Minggu, 22 Januari 2012

Pada Mulanya Yesus Orang Nazaret Diterima Di Tanah Jawa


Walaupun mayoritas orang pemerintah colonial Belanda adalah penganut Kristen, tidak ada keinginan sedikit pun bagi mereka untuk melakukan kegiatan pengabaran Injil di Indonesia. Bagi orang-orang pemerintah, ekonomi dan politik jauh lebih penting dibandingkan dengan keberadaan Injil di negeri ini. Namun, bagaimanapun sulitnya kondisi pengabaran Injil di sini, selalu ada celah untuk menabur benih firman Tuhan tumbuh subur sampai ke pelosok desa, terutama di Jawa Tengah dan Timur. Pengabaran Injil terhadap orang Jawa Kristen diawali oleh seorang bernama Conrad Laurens Coolen dilahirkan pada tahun 1785 di Semarang campuran dari ayah Rusia dan Belanda, sedangkan ibunya adalah keturunan ningrat dari Solo. Dari ibunya dia tumbuh menjadi orang peranakan Belanda-Rusia yang memahami kehalusan kebudayaan Jawa. Pada mulanya dia bekerja juru gambar di kantor peme­rintah dan menetap di Surabaya, lalu menjadi tentara di divisi kavaleri. Di kota ini dia menikah dengan gadis Belanda dan memiliki lima orang anak. Ke­mudian dia berganti profesi lagi menjadi pengawas kehutanan di daerah Mojoagung, sementara isteri dan anak-anaknya tetap tinggal di Surabaya.

Pada usia kira-kira 40 tahun, dia meminta izin kepada pemerintah untuk menyewa tanah seluas 142 hektar. Di tempat ini dia memilih hidup dalam suasana kebudayaan Jawa dan sebagai orang Jawa, yaitu menanami tanahnya dengan padi dan di sini pula dia membangun desa bercorak Kristen di Ngoro. Ia menikah lagi dengan gadis Jawa di se­buah masjid, dari pernikahan ini dia memiliki enam orang anak. Perkawinan ini tidak sah menurut gereja karena perkawinan pertamanya tidak pernah dibatalkan.

Ia bukan saja pernah menjadi birokrat dan tentara, tetapi juga mampu memimpin orang di desanya dan berhasil membudidayakan beras yang merupakan makanan pokok rakyat. Ter­bukti panen padinya setiap tahun berkelimpahan sehingga Ngoro dikenal sebagai gudang beras bukan saja bagi orang Ngoro sendiri, tetapi juga bagi desa-desa lain yang jauh dari Ngoro. Pada tahun 1852, kelaparan merata melanda seluruh Jawa Timur, tetapi Ngoro tetap berkelimpahan beras. Beras Ngoro juga berasal dari bibit padi kualitas unggul.

Coolen tidak pernah belajar formal teologi. Perkenalannya yang singkat de­ngan seorang pengabar Injil berkebangsaan Jerman di Surabaya ketika dia masih tinggal di sana, tentu tidak membuahkan pemahaman firman Allah yang memadai. Tetapi dia berhasil menanamkan iman percaya kepada Yesus terhadap orang Jawa Kristen melalui pemahaman klasik orang Jawa terhadap tanaman padi. Orang Jawa terutama di pedesaan mempercayai bahwa tanaman padi mereka di sawah akan tumbuh subur dan panen bekelimpahan karena pemeliharaan Dewi Sri.

Memang Coolen melakukan diakonia atau pengabaran Injil kepada penduduk desanya, tetapi tampaknya kelimpahan beras di desa Ngorolah yang pada mulanya menarik minat penduduk. Dengan demikian, awal tumbuhnya kekristenan di Jawa Timur lebih dilandasi kelimpahan beras di Ngoro pada saat rakyat sangat membutuhkannya. To­matala berpendapat bahwa yang harus dibedakan apabila mendekati manusia dalam setiap konteks budaya, ialah kebutuhan yang terutama akan keselamatan Kristus dan kebutuhan yang terasa, yaitu kebutuh­an yang nyata dalam konteks hidup yang aktual. Jika penduduk desa menaruh perhatian kepada diakonia Coolen, itu tidak lain karena watak orang Jawa Kristen yang menafsirkan bahwa me­sias yang diharapkan, yaitu Ratu Adil tidak lama lagi akan datang atas perkenan Dewi Sri kepadanya.

Orang Ngoro memandang desanya menjadi tumpuan harapan bagi banyak tetangga-tetangga desa yang lain di saat bencana kelaparan, memunculkan bawah sadar mereka bahwa Ratu Adil selalu muncul pada saat situasi sangat sulit. Apalagi pada tahun-tahun Coolen me­ngolah tanah di Ngoro pemerintah sedang gencar memaksa semua petani di seluruh pulau Jawa mengikuti politik Tanam Paksa. Kela­paran yang terjadi di banyak tempat di pulau Jawa adalah ekses dari politik pemerintah kolonial ini. Jadi, pemahaman Yesus sebagai Juru­ Selamat manusia menurut pandangan orang Jawa Kristen pada waktu itu di Ngoro masih terhisab dalam mitos Ratu Adil.

Penglihatan, pendengaran dan mimpi adalah prilaku rohani orang Jawa. Mereka melihat kenyataan kelaparan ada dimana-mana di pulau Jawa dan kehidupan yang luar biasa sulit. Bagi mereka ini adalah pertanda bahwa tidak lama lagi Ratu Adil akan datang menghalau kesulitan mereka, sebagaimana mereka pada masa sebelum Perang Jawa [1825 – 1830] meletus menganggap kesulitan ekonomi pada waktu itu adalah pertanda dan Pangeran Dipanegara dianggap sebagai kegenap­an ramalan Jayabaya.

Ia melakukan pengabaran Injil dengan cara memberi contoh lang­sung rakyatnya mengikuti tradisi leluhur Jawa, bahwa selama masa membajak dan menanam padi, supaya mereka menyanyikan kidung yang ditujukan kepada Dewi Sri. Ia sendiri terjun langsung membajak di sawah sambil menyanyikan kidung. Kidung pujian yang dinyanyikannya itu diselaraskan dengan nafas kekristenan, demikianlah bunyi kidung itu :

“Oh, Gunung Smeru, yang adalah tertinggi di tanah Jawa, kidung kami dipersembahkan kepadamu.
Berkatilah pekerjaan tangan kami. Berkatilah bajak yang membelah bumi menjadi terbuka, serta yang menjadikan bumi layak bagi bibit.
Berkatilah bajak yang memotong galur, berkatilah tangkai, lecutan pecut kepada ternak, serta aliran air yang memberi hidup.
Galur yang baru dipotong bersinar bak minyak nan harum semerbak.
Berkatilah garu yang melembutkan tanah sebagaimana yang digemari Dewi Sri, ia yang adalah dewi padi, yang mengaruniai kelimpahan kepada kami.
Dan di atas semua itu, kami berdoa untuk berkat-berkat serta kekuatan dari Yesus, yang memiliki kekuatan terbesar.”

Satu kidung yang masih bersemangat sekuler, tetapi memiliki kemampuan membangkitkan semangat kerja orang desa dan me­ngantar tanpa paksaan supaya orang semakin mengenal Yesus. Coolen menghadapi situasi sekular yang masih mengental di dalam jiwa suku Jawa, tetapi situasi demikian diresponnya dengan bijak tanpa menimbulkan friksi kebudayaan dan iman Kristen di dalam komunitas jemaatnya. Orang yang memiliki iman kepada Kristus dan semangat besar mengabarkan Injil Kritus, harus siap menghadapi situasi seku­lar Jawa yang memiliki kultur tanaman padi dan peradaban hidraulik (sistem sawah basah).

Ia mengajarkan jemaatnya doa Bapa Kami, Sepuluh Firman Tu­han dan dia menyusun sahadat Kristen yang menyerupai sahadat yang digunakan  oleh orang Islam, yaitu : “Aku percaya bahwa Allah adalah Esa. Tidak ada Tuhan kecuali Allah. Ye­sus Kristus dan Roh Allah punya kuasa atas segala sesuatu.”

Tidak mustahil untuk mengatakan bahwa, Ye­sus Kristus adalah Roh Allah (bukan … dan Roh Allah), karena dalam Al Quran Yesus juga disebut sebagai Isa Rohullah, Yesus, Roh Allah. Ia mengupayakan kata Bapa yang diejawantahkan dalam kali­mat “Tidak ada Tuhan kecuali Allah” adalah kalimat pertama di dalam sahadat agama Islam, sehingga dalam sahadat ini dia bermak­sud menyajikan rumusan pengakuan iman ketritunggalan. Karakter Jawa berkecenderungan mencari kompromi dari kutub-kutub yang secara a­priori dipertentangkan. Tidak ada catatan sebagai bukti, apakah semakin banyaknya orang Jawa menjadi Kristen karena kalimat saha­dat yang sekilas mirip ini.

Coolen melengkapi pemahaman kekristenan dengan cara menghimpun hikmat dari buku-buku Hindu versi Jawa, dikutip dan dikumpulkan sedikit demi sedikit. Ia pengkhotbah ulung, dengan kemahirannya bertutur puitis dan lancar seperti seorang dalang, kutipan-kutipannya itu mengalir lancar me­nyentuh perasaan halus orang Jawa, sehingga dia semakin dihormati oleh murid-muridnya.

Di desa Wiyung, ada seorang modin [pekerja masjid], yakni Pak Dasimah, ter­tarik dengan ajaran baru setelah membaca traktat yang berisi kutipan-kutipan Alkitab dalam bahasa Jawa. Sebagian kutipan tersebut bu­nyinya demikian, ‘Wiwitaning Injile Yesus Kristus Putrane Allah …’ [Permulaan Injil Yesus Kristus, Putera Allah ……]. Pak Dasimah memperoleh keterangan lebih lanjut tentang kutipan-kutipan ini dari Kiai Kunti, yakni seorang kenalan yang dijumpainya pada sebuah pesta pernikahan yang membawa perkenalannya kepada Coolen di Ngoro. Pak Dasimah dan teman-temannya datang ke Ngoro. Kepada Coolen, dia mengatakan bahwa, dia dan teman-temannya datang untuk men­cari toya wening (air jernih). Coolen yang belum memahami betul maksud tamu-tamunya ini, mengantarkan Pak Dasimah ke sumber mata air yang ada di tempat kediamannya, padahal yang dimaksudkan oleh tamu dari Wiyung ini adalah mencari kebenaran Kristus yang diajarkan oleh Coolen.

Toya wening atau air bersih ialah air yang nyaris tidak bergerak, karena semua kotoran telah mengendap di dasarnya. Air bersih dalam pengertian air yang menghidupi tanaman padi sawah yang bebas dari gangguan keseimbangan antara air dan lumut yang dapat menghambat pertumbuhannya. Air menggenangi tanaman padi sawah sedalam kira-kira empat inci, air ini tampak jernih [wening] karena sudah cukup lama lumpurnya mengendap di dasarnya dan air ini juga bergerak perlahan-lahan dari satu petak ke petak yang lain. Sumber airnya mungkin berasal dari tempat yang jauh di pegunungan. Metafora yang lugas dan nyata, berasal dari konteks kultur tanaman padi basah, pemandang­an yang setiap hari dilihat oleh petani di Jawa. Hasil kunjungan tamu dari Wi­yung ini menunjukkan, bahwa pandangan orang Jawa Kristen terhadap Yesus sebagai Air Hidup masih terhisab oleh metafora kultur tanam­an padi basah, yaitu toyo wening. Air selalu memberi metafora kehidupan sepanjang zaman, seperti halnya baptisan Roh Kudus adalah metafora para murid Yesus menerima curahan Roh Kudus pada hari Pentakosta. Roh Kudus sendiri dilambangkan sebagai air yang tercurah, melaluinya Allah mencurahkan berkat secara umum atau khusus.

Tentang sakramen baptisan. Sebagian konsepsi kekristenan di Jawa Timur adalah gagasan dari Coolen bahwa baptisan merupakan suatu tradisi Eropa, karena itu tidak perlu diterapkan kepada orang Jawa Kristen. Ia tidak menghendaki orang Jawa Kristen dibaptis karena pertama, hasil pembaptisan itu dapat mencabut akar kebudayaan orang Jawa Kristen yang telah menerima Yesus Kristus, yakni apabila seorang Jawa setelah dibaptis seolah-olah menjadi orang Eropa sehingga dia seperti orang asing di lingkungannya sendiri. Hal ini terbukti kemudian ketika beberapa orang dari generasi pertama di Ngoro setelah dibaptis di Surabaya berspekulasi pulang ke Ngoro dengan berpakaian cara Eropa. Kedua, barangkali dia kuatir, apabila mereka yang telah menjadi Kristen melalui baptisa­n, berharap dapat terhindar dari kewajiban Tanam Paksa. Banyak pejabat Belanda  mempunyai asumsi, bahwa salah satu sebab orang Jawa menerima agama Kristen, karena beban Tanam Paksa yang ingin dihindari oleh mereka. Ketiga, dia memiliki alasan tersembunyi, yaitu mendapat sanksi gereja, karena anak-anaknya dari isteri kedua diperoleh melalui perkawinan yang tidak sah, mereka tak satu pun ada yang dibaptis. Ia menghadapi situasi etis yang sulit, yaitu apabila murid-muridnya kelak mengetahui alasan tersembunyinya ini tentu dapat mengganggu kredibilitasnya sebagai guru dan panutan.

Coolen tidak memberi toleransi kepada siapapun yang masih ingin tinggal di Ngoro untuk tidak menerima baptisan. Pelanggaran kepada sang guru dalam hal ini, maka hukumannya adalah diusir dari Ngoro. Ia betul-betul melaksanakan sanksinya terhadap mereka yang kelak membandel. Namun, meskipun mereka menghadapi sanksi terusir dari Ngoro, keinginan mereka untuk minta dibaptis se­makin menyala-nyala. Ratusan orang yang telah dibaptis harus terusir dari tanah kehidupan mereka di Ngoro. Banyak diantara mereka yang terusir mula-mula pindah ke Sidokare, kemudian mereka membuka desa baru di Mojowarno di sebelah utara Ngoro.

Pada tahun 1873 Coolen meninggal. Tetapi sejak tahun 1850 Coolen tidak lagi menjadi tokoh kekristenan di Jawa Timur. Pusat kekristenan telah bergeser beberapa kilo meter dari Ngoro, yaitu desa Mojowarno. Pada tahun 1854, tahun masanya sewa tanah Coolen berakhir, di mana akhirnya dia mengizinkan Jellesma, yakni seorang pendeta di Mojowarno untuk membaptis semua orang Jawa Kristen yang masih ada. Mereka tetap tinggal di Ngoro, karena Coolen telah melepaskan haknya kepada pemerintah dan mereka yang tersisa menjadi pemilik sah di desa yang otonom ini. Coolen harus menerima realitas Injil bahwa Yesus Kristus harus makin bertambah besar dan dia harus makin kecil.-

Senin, 09 Januari 2012

Kisah Sandal Jepit

Kisah nyata ini terjadi di satu kota kecil di Indonesia, yaitu seorang anak telah mencuri sepasang sandal merek Eiger seharga 85 ribu rupiah milik seorang anggota polisi berpangkat brigadir satu. Logika hukum adalah pelaku kejahatan harus menjalani hukuman sesuai menurut hukum yang berlaku. Hakim menjatuhkan vonnis 5 tahun penjara kepada pencuri yang masih berusia 15 tahun.  Masih anak di bawah umur. Apakah vonnis hukuman ini memiliki bobot keadilan di negeri ini? Inilah Indonesia, di negeri ini logika hukum sering tidak sejalan dengan rasa keadilan yang didambakan oleh rakyat.

Tidak ada yang kebal hukum di negara hukum, seharusnya begitu. Tetapi apakah memang kenyataannya demikian? Tidak ada kasus besar atau kasus kecil, semua kasus diselesaikan berdasarkan hukum sampai tuntas. Maunya begitu. Tetapi sekali lagi apa, ya begitu jalannya hukum di negeri ini? Di negeri ini banyak kasus besar, korupsi besar, nilainya bukan M rupiah lagi, tetapi sudah mencapai trilyun rupiah, satu demi satu seperti terlupakan. Kasus Bank Century adalah skandal besar di negeri ini, tetapi seperti tak tersentuh hukum di negeri yang mengaku berlandaskan hukum. Apakah polisi mempunyai keberanian untuk melanjutkan kasus korupsi besar yang melibatkan orang sangat penting di negeri ini? Tidak! Polisi tidak mempunyai nyali untuk lebih jauh mengungkapkan skandal ini, karena melibatkan banyak orang penting di tubuh Partai Demokrat.

Kisah sandal jepit ini satu kasus hukum yang telah mendunia, karena The Washington Post, salah satu koran terkemuka di Amerika menulis, bahwa betapa hukum di Indonesia masih tebang pilih. Untuk perkara yang nilainya tidak sampai satu juta rupiah betapa bersemangatnya polisi mengejar pelaku pencuri sandal jepit ini, sebaliknya untuk perkara korupsi sangat besar sehingga merugikan negara, mereka tak bernyali mengejar pelaku-pelakunya. Dengan kata lain, nyalinya hanya sebatas untuk pencuri klas teri. Di negeri ini banyak peristiwa kejahatan klas teri terjadi, tetapi mereka para pelaku kejahatan ini melakukan ini semua karena perut untuk mempertahankan hidup. Aku sendiri tidak mentoleransi kejahatan sekecil apa pun memang harus diganjar dengan hukuman. Tetapi bukan perkara mudah untuk memutuskan dengan bijak hukuman yang adil atas perkara kejahatan. Keadilan memang harus diperjuangkan demi kepastian hukum di negeri ini. Jika perkara pencurian sandal jepit ini dibandingkan dengan kasus Gayus, juga tidak menyentuh rasa keadilan. Penggelapan pajak yang dilakukan oleh Gayus senilai 140 milyar, hanya diancam 3 tahun penjara, sedangkan sandal jepit senilai 85 ribu ancamannya 5 tahun. Di mana rasa keadilan hukum di negeri ini?

Dulu negeri ini dijajah oleh bangsa Belanda, hukum hanya berlaku untuk orang terjajah. Sekarang rakyat negeri ini setelah 66 tahun merdeka dijajah oleh bangsa sendiri, di mana hukum hanya berlaku kepada orang kecil tak berdaya. Hukum begitu tumpul menghadapi semua penguasa di republik ini, sebaliknya sangat tajan menghunjam rakyat tak berdaya. Tuhan berkata di dalam Alkitab, bahwa hukum akan datang di negeri yang penuh kebobrokan seperti air sungai yang bergulung. Air sungai bergulung menggelontorkan kotoran sampah di sepanjang sungai dari hulu sampai ke hilir. apa ini? Artinya, perlu ada satu revolusi untuk mengubah dengan segera ketidakadilan di negeri ini, revolusi membersihkan  sampah koruptor. Revolusi belum selesai, kata Bung Karno, presiden pertama RI. Revolusi memang belum selesai, karena sepanjang hidup manusia harus melakukan revolusi untuk mengubah dirinya menjadi manusia yang berguna unutk sesamanya. Revolusi dimulai dari diri sendiri. Negeri ini dipimpin oleh seorang presiden yang tidak peka terhadap hati nurani rakyat. Kisah sandal jepit ini mengoyakkan hati nurani rakyat terhadap keadilan semoga tak terulang lagi.-