Pada 5 Januari 2014 malam sebagian besar penduduk Bekasi
sedang menyaksikan berita banjir di Jakarta
di berbagai stasiun tv. Hujan deras mengguyur kota ini sejak pagi seakan persediaan air di
langit ditumpahkan, seperti air ditumpahkan dari danau raksasa di langit tanpa
henti. Keasyikan menyaksikan berita banjir ini tidak berlangsung lama, sebab air banjir dari kanal begitu cepat masuk
ke area perumahan kami, begitu cepat masuk ke ruang tamu sehingga sedikit waktu
saja untuk menyelamatkan barang di dalam rumah dari rendaman air banjir. Pada
tahun-tahun sebelum ini, banjir selalu di dahului peringatan, tapi kali ini belum sempat
peringatan diberikan oleh security, air banjir begitu cepat mengisi seluruh
kantong terendah di perumahan ini dan tanpa ampun lagi banyak mobil tak
terselamatkan, termasuk mobilku terendam oleh air banjir. Kami sedang asyik
menyaksikan dari tv, bagaimana banyak orang Jakarta menyelamatkan diri dari banjir,
justeru tamu tak diundang datang langsung merendam kami.
Dua hari kemudian setelah air banjir surut, kami menyaksikan
siaran ulangan dari Metro TV memberitakan, bahwa pada 6 Januari malam banjir
bah menerjang Manado di Sulawesi Utara. Air banjir meluncur cepat dan meluapkan
sungai yang mengalirkan air dari danau Tondano yang meluapkan kelebihan
kapasitas tampung danau. Sendimentasi yang semakin parah di danau ini membuat
pendangkalan danau sehingga jika musim hujan tiba, danau ini tidak mampu lagi
menampung tumpahan air dari langit, yang ditumpahkan oleh Tuhan. Semakin
banyaknya orang membangun rumah di pinggiran danau memberikan sumbangan besar
dalam proses sendimentasi di danau ini, sebab setiap kali ada orang membangun
rumah, pasti ada penebangan pohon di pinggir danau. Semakin banyak pohon
ditebang, maka semakin banyak tanah tergerus dan lepas ke dalam danau apabila
hujan tiba, dan proses ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Peristiwa
banjir di Manado ini menyerupai dengan bencana
tsunami Aceh yang pernah terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004, yakni air
banjir bandang ini memenuhi sebagian besar jalan di kota ini, dan banyak mobil terseret.
Untunglah tsunami kecil yang terjadi di kota
ini hanya berlangsung tidak sampai satu hari. Ada
tanah perbukitan yang belah dan jalan antara Manado dan Tomohon terputus.
|
Banjir di perumahan di Bekasi. |
Setelah peristiwa bencana alam di Manado, maka bencana demi bencana banjir dan
tanah perbukitan longsor melanda di banyak tempat di negeri ini. Banyak tempat
yang dulu tidak terhitung sebagai daerah banjir, tetapi kini menjadi tempat
banjir, dan setiap hari semua tempat ini menjadi berita banjir di stasiun tv,
seperti Tulangbawang, Lampung, Pemalang, Pekalongan, Kudus, Pati, Makassar,
Mojokerto, Bojonegoro, Situbondo, Semarang, Kendal, Bandung, pinggiran
Palembang, Jakarta, terutama di Kampung Pulo dan Kali Pesing, sedangkan Bogor,
Cianjur, dan Jombang mengalami tanah longsor di perbukitan. Sebelum bencana
banjir melanda negeri ini, bencana alam Gunung Sinabung di Sumatera Utara telah
terjadi, yakni erupsi yang disertai abu vulkanik. Apakah Tuhan marah kepada
bangsa negeri ini sehingga terjadi bencana demi bencana alam terjadi? Kini
Gunung Kelud di Jawa Timur pun mulai batuk menyemburkan debu vulkanik.
Aku merasakan pertama kali dukanya banjir di Jakarta ketika pulang
sekolah di SD Negeri di Jalan Tanah Abang 5 sekitar 50 tahun yang lalu. Tinggi
air banjir kira-kira setinggi lutut anak usia 8 atau 10 tahun. Dari sejak Indonesia masih dijajah oleh Belanda, Jakarta telah mengenal banjir selama ratusan tahun, karena
topografi Jakarta yang dulu disebut Batavia adalah dataran rendah
dan rawa yang sangat luas. Pada zaman Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen
yang disebut Batavia
hanya sampai batas bekas Gedung Arsip Nasional [belum sampai persimpangan
Harmony]. Namun, semakin tahun banjir di Jakarta semakin tidak terkendali, dataran
berawa luas yang memberi kontribusi terbesar sebagai resapan air semakin
berkurang, karena diurug untuk menjadi permukiman penduduk yang semakin
bertambah dan jumlah hutan beton pun semakin bertambah. Ada
banyak sungai mengalir ke Jakarta, tetapi sungai
Ciliwung yang berasal dari Bogor paling banyak
memberi beban air atas kota
ini. Selama 350 tahun negeri ini pernah bergaul dengan bangsa Belanda melalui
pergaulan yang tidak menyenangkan, yakni penjajahan. Kita pernah belajar apa
dari bangsa yang selama ratusan tahun menjajah kita?
Di Indonesia orang Belanda telah membangun waduk Katulampa
di Bogor untuk reservoir sungai Ciliwung, setelah waduk ini antara Bogor dan
Jakarta melewati Depok air sungai Ciliwung masih harus melewati beberapa
reservoir yang luasnya kira-kira sebesar dua kali waduk Sunter. Reservoir memiliki
fungsi sebagai perlambatan debit air sungai Ciliwung yang menuju Jakarta. Banyak reservoir
dibangun antara Bogor sampai Jakarta
dan ditambah dengan kanal banjir barat menunjukkan pemikiran dan upaya jangka
panjang pengendalian banjir di Jakarta
oleh Belanda sejak dulu. Namun, kini semua reservoir di kawasan Depok telah
berubah bentuk fisiknya menjadi perumahan penduduk. Perubahan fungsi ini
sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka pemerintah daerah mengijinkan
developer membangun perumahan di semua tempat kosong di Depok, bahkan sampai
mengorbankan semua reservoir yang pernah dibangun. Sampai decade 60 sungai ini
masih dapat dilalui dengan rakit bamboo atau dengan perahu sampai ke muaranya
di Teluk Jakarta.
Mulai memasuki Condet kemudian ke Kampung Pulo, tidak jauh dari Kampung Melayu
[dulu namanya Meester Cornelis], banyak penduduk membangun rumah di pinggiran
sungai ini, sedimentasi hebat pun tidak terhalangi lagi sehingga daya tampung
sungai terhadap debit air tidak teratasi lagi, maka setiap musim penghujan
banjir selalu mengancam kawasan pinggiran sungai ini. Dan, effeknya sampai ke
seluruh wilayah Jakarta.
Sedimentasi disebabkan oleh kebiasaan buruk seluruh penduduk Jakarta, khususnya pemukim di sepanjang
sungai, yaitu suka membuang sampah ke sungai. Di sungai Code, Jogyakarta
penduduk juga banyak menempati pinggiran sungai sebagai permukinan, tetapi
mereka disiplin tidak membuang sampah ke sungai. Sampai kiamat Kampung Pulo dan
Kali Pesing akan tetap mengalami kebanjiran luapan Ciliwung, jika cara hidup
mereka tetap seperti ini, yaitu tidak disiplin membuang sampah pada tempat
seharusnya. Orang Indonesia
khususnya di Jakarta
dan sekitarnya belajar apa dari orang Belanda dalam mengatasi banjir?
Amsterdam, Rotterdam, Eindhoven, Den Haag, Groningen, dan seluruh kota di
Negeri Belanda tidak pernah banjir selama ratusan tahun, karena nenek moyang
mereka telah membangun seluruh system dam dan kanal pengendali banjir.
Kanal banjir timur tidak sempat dibangun oleh Belanda karena
PD II pecah. Puluhan tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia kanal ini tidak
terealisasi. Realisasi kanal ini terwujud pada saat Jakarta dibawah gubernur Fauzi Bowo, tetapi
tampaknya dan menyesal sekali ternyata kanal ini tidak menunjukkan keampuhannya
menghadapi banjir 2014. Banjir tahun ini memang tidak besar, tetapi frekuensi
pasang dan surutnya sering sekali, sampai sebulan ini banjir di Kampung Pulo
dan Kali Pesing belum surut juga. Edaaan!!! Crazy!!! Sekarang bukan era Sutiyoso atau Fauzi Bowo,
melainkan eranya Joko Widodo, yakni gubernur Jakarta
asal Surakarta.
Ia biasa dipanggil Jokowi. Koran bertiras besar seperti The Washington Post
dari Amerika menulisnya sebagai Governor on The Street, artinya gubernur yang
suka blusukan. Gubernur baru setahun ini mencoba menata kembali lingkungan
hidup warga Jakarta.
Idenya tentang banjir adalah mengeruk sediment yang membuat pendangkalan
seluruh waduk reservoir di kota
ini, antara lain Sunter, Pluit, dan Pulo Mas. Hasil pekerjaannya memang belum
optimal, tetapi telah menunjukkan effek nyata. Seorang teman yang menempati
rumah di Sunter bercerita kepadaku, bahwa pada era Sutiyoso atau Fauzie Bowo
jika hujan deras mengguyur Jakarta pada musim penghujan, waduk Sunter pasti
meluber dan membanjiri seluruh perumahan Sunter. Tapi pada musim penghujan
tahun ini, isi waduk hanya sampai level setengahnya saja. Selamatlah warga
Sunter dari banjir tahun ini. Mas Jokowi harus mengeruk lebih dalam lagi seluruh
waduk di Jakarta.
Aku termasuk orang yang tidak menyetujui ide membuat kanal
sepanjang satu setengah kilometer dari sungai Ciliwung ke sungai Cisadane di
Tangerang. Ide ini secara fisika sederhana adalah menumpahkan sebagian
kelebihan debit air Ciliwung ke Cisadane yang dianggap masih memiliki
kelonggaran. Jangan merealisasikan satu ide yang tampaknya bagus, tetapi
kemudian hari justeru menimbulkan masalah baru, padahal masalah utama terletak
pada Ciliwung sendiri. Walaupun hanya satu setengah kilometer, membangun kanal
tetap saja mengeluarkan beaya. Sungai Ciliwung dan juga semua sungai di Jakarta
harus dinormalkan kembali lingkungannya secara komprehensif, yakni menyadarkan
masyarakat supaya tidak membuang sampah ke sungai, menggusur semua bangunan
liar di sepanjang pinggiran sungai, dan melarang siapa saja yang akan membangun
rumah di pinggiran sungai. Apakah sulit mendisiplinkan orang Jakarta untuk menjaga lingkungan tetap sehat
dan nyaman? Orang Yogjakarta, Tarutung, Medan,
Makassar, Blitar, Ambon, dan seterusnya di tempat asal mereka masing-masing
disiplin dan taat adat menjaga lingkungan tetap bersih, tetapi begitu mereka
berada di Jakarta,
anything I do. Semau gue dah! Bayangkan saja ada yang membuang sampah berupa
satu spring bed ukuran double ke sungai Ciliwung, bagaimana pintu air Manggarai
tidak mampet dengan sampah-sampah seperti ini. Seluruh sampah di sungai
Ciliwung sudah melebihi 5 ton per hari, belum termasuk dengan sungai-sungai
yang lain.
Darsih adalah seorang ibu rumah tangga [mother for
householder] berusia 50 tahun. Ia adalah satu di antara puluhan ribu orang yang
settle di pinggiran sungai Ciliwung. Sejak lahir dia menjadi penghuni kawasan
pinggiran sungai ini. Seluruh bangunan rumah sepanjang pinggiran sungai ini
adalah liar, kepemilikan mereka atas tanah dan rumah yang mereka tempai tidak
terdaftar di Badan Pertanahan Nasional Pemerintah Daerah Khusus Jakarta, maka gubernur
mempunyai kewenangan menggusur mereka. Ketegasan gubernur untuk menggusur
mereka biasanya dihalangi oleh lembaga swadaya masyarakat yang berkedok hak
azasi manusia. Memang dibutuhkan seorang gubernur yang tegas, bertangan besi,
tetapi bijak dan lemah lembut menimbang perkara demi kepentingan umum seluruh
warga Jakarta. Nanti
orang yang sok manusiawi dan sok tahu hak azasi manusia bertanya sarkatis,
warga Jakarta
yang mana. Semua orang sudah tahu, bahwa pahitnya banjir ini dirasakan oleh
semua lapisan masyarakat dari yang kaya sampai yang miskin, bahkan jalan
protocol di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Utara terendam air banjir. Gubernur
Jokowi dan Wakil Gubernur Ahok adalah dua orang yang pantas untuk menangani
masalah ini.
Pada mulanya awal abad ke 20 Belanda merancang kota ini untuk jumlah
penduduk sampai 800000 jiwa saja. Tapi luas kota
Jakarta pada
waktu itu sudah beda dengan sekarang yang telah mencapai sekitar 800 kilometer
persegi. Jakarta
itu idealnya dihuni oleh 4 juta jiwa saja. Kenyataannya sekarang jumlah
penduduk telah mencapai dua setengah kali lipat dari angka ideal ini. Kelebihan
jumlah penduduk yang sangat besar ini membuat Jakarta seperti orang obesitas. Sebagian
besar penduduk melebar ke arah horizontal dan ratusan ribu berada di permukiman
kumuh di pinggir sungai. Sudah waktunya mereka harus direlokasi ke rumah susun
sehingga pertumbuhan penduduk ke arah vertical. Sudah waktunya orang Jakarta berpikir
meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas unggul, bukan bikin anak saja
untuk kepuasan diri saja. Pemerintah Daerah Bogor, Depok, dan Tangerang jangan
hanya memikirkan daerah sendiri saja. Sungai Ciliwung limpahan airnya mengalir
dari Bogor dan Depok, maka untuk menormalkan
kembali lingkungan sungai ini bukan hanya responsibilitas Pemerintah Daerah
Jakarta saja, melainkan responsibiltas yang melibatkan Bogor dan Depok. Bagi orang Jakarta
jangan hanya memberi kritikan kepada Jokowi dan Ahok, tapi tanyalah pada diri
Anda, apa yang sudah diberikan oleh Anda untuk kota
Jakarta. Jika
Anda sudah membuang sampah pada tempatnya [bukan ke sungai], Anda sudah berbuat
sesuatu yang berguna untuk lingkungan yang bersih dan nyaman.-
Referensi :
Bang Ali, Demi Jakarta 1966 - 1977 oleh Ramadhan K.H., Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1963.