Bahagia orang yang masih mempunyai rasa malu.
Kriteria hewan adalah makhluk hidup memasukkan
makanan ke mulut langsung melalui mulutnya, mempunyai ekor, dan tidak mempunyai
rasa malu. Ketiga kriteria inilah yang membedakan manusia terhadap hewan. Mari
kita buktikan bersama-sama. Sapi, kuda, kambing, domba, ular, cacing, kucing,
monyet, simpanse, harimau, anjing, singa, burung rajawali, ayam, paus, ikan
hiu, buaya, kuda Niel, hewan-hewan ini sebagian saja aku sebutkan di sini.
Mereka jelas hewan. Mereka memasukkan makanan langsung menggunakan mulut
mereka. Beda dengan manusia yang memasukkan makanan ke dalam mulut dengan
menggunakan tangan. Jika ada manusia makan menggunakan sendok dan garpu, itu
hanya masalah kebudayaan saja. Intinya tetap menggunakan tangan. Tapi monyet
makan pisang dengan menggunakan tangannya. Jadi, monyet sama dengan manusia,
dong. Nanti dulu, jangan gembira dulu. Apakah ada manusia di dunia ini
mempunyai ekor seperti monyet atau anjing? Tak adalah! Monyet dan manusia jelas
beda.
Semua hewan tidak mempunyai rasa malu.
Mengapa hewan tidak mempunyai rasa malu, sedangkan manusia mempunyai rasa malu.
Di taman Eden, begitu menyadari diri mereka telanjang, maka mereka merasa malu
dan bersembunyi di balik semak-semak. Telanjang itu membuat rasa malu. Manusia pejantan
membutuhkan pakaian untuk menutupi batang kontolnya, manusia perempuan
membutuhkan pakaian untuk menutupi memeknya. Pada manusia primitive, mereka
tetap diajarkan berpakaian menurut adat, walaupun terbuat dari bahan yang
sangat sederhana, terutama untuk menutupi roket torpedonya. Tidak ada ceritanya
monyet, anjing, simpanse atau kucing pakai setelan jas karena malu, menyadari
diri mereka telanjang.
Jadi? So? Manusia yang sudah tidak mempunyai
rasa malu lagi, maka manusia seperti ini layak digolongkan dengan hewan. Aduh,
teman tega benar engkau menyebut mereka hewan. Apakah tidak ada sebutan lain
yang lebih manusiawi? Orang seperti ini hanya karena memiliki satu set hardware
manusia, maka secara lahiriah masih digolongkan sebagai manusia, tetapi
software-nya sudah layak disebut hewan.
Rasa malu itu berkaitan dengan etika atau
prinsip-prinsip moral. Dulu, ketika beta masih belajar tentang etika, maka guru
mengajarkan, bahwa pada jaman dulu dalam lingkungan masyarakat Jawa diajarkan
segi tiga rasa menjaga perasaan terhadap diri sendiri dan orang lain, yakni
roso wedi, roso isin, dan roso sungkan. Tiga rasa ini diajarkan oleh orang tua
terhadap anak-anak sejak dini di dalam keluarga. Berurusan dengan orang Jawa
tidak lepas dari masalah rasa. Dalam setiap situasi dan kondisi tertentu, maka
ketiga rasa ini sangat dihayati dan dilaksanakan.
Wedi, artinya takut baik terhadap ancaman
fisik dari luar, maupun terhadap suatu perbuatan yang dinilai tidak pantas
dilakukan yang mungkin dapat menyinggung perasaan orang lain. Anak akan dipuji
sebab mempunyai roso wedi terhadap orang yang lebih tua, baik di dalam
lingkungan keluarga sendiri maupun terhadap orang asing. Setelah wedi, anak
Jawa dididik dengan tingkatan roso berikut, yakni isin. Isin, artinya malu. Rasa
malu dapat terhadap dirinya, sebab merasa tidak layak tampil di muka umum,
misalnya belum mandi dan wajah masih kusut. Kedua, rasa malu sebab telah
melakukan suatu tindakan yang tidak terpuji di dalam tata pergaulan maupun di
tempat pekerjaan. Misalnya : tidak menghormati secara tepat terhadap seseorang
yang sepantasnya dihormati, melakukan tindakan yang tidak lazim, atau tidak
tahu diri kalau dirinya pernah terlibat masalah hukum. Rasa malu adalah
pendidikan utama ke arah kepribadian matang dalam etika Jawa. Ketiga, rasa
sungkan. Sungkan, artinya rasa takut dalam arti positif. Sungkan adalah
membatasi diri berintraksi terhadap orang lain demi menghormati privasi orang
lain tersebut [Proverb xxv:17].
Namun, saat ini ketiga rasa ini mengalami
degradasi etika di semua lapisan masyarakat Jawa. Saat ini sudah banyak orang
Jawa tidak punya rasa wedi, malu, atau sungkan. Mengingat masyarakat Jawa
mempengaruhi sedikitnya enam puluh persen dari seluruh kondisi sosial di
Indonesia, maka suku-suku lain ikut terimbas. Saat ini banyak orang Jawa
seperti tidak mempunyai malu lagi. Tidak mempunyai rasa malu, artinya sudah tak
tahu diri lagi.
Pernah ada seorang anggota partai memimpin
organisasi olah raga dari balik dinding penjara, sebab dia berstatus terpidana
dan sedang menjalani hukumannya. Kalau dia tahu diri, seharusnya dia
mengundurkan diri baik sebagai anggota partai maupun sebagai pemimpin
organisasi olah raga ini, walaupun tidak ada peraturan dasar organisasi yang
mengharuskan dia mengundurkan diri. Tapi dia tidak tahu malu. Keluar dari
penjara, dia terus melanjutkan kepemimpinannya di organisasi olah raga ini. Ia
mundur setelah didesak paksa oleh masyarakat. Ora tau isin. Ia memang bukan
orang Jawa, tetapi aku percaya banget, bahwa suku tempat asalnya pasti
mengajarkan apa arti tahu malu. Ada seorang bekas anggota dewan representative
sudah jelas terbukti terima suap dan vonnis telah dijatuhkan terhadap orang
ini, tetapi orang tetap ngotot merasa tidak bersalah. Anggota dewan yang tidak
tahu diri. Pada Desember tahun ini diselenggarakan pemilihan kepala daerah
setingkat gubernur dan bupati di seluruh Indonesia. Ada sepasang calon gubernur
dan wakil gubernur terpaksa ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah. Mengapa
mereka ditolak? Sebab calon gubernurnya, ternyata masih mempunyai masalah hukum
dengan status terpidana. Orang ini sudah memakai baju orang penjara, warna
oranye. Calon gubernur ini manusia tidak tahu diri. Ora isin neh!!! Tergolong
hewan?
Dan, ini berita paling panas dari November
sampai pada bulan ini dan tahun ini. Ada seorang yang berkecimpung di dalam
dewan representative telah membuat banyak berita yang membuat heboh republik
ini. Ia menjadi news maker pada tahun ini. Ia melakukan tindakan baik di dalam
negeri maupun di luar negeri yang bukan menjadi domain kerjanya. Domain bagi
dia adalah pihak pembuat undang-undang, bukan melakukan kegiatan yang
seharusnya dilakukan oleh pihak eksekutif atau pemerintah. Perpanjangan kontrak
kerja dengan perusahaan asing multi nasional adalah urusan pemerintah. Siapakah
dia? Ia adalah Setya Novanto. Dari namanya saja kita mengetahui bahwa dia
adalah wong Jowo, walaupun bukan kelahiran Jowo mana pun.
Orang ini telah melakukan suatu tindakan
tidak etis, yakni tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh orang yang masih
memiliki segi tiga rasa tersebut di atas. Tindakan etis itu menyangkut
pertimbangan tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk. Di negara mana
pun dewan reprensentative itu tugasnya di dalam negeri berurusan dengan
undang-undang, sebaliknya tugas eksekutif atau pemerintah dapat di dalam negeri
atau ke luar negeri. Urusan perpanjangan kontrak kerja dan saham dengan
perusahaan multi nasional adalah tugas pemerintah melalui kementerian
pertambangan, bukan kewenangan dewan representative. Orang ini sudah tidak wedi
dan tidak sungkan lagi terhadap presiden yang merupakan komandan tertinggi dari
pihak eksekutif. Dan, tidak isin lagi, sebab tidak berpikir panjang sebelum
berbuat. Di negara-negara yang sangat menjunjung etika, orang yang terbukti atau
baru saja pada tingkat dicurigai melakukan tindakan tidak etis, maka orang ini
langsung menyatakan mundur dari jabatannya, sebab etika mengajarkan supaya
orang mempunyai rasa wedi, isin, dan sungkan. Presiden sudah berkata, bahwa
dirinya tidak keberatan dirinya disebut presiden bodoh, tetapi jangan membawa
nama presiden dalam hal melakukan tindakan tidak etis demi mencari keuntungan
pribadi.
Tentu ada sesuatu yang membuat manusia tidak tahu diri
lagi sehingga hilang rasa malunya. Apa itu? Saiki iki wis jamanne jaman edhan.
Edhan tenanan. Nek ora melu edhan bakale ora keduman. Edhan dan gendeng itu
beda. Gendeng itu orang yang tidak mampu mengendalikan diri lagi dalam
melakukan tindakan apa saja, sebaliknya edhan itu pelakunya masih dapat
mengendalikan diri, tetapi tindakan yang dilakukannya adalah satu bentuk
kenekatan. Edhan itu sama dengan crazy. Di Jakarta semua sopir angkutan umum
metro mini pada edhan mengendarai mobil, demi mengejar setoran yang semakin
sulit diperoleh dalam satu hari. Ini tergolong edhan. Edhannya sopir metro mini
tentu beda dengan edhannya orang di lingkungan dewan representative pusat di Jakarta.
Seedhan-edhannya sopir metro mini hanya untuk mengejar setoran sebesar satu
juta rupiah per hari, sementara banyak anggota dewan representative berpacu
dalam korup dengan nilai yang sudah menggoyahkan kepercayaan rakyat terhadap
mereka. Saat ini ketua dewan representative pusat sedang menjadi sorotan
masyarakat luas di Indonesia, sebab telah melakukan tindakan tidak etis yang
merendahkan martabat bangsa ini, khususnya martabat dewan representative pusat
berkedudukan di Jakarta. Wong ora tau isin, neh!!! Termasuk hewan?