004, hlm. 36].

Sampai dekade 60-an, melalui nama yang disandang oleh seorang Jawa, maka tidak sulit untuk menebak dari kelompok sosial mana dia berasal, apakah dia seorang santri atau abangan, apakah dia dari daerah pesisir atau dari pedalaman. Beberapa contoh memberi indikasi yang cukup masuk akal. Misalnya : 
  • Orang yang berasal dari daerah pesisir, orang kecil dan sebagai santri banyak yang menggunakan nama yang kearab-araban, seperti Mutalib, Abdullah, Khodijah, Khotimah. 
  • Orang yang berasal dari daerah pesisir, orang kecil dan abangan menggunakan nama yang kearab-araban dialek Jawa, seperti Ngabdullah (berasal dari Abdullah), Kolil (berasal dari Kholil), Dulkamid (berasal dari Abdul Khamid). 
  • Orang yang berasal dari desa pesisir atau pedalaman menggunakan nama Jawa yang pendek, seperti Gimin, Simin, Radin, Ngatimin, Ngatinah, Ngatinem. 
  • Orang yang berasal dari pedalaman, ningrat/priyayi dan santri atau bukan tetap menggunakan nama gaya Jawa, yakni panjang serta mengutamakan makna nama yang disandangnya, seperti Subagio Hadikusumo, Bambang Wijanarko, Widodo Harto, Joko Widagdo. Jika dia memiliki gelar di depan namanya semisal Raden Mas, dia dipanggil sebagai Raden Mas (R.M.) Subagio Hadikusumo, sebuah nama yang merefleksikan sangat Jawa. Namun, Bendara Aria Pangeran Dipanegara hanya satu kekecualian. Ia berasal dari kalangan kraton tulen, anak Sultan Hamengkubuwono III, tetapi dia bangga menyebut dirinya adalah Ngabdulkamid [Djamhari, 2004, hlm. 36]. 
  • Orang yang berasal dari pesisir atau pedalaman dan telah dibaptis menjadi Kristen, biasa namanya ditambahi nama baptis di depan nama kecilnya, seperti Daniel Suprawata, Amos Wahyudi, Ayub Waluya dan lain seterusnya [Geertz, 1983, hlm. 61; Akkeren, 1995, hlm. 99].

Tidak pernah dijumpai seorang pekerja kasar namanya demikian, Bambang Widagdo Hadikusumo atau Widodo Harto, karena lingkungannya menganggap, dirinya itu kaboten jeneng [terlalu berat menyandang nama besarnya] [Geertz, 1983, hlm. 61]. Partonadi mengatakan di dalam bukunya bahwa :
Di masa  lalu, khususnya nama adalah bagian yang mempunyai makna sangat penting dalam budaya Jawa. Orang Jawa membedakan dua nama, yakni ‘nama kanak-kanak’, nama yang diberikan segera setelah kelahiran, dan ‘nama dewasa’, nama yang diberikan pada saat seseorang menikah atau untuk seorang priyayi ketika memperoleh kedudukan yang lebih tinggi [Partonadi, 2001, hlm. 81].

Orang tua berpengharapan, anaknya menjadi seperti arti nama yang diberikan kepada anaknya. Kadang-kadang orang tua mengganti nama anaknya karena bermacam-macam alasan. Misalnya, jika seorang anak sering sakit-sakitan, orang tuanya mungkin akan dinasehati oleh dukun untuk mengganti nama anak yang bersangkutan. Karena menurut kepercayaan Jawa, nama yang diberikan kepada anak ini mungkin terlalu berat sehingga dia menjadi keberatan beban [beban psikologis] [Partonadi, 2001, hlm. 81].

Beban psikologis ini bisa ditimbulkan karena lingkungan dan realitas hidupnya. Misalnya, nama Bambang Widagdo Hadikusumo umumnya pemiliknya adalah priyayi atau orang yang ekonominya mapan, sedangkan dia realitasnya hanyalah anak buruh tani atau kuli kasar saja. Jelas, dengan kondisi seperti ini, lingkungannya mungkin akan menertawakannya. Karena itu, sebuah nama yang sesuai terhadap lingkungan dan realitasnya akan membuat pemilik nama merasa tentram hatinya.

Nama juga perlu diganti atau ditambah apabila ada peristiwa penting yang mengiringi hidupnya. Misalnya, pada masa kanak-kanaknya bernama Gimin, tetapi ketika sudah dewasa setelah pulang dari naik haji, dia merasa perlu menambahkan nama ‘Muhammad’ sehingga namanya menjadi Muhammad Gimin, supaya para tetangganya pada tahu bahwa dia adalah sungguh seorang Muslim. Jika seorang ningrat kedudukan gelarnya meningkat, hal ini menunjukkan bahwa kedudukan sosial dan ekonominya juga meningkat lebih tinggi, namanya perlu diganti atau nama yang lama ditambahi dengan nama baru.

Demikianlah, orang Jawa menyatakan identitasnya melalui namanya dengan pertimbangan lingkungan keagamaan, sosial dan ekonominya, di satu sisi pemilik nama merasa tidak kaboten jeneng, pada sisi yang lain ada yang memiliki kebanggaan terhadap bobot nama yang disandangnya [pada 1972, di Palembang ada seorang guru Injil dari Klaten, Jawa Tengah, berkata kepada penulis, bahwa dia bangga dengan nama yang diberikan oleh orang tuanya. Arti namanya adalah ‘harta keselamatan’. Injil Kristus adalah Harta Keselamatan untuk manusia. Orang tuanya mengharapkan, supaya dia membagikan harta ini kepada setiap orang. Guru Injil ini namanya adalah Widodo Harto]. Secara umum nama-nama yang digemari dengan bobot yang sedang saja adalah : 1) Untuk  laki-laki seperti,  Bambang, Slamet, Joko, Sutoyo, Heru, dan Sugiono. 2) Untuk perempuan seperti,  Endang, Sulistiorini, Sri, Sundari, Handayani, dan Nugrahani [Geertz, 1983, hlm. 61].

Namun, menjelang berakhirnya abad XX pada saat kebangkitan Islam semakin berkembang di negara ini, semakin banyak anak Jawa dari pedalaman menggunakan nama yang Islami. Tiga contoh berikut adalah nama bercorak Islam, yakni : 
  • Arab-Jawa seperti, Bambang Suhud, Wahab Warsito, dan Iwan Ramadhan. 
  • Jawa kearaban seperti, Joko Lutfianto, Dian Fitrianti, dan Endang Rahmadhani. 
  • Seluruhnya Arab seperti, Hidayat Nur Wahid, Fattah Hidayat, Farhan Ibrahim, Mustaqimah Maisyaroh dan Nurul Huda. 

Dengan pertumbuhan keislaman suku Jawa dewasa ini, maka tidak semudah dulu lagi dalam mengidentifikasi asal-usul mereka hanya melalui nama yang mereka pergunakan. Terlebih lagi apabila ada yang menggunakan sepenuhnya nama Arab.

Kerajaan Hindu di Pulau Jawa. 
Di Pulau Jawa terdapat dua kerajaan Hindu, yakni Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat dan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah kemudian dilanjutkan di Jawa Timur. Raja-raja Hindu di Kerajaan Pajajaran menjaga kerukunan baik urusan internal maupun dengan kerajaan lain. Apabila kerajaan Hindu di di Jawa Tengah dan Timur sering bertikai urusan perebutan warisan takhta, hal itu tidak pernah terjadi di Pajajaran. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit pernah dilakukan upaya kontak diplomatik dengan Kerajaan Pajajaran. Namun, upaya ini mengalami kegagalan total akibat kesalahpahaman kedua belah pihak. Raja Pajajaran yang terkenal adalah Prabu Siliwangi. Kerajaan Pajajaran runtuh ditaklukkan oleh Kesultanan Demak yang beragama Islam pada tahun 1526 [Mulyana, 2005, hlm. 222].

Kerajaan Mataram mengalami dua masa, yaitu masa Hindu dan masa Islam dalam rentang waktu sampai lebih kurang delapan abad. Pada masa Hindu disebut Mataram Hindu kemudian pada masa Islam disebut Mataram Islam. Kerajaan Mataram baik pada masa Hindu maupun pada masa Islam memiliki hegemoni dan pengaruh yang lebih luas diseluruh Nusantara dibandingkan dengan Kerajaan Pajajaran. Memang terdapat kerajaan-kerajaan dengan nama seperti, Kediri, Singasari, dan Majapahit, tetapi sistem pemerintahan di dalamnya tetap Mataram Hindu. Pada masa Islam tetap menggunakan nama Mataram karena sebagian tradisi Hindu dari pendahulunya masih dijalankan di lingkungan kraton walaupun secara formal mereka adalah pemeluk Islam. Disamping itu masih terdapat idealisme mewujudkan kejayaan yang pernah ada dalam dinasti Mataram Hindu dalam wujud yang baru, yaitu bercorak Islam.

Kerajaan Mataram Hindu [700-1527]
Kerajaan Mataram Hindu dibangun dan dibesarkan oleh Sanjaya pada abad VIII. Tidak lama kemudian, Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan dari dinasti Syailendra yang beragama Buddha melakukan ekspansi sampai ke Jawa Tengah. Pada masa Syailendra dibangun banyak candi untuk pemujaan terhadap Buddha, diantaranya adalah Borobudur yang termashur di seluruh dunia dibangun oleh Samarottungga. Masa kekuasaan dinasti Syailendra berakhir pada akhir abad IX, sesudah itu Mataram yang beragama Hindu dibawah Rakai Pikatan bangkit memerintah lagi di seluruh Jawa Tengah. Pada masa pemerintahannya dibangun candi pemujaan terhadap Syiwa di desa Prambanan, yaitu candi Roro Jonggerang yang terkenal sampai sekarang.

Pada abad X Mataram diperintah oleh Sindok pendiri dinasti Isyana. Karena alasan politik dan ekonomi, dia kemudian memindahkan kerajaan secara bertahap ke Jawa Timur, terletak kira-kira di sebelah barat lembah sungai Brantas. Proses pindah lokasi kerajaan ini dipercepat karena gunung Merapi meletus pada tahun 929. Pemindahan lokasi kerajaan ini memang tepat ditinjau dari sudut ekonomi dan politik, karena : 
  • Hubungan ekonomi antar wilayah di Nusantara dan antar negara dapat memiliki akses yang cepat melalui sungai Brantas yang bermuara di Surabaya. Pada waktu itu baik kedalaman maupun kelebarannya, sungai Brantas dapat dilalui oleh perahu layar berbobot sampai 10 ton. 
  • Dari sudut politik akses yang cepat ke laut melalui sungai Brantas menunjukkan Kerajaan Mataram melakukan upaya supaya lebih eksis di arena internasional. Raja Mataram yang terkenal setelah Sindok adalah Airlangga. Pada akhir masa pemerintahannya, Mataram dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kediri dan Kahuripan. Pada akhirnya Kahuripan takluk dibawah Kediri.

Pada abad XII, Jayabaya berkuasa di Kediri. Raja ini terkenal dengan ramalannya, yaitu di pulau Jawa akan timbul kekacauan dan penderitaan rakyat luar biasa, tetapi kemudian datang Ratu Adil yang akan mem­bawa keadaan damai sejahtera. Ramalan ini menjadi sumber inspirasi dan impian mesianis orang Jawa terutama sepanjang abad XIX [Suseno, 1988, hlm. 26]. Raja Kediri terakhir adalah Kertajaya yang mati dibunuh oleh Ken Arok pada pertempuran di desa Ganter [Wasis, 2004, hlm. 93].

Pusat kerajaan dipindahkan ke Singasari dan Ken Arok menjadi Raja Singasari pertama [Berg, 1985, hlm. 11]. Raja Singasari terkenal setelah Ken Arok adalah Kertanegara. Pada masa pemerintahan Kertanegara, Kubilai Khan dari Mongol memperluas wilayahnya sampai ke Nusantara. Kertanegara yang sedang bersiaga menghadapi Mongol tidak menyangka, dia dibunuh oleh Jayakatwang, Raja Kediri. Bersama tentara Mongol yang mendarat di kota Tuban, Raden Wijaya, menantu Kertanegara menyerang Kediri dan berhasil membunuh Jayakatwang melalui tangan tentara Mongol. Setelah berhasil menghalau tentara Mongol, Raden Wijaya menobatkan diri sebagai Raja Majapahit. Raja Majapa­hit yang terkenal adalah Hayam Wuruk. Setelah Hayam Wuruk wafat, Majapahit mengalami perang saudara memperebutkan takhta yang pada akhirnya semakin melemahkan kerajaan.

Perang Parereg adalah perang saudara terbesar antara Majapahit dengan kerajaan bawahannya di ujung timur Jawa Timur, yakni Blambangan. Suhita, cucu perempuan Hayam Wuruk, raja Majapahit keturunan terakhir dari Raden Wijaya berperang dengan Wirabumi, Raja Blambangan, pamannya sendiri, anak Hayam Wuruk dari keturunan selir. Dalam perang ini, Blambangan dikalahkan oleh Majapahit. Dan sebagai hukumannya, kepala Wirabumi dipenggal. Perang ini meninggalkan romantisme terdalam pada sebagian besar suku Jawa sehingga diwujudkan dalam cerita rakyat yang sangat terkenal, yakni Damar Wulan dan Minak Jinggo [Mulyana, 2005, hlm. 24].

Memasuki abad XV Majapahit mengalami ke­munduran lebih cepat dengan masuknya Islam ke Jawa. Pada tahun 1478 raja terakhir Majapahit, Kertabhumi ditaklukkan oleh Raden Patah dari Kesultanan Demak [Syamsudduha, 2004, hlm. 120]. Sejak itu walaupun Majapahit masih tetap eksis, statusnya hanya sebagai wilayah bawahan Demak.

Adapun Kota Malaka di Semenanjung Melayu sejak abad XV telah dikuasai oleh Portugis. Letaknya yang strategis menjadikan kota ini transit terpenting di Selat Malaka antara Eropa dan Cina. Portugis adalah saingan utama dan musuh Demak dalam perdagangan rempah-rempah di Nusantara sampai ke Cina dan sekitarnya. Pati Unus, putera pertama Raden Patah telah dua kali melakukan penyerbuan ke Malaka, yakni tahun 1512 dan 1521, tetapi keduanya gagal sebelum kapal-kapal Demak mencapai Malaka. Meriam-meriam Portugis dari benteng A-Famosa yang memiliki jarak tembak sampai jauh ke lepas pantai menghancurkan kapal-kapal Demak. Demak mengawasi dengan ketat semua wilayah maritim bawahannya supaya tidak berhubungan langsung dengan Portugis. Tidak lama setelah penyerbuan Demak terhadap Malaka yang kedua kalinya, Pati Unus wafat karena sakit.

Pada tahun 1527 Majapahit diserbu oleh Demak untuk kedua kalinya, karena Majapahit kedapatan melakukan konspirasi politik dan ekonomi dengan Portugis. Penyerbuan yang kali ini dilakukan oleh Trenggono, putera kedua Raden Patah adalah klimaks penguasaan Jawa Tengah dan Timur oleh Islam terhadap eksistensi Mataram Hindu. Pen­duduk Majapahit yang menolak agama Islam menyingkir ke Bali dan Tengger di dataran tinggi Bromo sampai sekarang [Woordward, 2004, hlm. 368].

Setelah Raden Patah wafat pada tahun 1518 Demak mulai melemah, karena keturunannya saling menumpahkan darah berebut takhta kerajaan. Arya Penansang dari Jipang adalah cucu Raden Patah tewas ditangan Mas Karebet alias Jaka Tingkir, menantu Trenggono dan dia adalah cucu adipati Pengging, Jayaningrat yang masih keturunan dekat kerabat keraton Majapahit. Dengan tewasnya Arya Penansang, maka berakhirlah kekuasaan politik Demak dan dinasti yang dibangun oleh Raden Patah. Boleh dikatakan keturunan raja Majapahit tetap mencari kesempatan untuk membalas dendam terhadap keturunan Raden Patah dan berupaya mengembalikan kejayaan Mataram Hindu [Mulyana, 2005, hlm. 113].   

Pengging terletak di sebelah barat Surakarta semula adalah wilayah bawahan Majapahit, tetapi pembesar-pembesar di sini walaupun telah memeluk agama Islam secara diam-diam masih menjunjung kesetian terhadap Majapahit. Orang-orang Demak memeluk agama Islam yang diajarkan oleh Raden Patah beraliran Hanafi (bagian dari mazhab Sunni), sebaliknya orang-orang Pengging memeluk agama Islam yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar beraliran Syiah yang lebih bertoleransi terhadap tradisi suku Jawa pedalaman pada saat itu. Aliran Syiah tidak melarang pemujaan arwah leluhur, berziarah ke makam leluhur, bersemadi, dan memandikan pusaka-pusaka kraton. Karena ada kesejajaran dogmatik atau berpikir antara kepercayaan lama [baca : Hindu Jawa] dan Islam Syiah, ajaran Syekh Siti Jenar ini diterima oleh suku Jawa di Pengging [Mulyana, 2005, hlm. 253-254].

Setelah kekuasaan politik Demak sirna, Jaka Tingkir memindahkan kerajaan ke Pajang (letaknya di sekitar Klaten), membangun kraton di sini dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Adiwijaya. Pada tahun 1575, ketika Pajang melemah, maka Ngabehi Loring Pasar alias Sultan Sutawijaya yang menjadi bupati di Yogyakarta melepaskan diri dari Pajang kemudian mendirikan Kerajaan Mataram bercorak Islam dan menjadikan Kota Gede sebagai ibu kota kerajaan [bekas kraton Mataram ini terletak beberapa kilometer dari Yogyakarta. Kota Gede sekarang dikenal sebagai bagian dari kota wisata Yogyakarta tempat kerajinan logam perak].

Kerajaan Mataram Islam [1575-1755]
Zaman Mataram Islam adalah awal digunakannya bahasa Jawa yang digunakan oleh orang Jawa seperti tersebut di atas pada posting ini juga. Bahasa yang digunakan sebelumnya juga bahasa Jawa, tetapi masih bercampur dengan bahasa Jawa kuno pada masa Hindu [Jawa Kawi] [Banawiratma, 1977, hlm. 29]. Walaupun sudah memasuki era Islam, sebagian kebiasaan atau tradisi pada zaman Mataram Hindu masih berlangsung di lingkungan kraton. Raja Mataram yang terkenal pada masa Islam ini adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo [1613-1645].

Pada masa pemerintahannya, Kompeni sedikit demi sedikit melakukan gangguan kedaulatan Mataram. Ia telah dua kali menyerang Kompeni langsung ke Batavia melalui jalan darat [1628 dan 1629], tetapi kedua serangan ini tidak pernah berhasil [Woodward, 2004, hlm. 15]. Serangan melalui laut tidak memungkinkan dilakukan karena Mataram tidak mempunyai kekuatan maritime dan perairan laut Jawa sendiri sepenuhnya dikendalikan oleh kapal-kapal VOC.

Setelah Sultan Agung wafat banyak pertikaian di dalam kraton yang banyak dipicu oleh campur tangan Kompeni untuk kepentingan perluasan kekuasaan monopoli perdagangan. Karena keuangan kerajaan sedang kosong, Mataram terpaksa menyewakan seluruh pelabuhan di pesisir utara kepada Kompeni. Tindakan ini sama dengan mengisolasi Mataram terhadap dunia luar dan semakin tergantung dengan Kompeni. Konflik internal di dalam kraton antara pro-kontra penguasaan atas seluruh pelabuhan di pesisir utara oleh Kompeni tidak terhindarkan lagi. Perang saudara terbuka berlangsung selama delapan tahun antara Mangkubumi dan Pakubuwana III. Kraton sendiri berturut-turut telah dipindahkan ke Kartasura dan kemudian ke Surakarta [Kartasura terletak antara Yogyakarta dan Surakarta, kira-kira sepuluh kilometer dari Surakarta]. Pada tahun 1755 Kompeni memfasilitasi Perjanjian Giyanti yang mengakhiri perang saudara ini sekaligus mengakhiri kejayaan Mataram Islam, karena kerajaan ini dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta yang lebih condong kepada Kompeni [Woodward, 2004, hlm. 20]. Selanjutnya Mangkubumi menjadi Hamengkubuwana I.

Pada abad XIX, Kerajaan Belanda mengambil alih semua aset dan hutang termasuk daerah jajahan Kompeni, karena perusahaan ini pada akhir abad XVIII telah dinyatakan bangkrut oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Gaya hidup para birokrat [pegawai] organisasi dagang ini membuat mereka harus berupaya mendapatkan tambahan. Tambahan apa yang mudah dilakukan oleh pegawai-pegawai VOC untuk menutupi kekurangan gaji mereka selain dengan cara korupsi dan penyalahgunaan jabatan, misalnya melakukan kolusi dengan penguasa-penguasa pribumi. Korupsi telah berlangsung selama bertahun-tahun di dalam tubuh organisasi dagang ini menyebabkan keuangan perusahaan jatuh. VOC sering dipelesetkan menjadi vallen on der corruptie, artinya jatuh [bangkrut] karena korupsi. Perhimpunan usaha dagang ini tak tertolong lagi, bangkrut karena korupsi sistematis di dalam tubuhnya. Pangambilalihan aset dan jajahan Kompeni kepada Pemerintah Belanda adalah permulaan Nusantara dibawah penjajahan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pandangan Dunia Jawa
Setelah memahami keberadaan suku Jawa selama lebih sepuluh abad mengalami akumulasi selektif berbagai kebudayaan, yang lama tetap berlangsung, sementara yang baru diterima selama ada kesesuaian dengan kebudayaan yang lama, maka sampailah pada satu realitas pemikiran bahwa berbagai kebudayaan yang terserap itu terakumulasi membentuk satu pandangan dunia Jawa yang pada umumnya disebut Kejawen [Mulder, 1985, hlm. 17].

Kejawen atau Kejawaan [Javanism] bukan menunjukkan identitas agama atau kadar religiositas agama [bukan agamanya suku Jawa menurut Geertz], melainkan lebih menunjukkan sistem berpikir atau  kebijaksanaan suku Jawa [Mulder, 1985, hlm. 17]. Kejawen adalah himpunan kepustakaan Jawa yang lengkap dan ruangannya masih memungkinkan untuk diisi terus selama ada yang baru untuk dimasukkan ke dalamnya. Unsur-unsurnya adalah sebagian besar ajaran-ajaran Hindu, Buddha, dan kepercayaan lokal yang mengendap, semakin kental dan semakin koheren dalam pikiran suku Jawa secara turun-temurun selama ratusan tahun [Suseno, 1988, hlm. 82-83]. Ajaran Islam melalui sufisme juga ikut memberi andil merembes ke dalam Kejawen [Woodward, 2004, hlm. 115-116].

Kelompok priyayi tradisional atau ningrat dapat dikatakan Jawa Kejawen, walaupun mereka secara resmi mereka menyebut beragama Islam. Kraton bukan hanya sebagai pusat politik, melainkan juga sebagai pusat ajaran Kejawen. Pada hari-hari tertentu mereka berkunjung ke makam leluhur [nyadran], membersihkan pusaka nenek moyang dan memberi sesajen [Woodward, 2004, hlm. 21].

Kehidupan keagamaan suku Jawa pada umumnya tidak direpotkan oleh tetek bengek syariat seperti, doa, membaca Al Quran atau sembahyang lima waktu. Pengetahuan mereka tentang Tuhan tidak sampai menyentuh hal-hal akhirat atau eskatologis [Mulder, 1985, hlm. 23]. Mereka beranggapan semua agama itu mengajarkan kebajikan, asal sudah berbuat kebaikan terhadap sesama, itu diartikan semua baik di hadapan Tuhan [Subandrijo, 2000, hlm. 239]. Kehidupan manusia adalah satu kesatuan eksistensi yang mengikuti hukum kosmis, yaitu ukum pinesthi yang menyatakan bahwa setiap eksistensi jalan hidupnya telah ditetapkan, dia hanya tinggal melakukan saja dan tinggal nrimo saja hasilnya. Nrimo (menerima) artinya orang harus menyadari keadaan takdir terhadap dirinya yang tidak dapat dihindari, walaupun itu tidak diharapkan [Mulder, 1985, hlm. 25].

Pusat religi suku Jawa adalah slametan. Slametan adalah  acara makan bersama secara seremoni dipimpin oleh seorang modin [pekerja masjid] membaca doa singkat dalam bahasa Arab. Tujuan slametan adalah menghendaki keadaan menjadi slamet, yaitu suatu kegiatan akan dilakukan di satu tempat, maka kegiatan tersebut diharapkan tidak menimbulkan kemalangan kepada sembarang orang [Geetz, 1983, hlm. 13]. Setiap aspek kehidupan tidak lepas dari ritus slametan, karena setiap kegiatan yang diharapkan mendatangkan keadaan slamet harus dilakukan slametan, seperti kelahiran, memberi nama, mengganti nama, memindahkan rumah, dan lain-lain. Slametan juga berfungsi sebagai pengikat tali silaturahmi, karena yang diundang oleh pemilik hajat adalah semua tetangga laki-laki, terutama sedesa tidak peduli strata sosialnya apa [Geertz, 1983, hlm. 13]. Dalam acara slametan ini yang penting adalah semua tetangga hadir sebagai ungkapan solidaritas mengharapkan keadaan slamet.

Puncak ajaran kejawen adalah ngelmu kebatinan, yaitu satu usaha pribadi dan berorientasi pada diri sendiri untuk memahami hakekat kehidupan (sangkan paraning dhumadi) dan mencapai satu kesatuan dengan Sang Khalik [manunggaling kawulo-Gusti]. Laku kebatinan adalah puasa, mengendalikan gerak dan meditasi [Suseno, 1988, hlm. 96]. Dalam pandangan ngelmu kebatinan wahyu bisa datang setiap waktu pada saat bermeditasi [Woodward, 2004, hlm. 247]. Karena itu, ada saja pada perioda tertentu [biasanya pada saat situasi dan kondisi masyarakat sedang kacau], muncul orang yang mengaku menerima wahyu Ratu Adil untuk melakukan pembaruan di dalam masyarakat [Kartodirdjo, 1984, hlm. 15]. Dalam impian suku Jawa yang mengharapkan hadirnya sang mesias, Ratu Adil diyakini membawa masyarakat kearah kehidupan yang damai sejahtera, maka tokoh keagamaan yang dianggap kharismatik segera menarik perhatian masyarakat, seperti Pangeran Dipanegara, HOS Tjokroaminoto, dan Kartosoewirjo. Semua gerakan kebatinan pada dasarnya adalah gerakan mesianis sepanjang zaman [Kartodirdjo, 1984, hlm. 15].

Wayang dan Kaitannya dengan Suku Jawa
Satu sumber kebudayaan yang sangat dikenal oleh suku Jawa dari berbagai strata sosial sebagai pengejawentahan Kejawen, adalah wayang. Wayang berkemampuan menjelaskan berbagai fenomena di dalam masyarakat termasuk di dalamnya konteks hubungan guru dan murid yang terobsesi mencari kebenaran sejati. Wayang adalah pertunjukan bayang-bayang dari satu obyek benda yang tersorot oleh cahaya lentera yang disebut blencong, di mana bayang­an obyek benda tersebut [wayang] jatuh ke layar putih yang di sebut kelir [Mulyono, 1989, hlm. 53]. Pertunjukan wayang adalah lakon yang melambangkan eksistensi manusia ketika masih hidup di dunia [Mulyono, 1989, hlm. 186-187].

Pertunjukan wayang bukan sekedar hiburan, melainkan sebagai upacara religius dan sebagai sarana pendidikan moral bagi penontonnya. Seseorang yang layak disebut dalang bukan hanya cakap secara teknis menggelarkan wayang, tetapi dia juga fasih menyampaikan pesan-pesan moral melalui lakon wayang yang dipentaskannya, sebagaimana seorang guru menyampaikan ajaran kepada muridnya. Karena profesi dalang menyerupai seorang guru, maka kehidupan pribadi sehari-hari seorang dalang merupakan tuntutan dari masyarakat seharusnya dapat menjadi panutan [Banawiratma, 1977, hlm. 48].

Satu figur wayang dapat menjadi idola di satu tempat, tetapi di tempat lain mungkin lain lagi yang diidolakan oleh masyarakat di situ. Proses pembelajaran melalui teladan-teladan dan contoh-contoh ajaran moral lakon wayang mempengaruhi kehidupan anak-anak Jawa pada umumnya [Anderson, 2003, hlm. 58]. Misalnya : Bima, badannya tinggi dan besar, dia tak mau kemegahan dan basa-basi, kepada siapa pun dia tidak pernah membungkuk, bicaranya selalu ngoko. Tetapi dibalik kekasaran temperamennya, dia adalah figur yang jujur, setia, gigih, dan terampil di bidang militer [Anderson, 2003, hlm. 28]. Dorna adalah seorang resi atau guru pertapa yang ahli dalam ilmu militer, tetapi memiliki tabiat buruk, yaitu suka menghasut dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan [Anderson, 2003, hlm. 43].

Anak-anak Jawa mematut-matut diri mereka dengan tokoh wayang yang diidolakannya, biasanya yang berperangai sopan, sakti dan bijak seperti Kresna. Belum pernah terdengar ada anak-anak Jawa mau dibandingkan seperti Dorna, kendatipun kelakuannya seperti Dorna. Lebih baik dibandingkan dengan Karna, walaupun di pihak musuh tetapi dia adalah figur ksatria sejati. 

Banyak mitologi Jawa ikut mewarnai lakon-lakon pewayangan yang sudah baku dalam epos Baratayuda sehingga lakon-lakon pewayangan semakin beraneka ragamnya sedangkan di negara asalnya, yaitu India tidak pernah ada. Misalnya : Petruk Menjadi Raja dan Sri Mulih. Tokoh Semar yang biasa bersama Petruk, Gareng, dan Bagong pun tak ada dalam epos ini.

Mitologi Jawa
Definisi mitologi adalah satu bentuk sastera yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus dalam suatu kebudayaan [Hasan Alwi, hlm. 749]. Mite adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa [Hasan Alwi, hlm. 749]. Banyak mite yang kemudian dimitoskan oleh suku Jawa.

Mitos mewarnai sebagian besar kehidupan suku Jawa, karena sistem berpikir suku Jawa dalam menanggapi terhadap semua fenomena alam dan masyarakat selalu dikaitkan dengan kegaiban. Karena itu mitos-mitos yang berkembang di Jawa juga berkaitan dengan kepercayaan atau keyakinan terhadap kegaiban [Endraswara, 1993, hlm. 193]. Dalam mitos tidak dituntut fakta, karena zaman mitos tidak terikat oleh batas-batas dunia riil. Kebanyakan mitos di Jawa bermula dari cerita rakyat yang disampaikan secara lisan. Awalnya mungkin mitos ini milik satu tempat tertentu saja, katakan saja desa, tetapi lama-kelamaan disampaikan secara lisan akhirnya berkembang menjadi milik suku Jawa. Ada banyak mitos dalam kehidupan suku Jawa, tetapi penulis membatasi tiga contoh mitos saja yang berkaitan dengan pekabaran Injil di Jawa Tengah dan Timur. Misalkan saja : mitos Dewi Sri, Dewa Ruci dan Batara Kala.

Dewi Sri. Mitos ini selalu dikaitkan dengan Sadono. Dewi Sri sebenarnya adalah penjelamaan isteri Wisnu, sedangkan Sadono adalah penjelmaan Batara Wisnu. Jadi, pasangan Sri-Sadono sesungguhnya bukan kakak-adik seperti yang dipahami oleh sebagian suku Jawa melainkan pasangan suami isteri [Endraswara, 2003, hlm. 202].

Suku Jawa terutama di pedesaan mempercayai bahwa tanaman padi mereka di sawah akan tumbuh subur dan panen bekelimpahan karena pemeliharaan Dewi Sri. Dewi Sri menuntut norma-norma sosial yang harus ditaati, yaitu kebersihan dan ketertiban desa. Kenyataannya penduduk desa memang mematuhi, jika tidak, mereka mempercayai bahwa tanaman padi mereka akan gagal, banyak penyakit akan melanda desa dan berbagai musibah lain. Sebelum tanam padi dan sesudah panen, penduduk desa melalui seorang dukun atau modin memberi sesajen di sawah dan melakukan slametan di rumah pemilik sawah [Akkeren, 1995, hlm. 17]. Lakon wayang yang biasa dimainkan setelah slametan panen adalah Sri Mulih [Endraswara, 2003, hlm. hlm. 202].

Sri dan Sadono diwujudkan pada patung Loro Blonyo yang diletakkan pada pasren [sentong tengah]. Sentong tengah adalah tempat menyimpan padi bagi orang Jawa. Patung Loro Blonyo dipercaya sebagai penjaga padi. Patung ini juga digunakan sebagai simbol kelanggengan kehidupan rumah tangga suku Jawa, reprensentasi kemanunggalan Sri dan Sadono [Endraswara, 2003, hlm. 203].

Dewa Ruci. Bima dan Dorna adalah pemeran utama dalam lakon Dewa Ruci yang terkenal dan salah satu yang digemari di Jawa. Resi Dorna memerintahkan muridnya, Bima untuk mencari toya marta [air hidup]. Dalam satu usaha susah payah mencari air hidup, dikisahkan Bima membunuh dua raksasa dan membunuh seekor naga, lalu berjumpa dengan dewa bajang bernama Dewa Ruci yang serupa dengan Bima, kemudian dia diperintahkan masuk ke dalam rahim Dewa Ruci [Binawiratma, 1977, hlm. 49].

Di dalam rahim Dewa Ruci, Bima mendapat wejangan mengenai bersatunya manusia dengan Tuhan [manunggaling kawula Gusti] dan asal dan tujuan manusia hidup sangkan paraning dhumadi]. Selesai mendapat wejangan, Bima keluar dari rahim kembali ke alam biasa dan Dewa Ruci langsung menghilang. Kerangka cerita Dewa Ruci berisi kemistikan mudah diduga. Penulis juga tidak berkepentingan membahas seluruh arti simbolis yang terkandung di dalam cerita ini. Dalam kerangka cerita ini diperlihatkan, bahwa : 1) Dorna sebagai guru wadhag, [kelihatan secara fisik] mengantarkan Bima kepada Dewa Ruci sebagai Guru Sejati untuk mendapatkan air hidup. Artinya, betapa pun terbatasnya guru wadhag, dengan mengikuti petunjuk-petunjuknya, maka orang akan menuju pengalaman bertemu dengan Guru Sejati [Banawiratma, 1977, hlm. 51]. 2) Seorang murid yang sungguh-sungguh tekun dan berusaha sekuat tenaga mendapatkan kesempurnaan hidup, tidak akan dibiarkan oleh Hyang Suksma; yang mencari akan mendapatkannya [Banawiratma, 1977, hlm. 61]. 3) Perjumpaan Bima dengan Dewa Ruci memiliki arti, bahwa manusia akan memperoleh kesempurnaan hidupnya apabila dia telah menemukan dirinya dalam bersatunya dengan Gusti [Banawiratma, 1977, hlm. 61]. Air hidup adalah arti simbolis bahwa hakekat pertemuan manusia dengan Tuhan adalah mengalirnya hikmat Tuhan kepada manusia [Injil Yohanes iv:4].

Membandingkan alur cerita Dewa Ruci dalam konteks guru dan murid di Jawa, dapat dikatakan di sini bahwa Tuhan membimbing seseorang melalui kiai-kiai guru pesantren sebagai guru wadhag dalam pencarian Guru Sejati. Dalam hubungan air hidup yang terdapat di dalam Injil Yohanes pasal 4 hanya sebatas analogi saja, mengingat keduanya berasal dari sumber yang berbeda; yang satu berasal dari ajaran Hindu sedangkan yang lain berasal dari ajaran Injil Kristus; yang satu diperoleh dengan susah payah sedangkan yang lain diperoleh melalui kasih karunia Allah [William Barclay, 2000, hlm. 233-235,].

Batara Kala. Mitos ini adalah upaya suku Jawa mencari keselamatan dari cengkeraman  mangsa, yaitu makhluk yang berasal dari dewa, tetapi ‘salah kedaden’, yaitu Batara Kala. Ia makhluk salah kedaden [dibuat tidak semestinya] karena berasal dari sperma Batara Guru yang berahinya tidak kesampaian dengan Dewi Uma. Spermanya jatuh ke laut menjadi benda menyala-nyala, embrionya berkembang menjadi anak, yakni Batara Kala. Ia memangsa manusia yang dianggap salah kedaden juga sebagai makanannya.    

Ruwatan Sebagai Sarana Pemulihan Kehidupan  
Menurut Mulyono dalam bukunya, kata ‘ngruwat’ berasal dari kata ruwat berarti luwar atau lepas, dilepaskan dan dibebaskan. Jadi, meruwat berarti melepaskan atau membebaskan atau menolak dan menghindarkan malapetaka yang diramalkan akan menimpa diri seseorang [Mulyono, 1989, hlm. 33]. Orang yang akan diruwat disebut sukerta, artinya orang yang memiliki kecenderungan membawa sial.

Siapakah orang yang patut diruwat sebagai sukerta ? Ada 60 jenis sukerta yang ditentukan untuk dimangsa oleh Batara Kala [Mulyono, 1989, hlm. 34-36]. Sukerta dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pertama, sukerta karena kelahiran, misalnya : 1) Ontang-anting, yaitu anak tunggal, laki-laki atau perempuan. 2) Anak Kembar, laki-laki atau perempuan atau laki-laki dan perempuan. 3) Kresna, yaitu anak yang dilahirkan memiliki kulit hitam. Kedua, sukerta karena memiliki kebiasaan buruk, misalnya : 1) Orang yang suka membuang sampah lewat jendela. 2) Orang yang senang membuang sampah atau kotoran di bawah tempat tidur [Noorsena, 2003, hlm. 176]. Kelima sukerta ini harus diruwat supaya tidak dimangsa oleh Batara Kala. Pemahaman dimangsa di sini adalah sepanjang hidupnya, sukerta akan mengalami berbagai malapetaka, bahkan mungkin dapat mengancam jiwanya. Ruwatan itu berfungsi sebagai sarana pemulihan perdamaian yang mengatasi krisis hidup manusia [Noorsena, 2003, hlm. 177].

Secara singkat ditunjukkan di sini bagaimana prosesi ruwatan dilaksanakan, yaitu : 
  • pertama, upacara siraman [semacam baptis] dengan air kembang terhadap sukerta. Acara dilanjutkan dengan slametan. 
  • Kedua, pergelaran wayang selama kira-kira 3 jam dengan lakon dhalang karurungan. Lakon wayang ini selalu ada dalam prosesi ruwatan, karena lakonnya berisi muatan cerita bahwa manusia yang sejak lahirnya berkelakuan tidak pada tempatnya, maka perlulah ditata kembali kelahiran dan kelakuannya pada kedudukan yang benar. Apabila kelahiran dan kelakuannya telah ditata sebagaimana seharusnya, Batara Kala akan menghindar tidak jadi memangsanya. Kehidupan suku Jawa nyaris dikelilingi kekuatiran yang tidak perlu. Jika terdapat hal-hal yang dipandangnya berpotensi menimbulkan malapetaka, perlulah dilakukan ruwatan. Misalnya : jika sebuah keluarga memiliki anak hanya satu, keluarga ini berkemungkinan tidak memiliki keturunan apabila anak ini mati karena satu dan berbagai sebab. Dengan demikian, ruwatan adalah simbol menata kembali kedudukan kelahiran seseorang atau kelakuannya pada tempat seharusnya sehingga beroleh keselamatan karena terbebas dari beban psikologis terkena malapetaka [Mulyono, 1989, hlm. 43]. 
  • Ketiga, pergelaran wayang ditunda, sementara sukerta yang diruwat ujung rambutnya dipotong sedikit oleh ki dalang dan disimpan di dalam sapu tangan. Acara pergelaran wayang dilanjutkan sampai selesai, kemudian guntingan rambut diserahkan kepada sukerta. 
  • Keempat, dhaharan atau makan malam dilanjutkan dengan acara pergelaran wayang kulit semalam suntuk. Semua lakon wayang boleh dimainkan, kecuali cerita Baratayuda [orang Jawa jarang menanggap wayang dengan lakon Baratayuda, karena mereka berkeyakinan, biasanya setelah pergelaran lakon ini selalu diikuti peristiwa besar yang menggoncang masyarakat. Ki dalang juga dipilih yang senior dan sudah terampil melaksanakan prosesi ruwatan]. Pendek kata hanya lakon-lakon yang membangun kepribadian sukerta saja.

Prosesi ruwatan selesai berarti sukerta terbebas dari beban psikologisnya, bahwa dia terbebas dari malapetaka atau kuasa maut dimangsa oleh Batara Kala. Batara Kala sebagai simbol kuasa maut yang selalu mengikuti dan mengancam sukerta yang belum diruwat kini telah dipatahkan kuasanya oleh ki dalang. Ruwatan harus dipandang sebagai keselamatan simbolis karena pada akhirnya manusia akan mati, walaupun sukerta sudah diruwat oleh ki dalang berpengalaman sekalipun. Inti dari ruwatan adalah kemampuan ki dalang memberi nasihat-nasihat yang membangun dan menguatkan kepribadian sukerta melalui lakon wayang dhalang karurungan. Inilah makna dari ruwatan, yaitu setelah diruwat selanjutnya sukerta harus waspada menjalani kehidupan supaya tidak tertimpa malapetaka.

Penyelenggaraan ruwatan membutuhkan biaya yang cukup besar dan beragam tergantung bagaimana pelaksanaannya. Semakin terkenal ki dalangnya dan eksklusif, yakni hanya lingkungan keluarga dekat atau kelompok tertentu saja, maka semakin mahal pula biaya penyelenggaraannya. Untuk menekan biaya, biasanya ruwatan dilakukan secara massal atau menunda ruwatan sampai memiliki biaya yang cukup, karena itu banyak juga sukerta yang akan diruwat sudah berusia paruh baya.-


Sumber pustaka :

  • Andy Wasis, Leksikon Sejarah : Nasional, Umum, Islam, Jakarta : Nimas Multima, 2004.
  • Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil : Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen, Yogyakarta : Andi, 2003.
  • Bambang Subandrijo, Keselamatan bagi Orang Jawa, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000.
  • Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : Hanindita Graha Widia, cetakan ke 5, 2003.
  • C.C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa, terjemahan oleh S. Gunawan, Jakarta : Bhratara Karya Aksara, cetakan ke 2, 1985.
  • Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi: dalam Masyarakat Jawa, terjemahan oleh Aswab Mahasin, Jakarta : Pustaka Jaya, 1983.
  • Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta : Gramedia, cetakan ke 3, 1988.
  • Hasan Alwi, at al. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, edisi ke 3, cetakan ke 2.
  • J. B. Banawiratma, Yesus Sang Guru : Pertemuan Kejawen dengan Injil, Yogyakarta : Kanisisus, 1977.
  • Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terjemahan oleh Hairus Salim HS, Yogyakarta : LKIS, cetakan ke 2, 2004.
  • Muslimin Machmud, “Mitos dan Adat Istiadat Masyarakat Tengger”, Agama Tradisional : Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, eds. Nurudin at all, Yogyakarta : LKIS, 2003.
  • Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat Jawa, Jakarta : Sinar Harapan, 1985.
  • Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kritus : Sebuah Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur, terjemahan oleh B.A. Abednego, Jakarta : BPK Gunung Mulia, cetakan ke 2, 1995.
  • Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Jakarta : Lentera Dipantara, 2005.
  • Saleh As’ad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro : Stelsel Benteng 1827-1830, Jakarta : Komunitas Bambu, 2004.
  • Sartono Kartodidjo, Ratu Adil, Jakarta : Sinar Harapan, 1984.
  • Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta : LKIS, 2005.
  • Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya : Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX, terjemahan oleh Widi Herijati Rahadi, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001.
  • Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Jakarta : Haji Masagung, cetakan ke 3, 1989.
  • Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, Tangerang : Cakrawala, 2003.
  • Syamsudduha, Sejarah Sunan Ampel : Guru Para Wali di Jawa dan Perintis Pembangunan Kota Surabaya, Surabaya : Jawa Pos Press, 2004.
  • William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari : Yohanes Ps. 1-7, terjemahan oleh S. Wismoady Wahono, Jakarta : BPK Gunung  Mulia, cetakan ke 5, 2000.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar